Selasa, 16 November 2010

Ayat-Ayat Mawaris

آيات المواريث

oleh
Achmad Yani, S.T., M.Kom.

Ketentuan atau hukum atau aturan tentang pembagian harta warisan adalah satu-satunya ketentuan hukum syariat yang dirinci secara langsung oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, tidak seperti ketentuan tentang hukum syariat lainnya, misalnya ketentuan tentang shalat, zakat, puasa, dan haji. Sebagai contoh, meskipun di dalam Al-Qur’an ada perintah tentang shalat, ketentuan tentang cara-cara shalat tidak dijelaskan langsung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi dijelaskan oleh Nabi SAW melalui hadits-hadits beliau.

Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi sumber bagi hukum waris Islam secara garis besarnya dapat dibagi atas dua kelompok, yaitu ayat-ayat mawaris utama, dan ayat-ayat mawaris tambahan. Ayat-ayat mawaris utama menyebutkan secara rinci para ahli waris dan bagian mereka masing-masing yang dinyatakan dalam enam macam angka pecahan, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Sementara itu, ayat-ayat mawaris tambahan hanya memberikan ketentuan umum yang berkaitan dengan pembagian warisan, tetapi tidak memberikan rinciannya.

A. Ayat-ayat Mawaris Utama
Ayat-ayat mawaris utama hanya ada tiga ayat di dalam Al-Qur’an, yang ketiganya berada dalam Surat An-Nisa’, yaitu ayat 11, 12, dan 176. Terjemahan ketiga ayat ini adalah sebagai berikut:

1. Q.S. An-Nisa’ ayat 11:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:

Bagian anak perempuan:
1/2 jika seorang
2/3 jika dua orang atau lebih
'ushubah (sisa) jika bersama dengan anak laki-laki
Bagian anak laki-laki:
'ushubah (sisa)
Bagian ibu:
1/6 jika si mayit mempunyai anak atau dua orang saudara atau lebih
1/3 jika si mayit tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih
1/3 dari sisa (dalam masalah gharrawain yang ahli warisnya terdiri dari suami atau isteri, ibu, dan bapak)
Bagian bapak:
1/6 jika si mayit mempunyai anak laki-laki
'ushubah (sisa) jika si mayit tidak mempunyai anak laki-laki

2. Q.S. An-Nisa’ ayat 12:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”
Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:
Bagian suami:
1/2 jika si mayit tidak mempunyai anak
1/4 jika si mayit mempunyai anak
Bagian isteri:
1/4 jika si mayit tidak mempunyai anak
1/8 jika si mayit mempunyai anak
Bagian saudara laki-laki/perempuan seibu (kasus kalalah):
1/6 jika seorang
1/3 dibagi rata jika dua orang atau lebih
(Catatan: kalalah adalah seseorang yang wafat tanpa meninggalkan bapak dan anak)

3. Q.S. An-Nisa’ ayat 176:
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan) jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari gabungan) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:
Bagian saudara perempuan kandung atau sebapak (kasus kalalah):
1/2 jika seorang
2/3 jika dua orang atau lebih
'ushubah (sisa) jika bersama saudara laki-laki kandung atau sebapak
Bagian saudara laki-laki kandung atau sebapak (kasus kalalah):
'ushubah (sisa)

B. Ayat-ayat Mawaris Tambahan
Beberapa ayat yang dapat dianggap sebagai ayat-ayat mawaris tambahan terdapat di beberapa surat, antara lain An-Nisa’, Al-Anfal, dan Al-Ahzab. Berikut ini terjemahan untuk masing-masing ayat itu.

1. Q.S. An-Nisa’ ayat 7:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Laki-laki dan wanita (baik masih kecil maupun sudah dewasa, baik kuat berjuang maupun tidak) sama-sama mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan meskipun dengan jumlah bagian yang tidak sama.
Ayat ini sekaligus menghapus ketentuan warisan pada masa jahiliyah yang memberikan harta warisan kepada orang laki-laki saja, ditambah lagi dengan syarat harus sudah dewasa dan kuat berjuang (berperang)

2. Q.S. An-Nisa’ ayat 8:
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan anjuran kepada keluarga yang melaksanakan pembagian harta warisan agar memperhatikan kerabat (yang tidak memperoleh harta warisan), anak yatim, dan orang miskin serta memberikan sebagian (sekedarnya) dari harta warisan kepada mereka sehingga mereka tidak berkecil hati atas pembagian harta itu.

