Sabtu, 19 Februari 2011

Kodifikasi Hukum Waris Islam di Indonesia

Oleh
A©hmad Yani, S.T., M.Kom.




Tulisan ini menguraikan secara singkat sejarah perkembangan hukum waris Islam yang berlaku di Indonesia. Ditinjau dari sejarahnya, maka hukum waris Islam berkembang seiring dengan perkembangan hukum Islam secara umum yang berlaku dalam masyarakat Islam di Indonesia. Dalam tulisan ini, sejarah perkembangan hukum waris Islam dapat dilihat paling tidak dari empat masa yang dimulai sejak sebelum penjajahan Belanda sampai sekarang.

1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda
Jauh sebelum bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda, hukum Islam secara umum telah dijalankan oleh umat Islam Indonesia sejak masuknya Islam ke Indonesia. Dalam statuta Jakarta 1642 disebutkan bahwa soal kewarisan mempergunakan hukum yang sudah dipakai sehari-hari oleh rakyat, yaitu hukum Islam, sehingga hukum bentukan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie = Gabungan Perusahaan Dagang Belanda Hindia Timur) tidak berfungsi efektif.

2. Masa Penjajahan Belanda
Pada tanggal 19 Januari 1882, berdasarkan Staatsblad 1882 No. 152 dibentuk Peradilan Agama (Priester-raad) di Jawa dan Madura. Kekuasaannya mencakup masalah perkawinan, warisan, dan wakaf. Pada tanggal 1 April 1937, berdasarkan Staatsblad 1937 No. 116, kekuasaan Peradilan Agama dibatasi, sehingga masalah warisan, wakaf, dan hadhanah (pemeliharaan anak akibat perceraian) diputus oleh Pengadilan Negeri.

3. Masa Penjajahan Jepang
Lembaga Peradilan Agama tetap dipertahankan, tetapi berganti nama menjadi Scorioo Hooin, sementara Mahkamah Agama Islam Tinggi menjadi Kaikoo Kootoo berdasarkan Pasal 3 Aturan Peralihan bala tentara Jepang (Osamu Seizu) tanggal 7 Maret 1942.

4. Masa Setelah Kemerdekaan sampai Sekarang
Pada tanggal 9 Oktober 1957, Pengadilan Agama (Mahkamah Syar'iyah) di luar Jawa dan Madura dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 1957 (Lembaran Negara 1957 No. 99) dengan kekuasaan yang lebih luas daripada Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Masalah warisan di luar Jawa dan Madura menjadi kompeten Pengadilan Agama (Mahkamah Syar'iyah).

Pada tanggal 29 Desember 1989, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan, dan diundangkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 1989 No. 49 dengan kekuasaan mencakup masalah perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah.

Pada tanggal 10 Juni 1991, dikeluarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari tiga buku: Buku I (Hukum Perkawinan), Buku II (Hukum Kewarisan), dan Buku III (Hukum Perwakafan). Sebagai catatan, Buku II tentang Hukum Kewarisan dalam KHI berisi 4 bab yang dirinci dalam Pasal 171 sampai Pasal 193 yang berkaitan dengan kewarisan, ditambah dengan 2 bab tentang wasiat dan hibah yang dirinci dalam Pasal 194 sampai Pasal 214. Menteri Agama, melalui Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 meminta untuk sedapat mungkin menerapkan KHI di peradilan agama yang ada di seluruh Indonesia.

Dari sejarah singkat di atas, dapat dilihat bahwa hukum waris Islam yang dilaksanakan di Indonesia belum dibukukan dalam bentuk undang-undang. Ini berarti bahwa Undang-Undang tentang Kewarisan menurut hukum Islam di Indonesia belum ada sampai sekarang! Yang ada hanya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW, Burgerlijk Wetboek) -- sebuah kitab warisan penjajah Belanda -- yang berlaku bagi orang Tionghoa dan Eropa (Buku II, Bab XII sampai XVIII, Pasal 830 sampai 1130). Namun demikian, dalam pemutusan perkara kewarisan di pengadilan agama, para hakim sudah sepakat menggunakan Buku II dari Kompilasi Hukum Islam tentang Hukum Kewarisan sebagai acuan, meskipun secara tata hukum, status KHI masih berada di bawah undang-undang.

Di masa mendatang, diharapkan kepada seluruh komponen umat Islam yang memiliki kapasitas dan wewenang dalam kaitannya dengan hukum Islam, agar dapat melakukan kodifikasi lebih lanjut terhadap hukum waris Islam yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia dan menghasilkan sebuah produk hukum positif yang diberi nama, misalnya, Kitab Undang-Undang Hukum Waris.

Adalah sebuah kejanggalan, bahwa di sebuah negara yang warga negaranya mayoritas menganut agama Islam, meskipun bukan sebuah negara Islam, ternyata di Indonesia belum ada sebuah undang-undang tentang hukum waris yang berlaku secara nasional yang mengikat warga negaranya yang beragama Islam. Sebagai perbandingan, negara Mesir jauh-jauh hari – sebelum Indonesia merdeka – sudah memiliki Qanun Al-Mawarits (Kitab Undang-Undang Hukum Waris) yang merupakan produk hukum berbentuk Undang-Undang Nomor 77 Tahun 1943 yang diberlakukan mulai tanggal 12 September 1943. Undang-Undang ini terdiri atas 8 bab yang dirinci dalam 48 pasal.

Demikianlah secara singkat sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia secara umum dan hukum waris secara khusus. Wallahu a’lamu bishshawab.
[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]