Sabtu, 28 Maret 2009

Tirkah: Ada Apa Dengan Harta Peninggalan?

Pada tulisan sebelumnya telah disebutkan bahwa waris-mewarisi terjadi jika terpenuhi tiga rukun, yaitu adanya muwarrits (orang yang meninggal dunia), adanya warits (orang yang mewarisi harta peninggalan muwarrits, dan selanjutnya disebut ahli waris), dan adaya mauruts (harta peninggalan dari muwarrits). Pada tulisan kali ini akan disorot rukun ketiga, yaitu tentang mauruts. Istilah lain yang lebih populer untuk mauruts adalah tirkah atau tarikah.

Secara umum, harta peninggalan (tirkah) berarti semua yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syariat untuk diwarisi oleh pada ahli warisnya. Dengan pengertian ini, maka peninggalan mencakup hal-hal berikut ini:
1. Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya benda tak-bergerak (rumah, tanah, kebun), benda bergerak, (kendaraan), piutang muwarrits yang menjadi tanggungan orang lain, diyah wajibah (denda wajib) yang dibayarkan kepadanya oleh si pembunuh yang melakukan pembunuhan karena tidak sengaja, uang pengganti qishash karena tindakan pembunuhan yang diampuni atau karena yang membunuh adalah ayahnya sendiri, dan sebagainya.
2. Hak-hak kebendaan, misalnya hak monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan lalu-lintas, sumber air minum, irigasi, dan lain-lain.
3. Hak-hak yang bukan kebendaan, misalnya hak khiyar, hak syuf'ah, hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan, dan sebagainya.
4. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, misalnya benda-benda yang sedang digadaikan oleh si muwarrits, barang-barang yang dibeli oleh si muwarrits ketika ia masih hidup yang harganya sudah dibayar tetapi barangny belum diterima, dan sebagainya.

Secara khusus, pengertian tirkah berbeda-beda menurut para ahli fiqih. Di kalangan ahli fiqih bermadzhab Hanafi, terdapat tiga pendapat:
a) Pendapat pertama menyatakan bahwa tirkah adalah harta benda yang ditinggalkan oleh si muwarrits yang tidak mempunyai hubungan hak dengan orang lain. Jadi tirkah hanya mencakup pengertian nomor 1 dan 2 di atas. Tirkah ini nantinya harus digunakan untuk memenuhi biaya pengurusan jenazah si muwarrits sejak meninggalnya sampai dikuburkan, pelunasan utang, penunaian wasiat, dan hak ahli waris.
b) Menurut pendapat kedua, tirkah adalah sisa harta setelah diambil biaya pengurusan jenazah dan pelunasan utang. Jadi tirkah di sini adalah harta peninggalan yang harus dibayarkan untuk melaksanakan wasiat dan yang harus diberikan kepada para ahli waris.
c) Pendapat yang ketiga mengartikan tirkah secara mutlak, yaitu setiap harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit. Dengan demikian, tirkah mencakup benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, biaya pengurusan jenazah, pelunasan utang, pelaksanaan wasiat, dan pembagian warisan kepada para ahli waris

Ibnu Hazm sependapat dengan madzhab Hanafi yang menyatakan bahwa harta peninggalan yang dapat diwariskan adalah yang berupa harta benda melulu, sedangkan yang berupa hak-hak tidak dapat diwariskan, kecuali jika hak-hak itu mengikuti kepada bendanya, misalnya hak mendirikan bangunan atau menanam tumbuh-tumbuhan di atas tanah.

Menurut madzhab Maliki, Syafii, dan Hanbali, tirkah mencakup semua yang ditinggalkan si mayit, baik berupa harta benda maupun hak-hak. Dan hak-hak ini bisa hak-hak kebendaan maupun bukan kebendaan. Hanya Imam Malik yang memasukkan hak-hak yang tidak dapat dibagi, misalnya hak menjadi wali nikah, ke dalam keumuman arti hak-hak.