3. Q.S. An-Nisa’ ayat 9:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan tuntunan kepada orang-orang yang memiliki harta agar sebelum wafat memperhatikan kesejahteraan anak keturunan mereka, misalnya dengan mengutamakan pemberian harta warisan kepada anak daripada pemberian wasiat kepada orang lain, sehingga kebutuhan dan kesejahteraan anak nantinya dapat dipenuhi dengan layak.

4. Q.S. An-Nisa’ ayat 10:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan tuntunan kepada kerabat dari yang meninggal agar anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, terutama yang masih belum baligh (masih kanak-kanak) hendaklah bagian mereka disimpan dan dijaga sebaik-baiknya supaya mereka (anak-anak yatim itu) nantinya dapat menggunakan harta warisan yang menjadi hak mereka dari orang tua mereka, bukan malah sebaliknya memakan harta anak yatim itu secara zhalim.

5. Q.S. An-Nisa’ ayat 13:
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan janji balasan Allah atas orang-orang yang melaksanakan hukum waris (membagi harta warisan) sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa surga di akhirat kelak.

6. Q.S. An-Nisa’ ayat 14:
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan ancaman Allah atas orang-orang yang membagi harta warisan tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa neraka di akhirat kelak.

7. Q.S. An-Nisa’ ayat 19:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa…”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini menghapus adat jahiliyah yang menjadikan wanita sebagai harta warisan, karena pada masa jahiliyah apabila seorang laki-laki meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh keluarga pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Dengan demikian, maka tidak diperbolehkan lagi wanita dijadikan sebagai harta warisan dari suaminya yang meninggal lebih dahulu.

8. Q.S. An-Nisa’ ayat 33:
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini pada awalnya merupakan dasar hukum yang membolehkan adanya hak waris-mewarisi antara dua orang yang melakukan sumpah-setia (muhalafah) pada masa jahiliyah, tetapi kemudian menurut sebagian ahli tafsir ayat ini dinasakh (dihapus) dengan turunnya Surat Al-Anfal ayat 75 sehingga muhalafah tidak bisa lagi dijadikan salah satu sebab mewarisi.

9. Q.S. An-Nisa’ ayat 127:
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (yaitu Surat An-Nisa’ ayat 2 dan 3), (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa-apa yang ditetapkan untuk mereka (yaitu harta warisan dan mahar), sedang kamu ingin mengawini mereka, dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui atas hal itu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa wanita juga mendapat bagian harta warisan secara pasti, sedikit atau banyak. Dengan demikian, wanita juga bisa menjadi ahli waris, sema seperti laki-laki.
Menurut adat Arab Jahiliyah seorang wali berkuasa atas wanita yatim yang dalam asuhannya dan berkuasa akan hartanya. Jika wanita yatim itu cantik dikawini dan diambil hartanya. Jika wanita itu buruk rupanya, dihalanginya kawin dengan laki-laki yang lain supaya dia tetap dapat menguasai hartanya. Kebiasaan di atas dilarang melakukannya oleh ayat ini.

10. Q.S. An-Anfal ayat 72:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi (menjadi wali). Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Yang dimaksud lindung-melindungi ialah: di antara muhajirin dan anshar terjalin persaudaraan yang amat teguh (disebut muakhkhah), untuk membentuk masyarakat yang baik. Demikian keteguhan dan keakraban persaudaraan mereka itu, sehingga pada pemulaan Islam mereka waris-mewarisi seakan-akan mereka bersaudara kandung.
Ayat ini pada mulanya menjadi dasar hukum yang menjadikan hijrah dan muakhkhah (persaudaraan antara muhajirin dan anshar) sebagai sebab waris-mewarisi.

11. Q.S. An-Anfal ayat 75:
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu, maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu yang menjadi dasar (sebab) waris-mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi antara muhajirin dan anshar pada permulaan Islam.
Ayat ini sekaligus menasakh (menghapus) ketentuan dalam Q.S. Al-Anfal ayat 72 sehingga hijrah dan muakhkhah (persaudaraan antara muhajirin dan anshar) tidak dijadikan lagi sebagai sebab waris-mewarisi.

12. Q.S. An-Ahzab ayat 4 - 5:
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah. Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini menegaskan bahwa status hukum anak angkat tidak sama dengan anak kandung, seperti halnya status hukum isteri tidak sama dengan ibu. Dengan demikian, dalam hal kewarisan, maka anak angkat tidak mendapat hak waris atas harta peninggalan orang tua angkatnya. Jadi ayat ini melarang untuk menyamakan anak angkat dengan anak kandung.
Ayat ini sekaligus menasakh (menghapus) ketentuan pembagian warisan pada masa jahiliyah yang menjadikan status anak angkat sama dengan status anak kandung dalam pembagian warisan.

13. Q.S. An-Ahzab ayat 40:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Dalam ayat ini dinyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah ayah dari salah seorang sahabat. Dengan demikian, bekas isteri Zaid dapat dinikahi oleh Rasulullah SAW karena Zaid adalah anak angkat Rasulullah SAW. Seandainya Zaid sebagai anak angkat Rasulullah SAW disamakan statusnya dengan anak kandung, maka Rasulullah SAW tidak boleh menikahi mantan isteri Zaid. Demikian pula halnya kalau anak angkat dijadikan sebagai anak kandung, maka akan membawa pengaruh terhadap pembagian warisan.
Seperti juga Q.S. Al-Ahzab ayat 4-5, ayat ini menasakh (menghapus) ketentuan pembagian warisan pada masa jahiliyah yang menjadikan status anak angkat sama dengan status anak kandung dalam pembagian warisan.

[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]

Kontribusi Umar bin Khattab RA dalam Hukum Waris Islam

oleh
Achmad Yani, S.T., M.Kom.

Sejarah mencatat bahwa di antara sahabat Nabi SAW yang dinyatakan sebagai ahli dalam ilmu faraidh (ilmu tentang hukum waris Islam) adalah Zaid bin Tsabit RA yang merupakan pencatat ayat Al-Qur’an ketika turun semasa Nabi Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib RA, dan Ibnu Mas’ud RA. Meskipun Umar bin Khattab RA tidak termasuk dalam deretan pakar ilmu faraidh, banyak pemikiran beliau tentang cara penyelesaian masalah waris yang sejalan dengan Zaid bin Tsabit RA.

Ada dua kasus masalah kewarisan yang merupakan hasil ijtihad Umar RA diambil sebagai pendapat jumhur ulama dan digunakan sampai saat ini. Kedua masalah waris ini sudah sangat terkenal dan memenuhi rasa keadilan. Kedua masalah itu adalah
• Masalah Gharrawain
• Masalah Musyarrakah

1. Masalah Gharrawain
Masalah gharrawain adalah dua macam kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari (1) suami, ibu, dan bapak dan (2) isteri, ibu, dan bapak. Kedua kasus ini disebut al-gharrawain, yaitu bentuk tatsniyah (ganda) dari kata gharra’ karena dua masalah ini sangat populer bagaikan dua bintang yang cemerlang. Kedua masalah ini sering juga disebut ‘umariyyatain, karena merupakan hasil ijtihad dari Umar bin Khattab RA. Dan juga, karena tidak ada yang menandinginya, kedua masalah ini dinamakan juga gharibatain.
Berdasarkan keputusan Umar bin Khattab RA, pada kedua macam susunan ahli waris ini, bagian untuk ibu adalah 1/3 dari sisa setelah diberikan kepada suami atau isteri, bukan 1/3 dari seluruh harta warisan. Dengan demikian, bagian untuk masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut:

(a) Kasus I

Ahli WarisBagian
Suami 1/2
Ibu 1/3 dari Sisa = 1/3 x 1/2 = 1/6
Bapak 2/3 dari Sisa = 2/3 x 1/2 = 1/3
(b) Kasus II
Ahli Waris Bagian
Isteri 1/4
Ibu 1/3 dari Sisa = 1/3 x 3/4 = 1/4
Bapak 2/3 dari Sisa = 2/3 x 3/4 = 2/4

Kedua kasus kewarisan ini pertama kali timbul pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA, dan menimbulkan dua pendapat utama untuk menyelesaikannya, yaitu
(a) Pendapat Zaid bin Tsabit RA, yang disetujui oleh mayoritas sahabat dan dijadikan keputusan oleh Umar bin Khattab RA, menetapkan bahwa bagian ibu adalah sepertiga (1/3) dari sisa harta warisan setelah diberikan kepada suami (dalam kasus I) atau isteri (dalam kasus II).
(b) Pendapat Abdullah bin Abbas RA, yang ditolak oleh mayoritas sahabat, menyatakan bahwa bagian ibu adalah sepertiga (1/3) dari seluruh harta warisan.