Demikianlah pendapat beberapa ulama tentang pengertian tirkah (hata peninggalan). Dari harta peninggalan si mayit, menurut pendapat jumhur (kebanyakan) ulama, terdapat hak-hak yang harus ditunaikan sebelum harta itu dibagi-bagi kepada para ahli waris. Hak-hak atas harta peninggalan ini harus ditunaikan dengan mengikuti urutan sebagai berikut:
1. pengurusan jenazah si mayit sejak meninggalnya sampai dikuburkan (tajhiz),
2. pelunasan utang si mayit,
3. penunaian (pelaksanaan) wasiat si mayit, dan
4. hak ahli waris.

Ini berarti bahwa pembagian harta warisan kepada para ahli waris dilaksanakan setelah diselesaikannya ketiga maacam hak, yaitu pengurusan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat.

Semua biaya untuk pengurusan jenazah didahulukan daripada pelunasan utang, pelaksanaan wasiat, dan pemberian kepada ahli waris karena pengurusan jenazah sejak meninggal sampai dikuburkan merupakan kebutuhan vital baginya sebagai ganti nafaqah dharuriyah ketika ia masih hidup. Hal ini dapat dibuktikan dari hadits berikut ini:

"Dari Ibnu Abbas RA diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang tengah menjalankan ihram dibanting oleh untanya (hingga meninggal). Kami ketika itu bersama-sama dengan Rasulullah SAW. Lalu Nabi SAW memerintahkan, ‘Mandikan dengan air dan daun bidara, jangan beri minyak wangi, dan jangan tutup kepalanya karena sesungguhnya dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan mengucapkan talbiyah.’” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan An-Nasa’i)

Dalam hadits ini, Rasulullah SAW tidak meneliti dan menanyakan apakah si mayit memiliki utang atau tidak, tetapi beliau langsung memerintahkan agar mayit tersebut dimandikan dan dikafani. Beliau tidak memerinci setiap peristiwa jika peristiwa itu menduduki keumuman apa yang diucapkan. Dengan demikian jelas bahwa biaya pengurusan jenazah si mayit harus diahulukan daripada pelunasan utang si mayit.

Adapun pelunasan utang didahulukan daripada pelaksanaan wasiat berdasarkan hadits berikut:

"Dari Ali bin Abi Thalib RA diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Utang (dilunasi) sebelum (melaksanakan) wasiat, dan tidak ada wasiat bagi ahli waris.’” (HR Ad-Daru Quthni)

Selanjutnya, wasiat didahulukan daripada pembagian harta kepada para ahli waris karena seandainya pembagian warisan yang didahulukan (dan tidak dibatasi jumlahnya), maka besar kemungkinan tidak ada lagi sisa harta yang harus diberikan kepada para ahli waris.



Ingin mengikuti terus? Silakan lihat tulisan-tulisan saya sebelumnya:
1. Hukum Waris Islam: Mengatur Atau Memaksa?
2. Ilmu Faraidh: Sejarah, Dasar Hukum dan Kepentingannya
3. Ilmu Faraidh: Ahli Waris dan Klasifikasinya
4. Ilmu Faraidh: Metode Asal Masalah dalam Penghitungan Warisan
5. Keistimewaan Hukum Waris Islam: Sebuah Bukti Kemahabijaksanaan Allah
6. Empat Belas Macam Alasan Tidak Dijalankannya Hukum Faraidh Di Indonesia
7. Hukum Waris Islam Mengangkat Derajat Wanita
8. Kuis Pendahuluan Ilmu Faraidh
9. Nasihat Seputar Harta Peninggalan [Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]

Selasa, 03 Maret 2009

Nasihat Seputar Harta Peninggalan

Oleh: Achmad Yani, S.T., M.Kom.
achmad.yani.polmed@gmail.com
achmad_yani_polmed@yahoo.co.id

بسم الله الرحمن الرحيم

Semua harta, pada dasarnya adalah milik Allah. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:

"Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi. Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Q.S. Luqman: 26)

Allah memberikan harta dan hak atas harta itu kepada manusia sebagai titipan dan ujian. Jika manusia menggunakan harta itu di jalan Allah, yaitu sesuai dengan aturan yang telah digariskan Allah, maka Allah akan memberikan balasan kebaikan yang berlipat ganda.

عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله أي الصدقة أعظم أجرا؟ قال أن تصدق وأنت صحيح شحيح تخشى الفقر وتأمل الغنى ولا تمهل حتى إذا بلغت الحلقوم قلت لفلان كذا ولفلان كذا وقد كان لفلان

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata, "Seseorang bertanya kepada Nabi SAW, 'Ya Rasulullah, sedekah apakah yang terbesar pahalanya?' Beliau bersabda, 'Sedekah yang kamu berikan ketika kondisimu sehat, sedang takut miskin, dan sedang berangan-angan menjadi kaya. Dan jangan kamu memperlambatnya, sehingga maut sudah di tenggorokan, lalu kamu berkata, 'Untuk si Fulan sekian, untuk si Fulan sekian…', padahal hartanya itu telah menjadi miliki si Fulan [yaitu harta tersebut sudah termasuk hak ahli waris]." (H.R. Bukhari – Muslim)

Dalam hadits lain disebutkan sabda Nabi SAW bahwa permisalan orang yang bersedekah ketika akan meninggal dunia adalah seperti seseorang yang sudah cukup makan, lalu sisanya ia berikan kepada orang lain.

Nabi SAW menyatakan dengan berbagai permisalan bahwa waktu bersedekah yang benar adalah ketika dalam keadaan sehat, sebab pada saat itulah waktu yang benar-benar bermujahadah (berjuang) melawan hawa nafsu. Tetapi semua ini bukan bermaksud bahwa orang yang bersedekah ketika akan meninggal dunia itu sia-sia; pahala sedekahnya tetap ia dapatkan, dan akan menjadi simpanannya di akhirat walaupun ia tidak mendapatkan pahala sebanyak yang ia dapatkan ketika bersedekah pada waktu senang dan ada keperluan. Allah berfirman, "Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa."(Q.S. Al-Baqarah: 180)

Perintah Allah ini turun pada zaman permulaan Islam. Pada zaman itu, wasiat untuk kedua orang tua adalah fardhu. Dan ketika hukum waris diturunkan, maka hak kedua orang tua dan sanak saudara telah ditentukan sendiri, sehingga kewajiban wasiat atas mereka telah dihapuskan. Namun sanak saudara yang belum tercantum dalam syariat, mereka masih memiliki hak wasiat, hanya saja sebelumnya adalah fardhu, tetapi sekarang bukan fardhu lagi. Ibnu Abbas RA berkata bahwa dengan ayat waris, maka hukum wasiat untuk sanak saudara yang menjadi ahli waris telah dimansukh (dihapuskan), tetapi sanak saudara yang belum menjadi ahli waris, hukum wasiat bagi mereka belum dimansukh. Qatadah rah.a. berkata bahwa wasiat adalah bagi mereka yang bukan ahli waris, baik mereka sanak saudara ataupun bukan.

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman, "Wahai anak Adam, kamu telah kikir dalam hidupmu, ketika kamu mati kamu mubadzir. Janganlah menyatukan dua keburukan: (a) bakhil dalam hidup, dan (b) bakhil dalam kematian. Lihatlah siapakah di antara sanak saudaramu yang tidak menjadi ahli warismu, dan berwasiatlah untuk mereka."

Sebuah hadits menyebutkan bahwa setelah manusia mati, ia akan mendapat pahala dari tujuh perkara: (1) ilmu yang telah diajarkan untuk orang lain, (2) sungai yang telah dialirkan, (3) sumur yang telah digali, (4) pohon yang telah ditanam, (5) masjid yang telah dibangun, (6) Al-Qur'an yang telah diwariskan, dan (7) anak sholeh yang ditinggal dan ia selalu berdoa untuk keampunannya."