Ketika Ibnu Abbas RA mempertanyakan landasan hukum memberikan bagian ibu 1/3 dari sisa, Zaid bin Tsabit RA menjawab bahwa Al-Qur’an tidak pernah memberikan bagian sebanyak 1/3 dari seluruh harta warisan kepada ibu jika ia bersama-sama dengan suami atau isteri. Al-Qur’an memberikan bagian sebanyak 1/3 dari seluruh harta warisan kepada ibu jika ahli warisnya hanya terdiri dari bapak dan ibu, sebagaimana firman Allah وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ yang artinya “dan ia (si mayit) diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja).”

Selanjutnya, dengan memberikan 1/3 sisa harta kepada ibu, maka perbandingan bagian bapak dengan ibu adalah 2:1, yang sesuai pula dengan kaidah mawaris bahwa perbandingan bagian laki-laki dengan perempuan adalah 2:1 manakala keduanya sederajat.

Di antara dua pendapat ini, yang paling shahih dan kuat adalah pendapat pertama yang akhirnya dijadikan keputusan oleh Umar bin Khattab RA. Pendapat inilah yang diikuti oleh jumhur (sebagian besar) ulama. Sebenarnya, bagian yang diterima ibu dalam kedua kasus ini adalah 1/6 bagian (kasus I) dan 1/4 bagian (kasus II) dari seluruh harta warisan, bukan 1/3. Adapun istilah sepertiga (1/3) tetap dipertahankan (meskipun sebenarnya adalah sepertiga dari sisa) untuk menunjukkan adab (penghormatan) terhadap kitab suci Al-Qur’an yang menyebutkan demikian. Karena telah menjadi ijma’ terhadap pendapat jumhur ulama, maka tidak ada gunanya diperselisihkan lagi. Pendapat jumhur ini pula yang akhirnya diadopsi ke dalam Qanun Al-Mawarits (Kitab Undang-Undang Hukum Waris) Nomor 77 Tahun 1943 di Mesir pada Pasal 14, dan juga ke dalam Buku Kedua dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia pada Pasal 178 ayat (2).

2. Masalah Musyarrakah
Menurut kaidah ilmu faraidh, warisan pertama sekali dibagikan kepada ahli waris golongan ashhabul-furudh (yang bagiannya sudah tertentu/tetap/jelas/pasti), kemudian sisanya (kalau masih ada) dibagikan kepada ahli waris golongan ‘ashabah (penerima sisa). Akan tetapi, terdapat kasus atau masalah yang penyelesaiannya menyimpang dari kaidah ini. Dan masalah ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan sahabat, tabi’in, dan para imam mujtahid. Masalah ini disebut masalah musyarrakah.

Secara umum, masalah musyarrakah terjadi jika seorang perempuan wafat dengan meninggalkan ahli waris dengan susunan sebagai berikut:
(a) Suami
(b) Ibu atau nenek
(c) Dua orang atau lebih saudara seibu (laki-laki saja, atau perempuan saja, atau gabungan laki-laki dan perempuan)
(d) Saudara laki-laki kandung (seorang diri, atau bersama saudara laki-laki kandung yang lain, atau bersama saudara perempuan kandung)

Sesuai dengan kaidah yang disebutkan di depan, maka ahli waris (a), (b), dan (c) merupakan ahli waris golongan ashhabul-furudh yang bagian mereka masing-masing sudah jelas, yaitu 1/2, 1/6, dan 1/3. Kalau warisan dibagikan kepada tiga macam ahli waris ini, maka tidak akan ada lagi sisa. Sementara itu, ahli waris (d) dalam hal ini adalah sebagai ‘ashabah (penerima sisa), tetapi tidak mendapat apa-apa lagi karena sisanya sudah dihabiskan oleh (a), (b), dan (c). Dari sini timbul “keanehan” karena saudara kandung, yang nyata-nyata memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat/kuat dibanding saudara seibu saja, ternyata tidak mendapat bagian sedikit pun.

Masalah ini dinamakan musyarrakah (atau musytarakah) yang artinya digabungkan (disekutukan), dan disebut juga masalah musyarrikah yang artinya menggabungkan (menyekutukan) karena saudara kandung bersekutu (atau menyekutukan diri) dengan saudara seibu dalam menerima warisan. Dan karena penyelesaiannya pertama sekali diputuskan oleh Umar bin Khattab RA, maka masalah ini kadang-kadang disebut juga masalah ‘Umariyyah, di samping juga dinamakan masalah himariyyah, hajariyyah, dan yammiyyah.

Penamaan masalah musyarrakah seperti itu adalah karena menurut riwayat, masalah ini pertama sekali diajukan seseorang kepada Khalifah Umar bin Khattab RA. Pada mulanya, beliau memutuskan bahwa saudara kandung, yaitu ahli waris (d), tidak mendapat bagian sama sekali. Tetapi kemudian keputusan beliau diprotes oleh orang-orang yang merasa dirugikan (yaitu saudara kandung) dengan mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, andaikata bapak kami itu seekor keledai (himar) atau sebuah batu (hajar) yang dilemparkan ke laut (yamm), bukankah kami ini berasal dari ibu yang satu (sama) dengan saudara-saudara seibu?” Atas protes tersebut, maka Umar RA mengubah keputusannya dengan cara menggabungkan mereka (saudara seibu dan saudara kandung) sebagai satu kelompok ahli waris yang memperoleh 1/3 bagian, dan bagian ini dibagi rata di antara mereka semua tanpa memperhatikan jenis kelamin dengan menganggap mereka semuanya sebagai saudara-saudara seibu. Perlu diingat kembali bahwa bagian untuk saudara seibu (laki-laki atau perempuan dalam hal ini dianggap sama) menurut Al-Qur’an adalah 1/6 jika seorang diri, dan berbagi dalam 1/3 bagian jika lebih dari seorang. (Lihat Q.S. An-Nisa’ ayat 12).

Pendapat Umar bin Khattab RA yang terakhir ini diikuti oleh Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ishaq bin Rahawaih dengan alasan bahwa bagian saudara-saudara kandung itu identik dengan bagian saudara-saudara seibu karena adanya persamaan jurusan dan kekerabatan. Oleh karena mereka semuanya adalah anak-anak ibu dan kerabat bapak, maka tidaklah layak sekiranya sebagian dari mereka dapat menggugurkan (hak waris) sebagian yang lain tanpa mempunyai kelebihan daripada yang lain. Kitab Undang-Undang Hukum Waris Nomor 77 Tahun 1943 di Mesir memilih pendapat ini, dan mencantumkannya dalam Pasal 10.

Sementara itu, segolongan sahabat seperti Ali bin Abi Thalib RA, Ibnu Mas’ud RA, Ibnu Abbas RA, dan Ubay bin Ka’ab RA berpendirian seperti pendapat (keputusan) Umar bin Khattab RA yang pertama sebelum diubah. Pendapat ini kemudian diikuti oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan Ibnu Qudamah.

Dari kedua masalah yang telah dibahas di depan, jelaslah peran seorang khalifah dalam menyelesaikan perselisihan pembagian harta warisan. Kedua masalah ini sudah demikian terkenal dalam ilmu faraidh, dan keduanya telah diputuskan penyelesaiannya oleh Umar bin Khattab RA, dan dijadikan pegangan oleh jumhur ulama sampai sekarang.

Demikianlah sepintas uraian tentang kepiawaian Umar bin Khattab RA dalam menyelesaikan permasalahan kewarisan. Kontribusi beliau ini sangat berharga bagi hukum waris Islam yang diterapkan oleh sebagian besar ulama masa lalu dan masa kini.

Wallahu a’lamu bishshawab.


Wassalam,


Achmad Yani
[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]

Tanya Jawab (7)

Ada pertanyaan lagi nih...