Diriwayatkan dalam sebuah hadits, ketika Nabi SAW bertanya kepada para sahabat, "Siapakah di antara kamu yang lebih menyukai harta waisnya daripada harta miliknya sendiri?" Maka para sahabat menjawab, "Tidak seorang pun di antara kami yang lebih menyukai harta warisnya daripada harta miliknya sendiri." Maka Nabi SAW bersabda, "Harta seseorang itu hanyalah apa yang telah dia kirim terlebih dahulu (ke akhirat), dan apa yang ia tinggalkan itu bukanlah hartanya, tetapi harta milik ahli waris."

Hadits ini memiliki beberapa maksud. Di antaranya adalah untuk menggairahkan bersedekah ketika sehat dan ketika ada keperluan, juga untuk mencegah seseorang dari mewasiatkan seluruh atau sebagian besar hartanya saat datang sakaratul maut. Di samping itu, hadits ini juga mengandung pengertian bahwa mewasiatkan harta yang akhirnya menyengsarakan ahli waris adalah wajib mendapat celaan dan ancaman.

Demikianlah sebagian di antara nasihat tentang harta (peninggalan). Dari beberapa ayat dan hadits di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa harta sebagai titipan dari Allah, hendaklah kita gunakan sesuai dengan keinginan Allah, baik harta yang telah kita habiskan semasa hidup, maupun harta yang kelak akan kita wariskan kepada para ahli waris. Di samping itu, penting juga untuk bersedekah dan berwasiat dengan cara yang benar sebelum ajal menjemput kita. Semoga bermanfaat untuk kita semua. Wallahu a'lamu bishshawab.

Ingin mengikuti terus? Silakan lihat tulisan-tulisan saya sebelumnya:
1. Hukum Waris Islam: Mengatur Atau Memaksa?
2. Ilmu Faraidh: Sejarah, Dasar Hukum dan Kepentingannya
3. Ilmu Faraidh: Ahli Waris dan Klasifikasinya
4. Ilmu Faraidh: Metode Asal Masalah dalam Penghitungan Warisan
5. Keistimewaan Hukum Waris Islam: Sebuah Bukti Kemahabijaksanaan Allah
6. Empat Belas Macam Alasan Tidak Dijalankannya Hukum Faraidh Di Indonesia
7. Hukum Waris Islam Mengangkat Derajat Wanita
8. Kuis Pendahuluan Ilmu Faraidh
9. Nasihat Seputar Harta Peninggalan
[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]

Senin, 02 Maret 2009

Kuis Pendahuluan Ilmu Faraidh

Berikut ini adalah soal-soal kuis tentang ilmu faraidh sebanyak 20 soal dengan pilihan berganda. Setiap soal diberikan empat pilihan jawaban (A, B, C, D). Silakan pilih satu jawaban yang tepat. Selamat mengikuti, semoga dapat menambah wawasan kita dalam ilmu faraidh dan menyegarkan pemahaman dalam ilmu ini. Kunci jawaban kuis ini, insyaallah, akan diberikan pada awal bulan April 2009.

Click here to view the quiz scoreboard!Click here to Take this Quiz in a bigger window
Click here to Make A Quiz of Your Own!


Ingin mengikuti terus? Silakan lihat tulisan-tulisan saya yang lain:
1. Hukum Waris Islam: Mengatur Atau Memaksa?
2. Ilmu Faraidh: Sejarah, Dasar Hukum dan Kepentingannya
3. Ilmu Faraidh: Ahli Waris dan Klasifikasinya
4. Ilmu Faraidh: Metode Asal Masalah dalam Penghitungan Warisan
5. Keistimewaan Hukum Waris Islam: Sebuah Bukti Kemahabijaksanaan Allah
6. Empat Belas Macam Alasan Tidak Dijalankannya Hukum Faraidh Di Indonesia
7. Hukum Waris Islam Mengangkat Derajat Wanita
8. Kuis Pendahuluan Ilmu Faraidh
9. Nasihat Seputar Harta Peninggalan [Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]