Pertanyaan:

Ass. Wr.Wb. mohon bantuan bapak atas kondisi keluarga kami. ayah saya meninggal th 1976, dengan seorang istri,5 anak perempuan,2 laki2 dan 1 anak perempuan dari istri yg lain yg telah dicerai sebelum beliau meninggal. ayah meninggalkan satu2nya harta yg dia punya yaitu sebuah rumah yang kami tempati bersama hingga kini. rumah tsb dibangun oleh ayah dan ibu saya dari 0, sejak mereka tidak punya apa2. pertanyaan saya; jika rumah ini dijual, berapakah bagian ibu saya? apa tetap 1/8 atau hasil penjualan rumah tsb. dibagi 2 dulu, kemudian dari yang setengahnya ibu akan mendapat warisan dari ayah saya sebesar 1/8? apakah bagian dari anak lain ibu tsb dibagi dari porsi ayah saya saja atau bagaimana? terima kasih atas perhatian bapak untuk membaca nasalah ini dan semoga bapak berkenan menjawab pertanyaan ini. wass.

Senin, 15 November, 2010

Jawaban:

Wa'alaikum salam wr. wb.

Alhamdulillah, dan shalawat serta salam atas Rasulullah SAW.

Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas kunjungan di blog saya yang
sederhana. Mudah-mudahan blog itu bermanfaat bagi umat dan siapa saja yang mengaksesnya. Sesuai dengan janji saya, maka setiap pertanyaan insyaallah akan saya jawab semampu saya. Jadi tentu saja saya tidak keberatan untuk menjawab pertanyaan Anda.

Pertama sekali, perlu saya informasikan bahwa dalam pembagian harta warisan menurut hukum waris Islam, harta yang akan dibagi adalah harus harta milik almarhum pribadi yang tidak bercampur dengan harta orang lain. Ini berarti bahwa sebelum harta itu dibagikan, jika harta itu dimiliki oleh lebih dari satu orang, maka terlebih dahulu dari harta tadi harus ditentukan dan dipilah mana yang memang hak milik pribadi dari almarhum. Kalau sudah jelas atau sudah dipisahkan kepemilikan orang lain dalam harta tadi, barulah harta yang murni milik almarhum bisa dibagikan. Yang sering menjadi masalah adalah bagaimana cara memilahnya, berapa bagian dan bagian mana yang murni milik almarhum sampai sebelum ia meninggal?

Sekarang saya uraikan penjelasan tentang status kepemilikan rumah yang Anda tempati sekarang. Adapun rumah yang ditempati bersama dan pada awalnya dibangun oleh kedua orang tua Anda (ayah dan ibu Anda), maka status kepemilikannya tentu saya tidak bisa menjawabnya langsung sekarang, misalnya bagian ibu dan ayah Anda masing-masing 50% dari nilai jualnya sekarang. Tetapi saran saya adalah untuk menentukan kepemilikan rumah itu, bisa dimulai dari bertanya kepada ibu Anda, apakah pada saat pembangunan
rumah itu mungkin ibu Anda pernah membuat semacam perjanjian atau kesepakatan dengan almarhum ayah Anda, meskipun secara tidak tertulis, tentang berapa besar saham atau bagian masing-masing dari rumah itu, sehingga ini dapat dijadikan acuan untuk memilah kepemilikan rumah tadi yang menurut informasi Anda, adalah hasil jerih payah ibu dan ayah Anda.

Kalau sudah didapat keputusan yang jelas tentang hal itu, yaitu kepemilikan rumah, dan ini tetap harus diusahakan, berarti sudah jelas bagian atau saham dari masing-masing pemilik rumah itu. Berapapun bagian masing-masing atas rumah tadi, maka selanjutnya yang akan dibagikan sebagai harta warisan, dalam hal ini kepada isteri dan anak2 laki2 serta anak2 perempuan almarhum, adalah bagian almarhum ayah Anda saja yang sudah jelas tidak bercampur lagi dengan harta ibu.

Dengan menganggap status kepemilikan rumah tadi sudah jelas, yaitu sudah jelas bagian ibu dan bagian bapak, maka untuk pertanyaan Anda, dapat saya jawab sebagai berikut:

1. Sebagai ahli waris, maka ibu Anda (yaitu isteri dari almarhum) mendapat 1/8 bagian dari bagian yang menjadi hak almarhum ayah Anda dari penjualan rumah, bukan 1/8 dari hasil penjualan rumah seluruhnya.

2. Anak ayah Anda dari isteri yang lain statusnya sama dengan Anda, karena dia adalah juga anak kandung dari ayah Anda. Berarti bagiannya juga sama dengan bagian yang akan Anda dapatkan. Supaya lebih jelas, maka bagian untuk para ahli waris dari almarhum ayah Anda adalah sebagai berikut:

Isteri: mendapat 1/8 bagian
Anak laki2 (2 orang): mendapat 4/10 bagian dari Sisa = 4/10 x 7/8 bagian = 28/80 bagian; jadi masing2 anak laki2 mendapat 14/80 bagian.
Anak perempuan (6 orang): mendapat 6/10 bagian dari Sisa = 6/10 x 7/8 bagian = 42/80 bagian; jadi masing2 anak perempuan mendapat 7/80 bagian.

Sekali lagi, seperti telah saya sebutkan sebelumnya, yang dibagi untuk ketiga macam ahli waris ini adalah harta almarhum saja yang berupa bagian dari rumah yang tidak lagi bercampur dengan harta ibu Anda. Dan keenam orang anak perempuan di sini sudah termasuk Anda berlima dengan saudara2 kandung perempuan Anda, bersama-sama dengan saudara tiri perempuan Anda. Keenam anak perempuan ini adalah anak kandung almarhum ayah Anda.

Demikianlah jawaban yang dapat saya berikan. Mudah-mudahan bermanfaat, dan pembagian warisan dapat dibagi dengan lancar. Dan yang paling penting adalah, jika kita amalkan pembagian sesuai dengan hukum waris Islam, bukan menurut nafsu pribadi kita, maka keberkahan dalam harta warisan itu akan kita dapatkan, insyaallah.

Wallahu a'lamu bishshawab.
Wassalam,

Achmad Yani
[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]

Tanya Jawab (6)

Berikut ini saya kutipkan pertanyaan seputar pembagian waris:

Pertanyaan:

Assalamualaikum, mohon bantuan bapak atas mslh saya berikut ini. ayah saya meninggal dunia thn 2000, meninggalkan istri,4 anak laki2 dan 3 anak perempun.kami tdk membagi harta warisan.tetapi abg saya menjual sebagian tanah waris tsb dan membaginya menurut versi mereka kepada anak lelaki si A,B,C dan anak perempuan si S dan P.dan sekarang si C meminta kembali bagiannya dr harta yg msh tersisa,tetapi si A da B tdk memberi dgn alasan yg tersisa milik si ibu, anak lelaki si D dan anak perempua si R(saya). saya mengusulkan memghitung ulang harta peninggalan almarhum dan di bagi menurut syariat islam, tetapi mereka menolak. Bagaimana menurut Bapak penyelesaian masalah ini?? sebelumnya saya ucapkan terima kasih....
Rabu, 10 November, 2010

Jawaban:

Wa'alaikum salam wr. wb.
Langsung saja, untuk masalah yang Anda tanyakan ini, maka menurut hukum Islam, seharusnya pembagiannya adalah sebagai berikut:
1. Isteri : mendapat 1/8 bagian.
2. Anak laki2 (4 org) : mendapat 8/11 bagian dari Sisa = (8/11) x (7/8) bagian = 56/88 bagian; jadi masing2 anak laki2 mendapat 14/88 bagian.
3. Anak perempuan (3 org): mendapat 3/11 bagian dari Sisa = (3/11) x (7/8) bagian = 21/88 bagian; jadi masing2 ank perempuan mendapat 7/88 bagian.

Selanjutnya, karena harta sudah terlanjur dibagi tetapi tidak sesuai dengan huku waris Islam, maka saya sarankan kepada Anda dan anggota keluarga yang lain untuk duduk bersama untuk bermusyawarah keluarga agar menghitung ulang harta tadi. Ada baiknya Anda mengundang seorang ulama atau ustadz yang dapat dimintai tolong untuk memberikan penjelasan tentang masalah Anda di dalam musyawarah itu, sehingga insyaallah dapat memberikan pencerahan bagi seluruh anggota keluarga.

Demikianlah jawaban yang dapat saya berikan.
Wassalam,

Achmad Yani
[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]