Senin, 20 Desember 2010

Masalah Al-Akdariyah

الأكدريّة
Masalah Al-Akdariyah

Oleh
Achmad Yani, S.T., M.Kom.

Dalam pembahasan tentang kewarisan kakek bersama saudara, terdapat satu pengecualian untuk satu masalah. Masalah ini terjadi ketika ada seseorang yang wafat dengan meninggalkan suami, ibu, kakek, dan seorang saudara perempuan (kandung atau sebapak). Masalah ini dalam ilmu faraidh dikenal dengan nama Masalah Al-Akdariyah. Istilah al-akdariyah ini muncul karena masalah ini berkaitan dengan salah seorang wanita dari Bani Akdar. Sedangkan sebagian ulama mengatakan bahwa penyebutan masalah ini dengan istilah al-akdariyah, yang artinya “kotor” atau “mengotori”, disebabkan masalah ini dianggap mengotori madzhab Zaid bin Tsabit RA (sosok sahabat yang telah dipuji Rasulullah SAW akan kemahirannya dalam ilmu faraidh). Hal ini karena beliau memvonis masalah waris ini dengan melakukan sesuatu yang bertentangan (menyimpang) dari kaidah-kaidah faraidh yang masyhur.
Jika masalah ini diselesaikan dengan mengikuti kaidah biasa dalam ilmu faraidh, maka penyelesaiannya dapat dilihat pada Tabel 1.






























Tabel 1 Penyelesaian Masalah Al-Akdariyah dengan Cara Biasa
Ahli WarisFardhSahamBagian setelah 'aul menjadi 9
Suami1/21/2x6=33/9
Ibu1/31/3x6=22/9
Saudara pr1/21/2x6=33/9
Kakek1/61/6x6=11/9
Dengan pembagian seperti cara dalam Tabel 1, ternyata bagian yang diterima saudara perempuan (yaitu 3/9 bagian) tiga kali lebih banyak daripada bagian yanga diterima kakek (yaitu 1/9). Karena adanya kejanggalan bahwa kakek sebagai ahli waris laki-laki menerima lebih kecil daripda saudara peremmpuan sebagai ahli waris perempuan, maka timbullah beberapa pendapat di antara para ahli faraidh.

a) Pendapat Abu Bakar Ash-Shiddiq RA
Menurut Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, yang belakangan menjadi pendapat Imam Abu Hanifah, saudara perempuan terhalang (mahjub) dari mendapat warisan karena adanya kakek, sehingga pembagiannya adalah seperti pada Tabel 2.


















Tabel 2 Penyelesaian Masalah Al-Akdariyah menurut Abu Bakar Ash-Shiddiq RA
Ahli WarisBagian
Suami1/2=3/6
Ibu1/3=2/6
Saudara pr-
Kakek1/6

b) Pendapat Umar bin Khattab RA dan Ibnu Mas’ud RA
Berdasarkan pendapat Umar dan Ibnu Mas’ud RA, ibu hanya diberi bagian sebesar 1/6, bukan 1/3, untuk menghindari agar jangan sampai bagian ibu lebih besar daripada bagian kakek. Dengan demikian, pembagiannya dapat dilihat secara rinci pada Tabel 3.




























Tabel 3 Penyelesaian Masalah Al-Akdariyah menurut Umar dan Ibnu Mas'ud RA
Ahli WarisFardhSahamBagian setelah 'aul menjadi 8
Suami1/21/2x6=33/8
Ibu1/61/6x6=11/8
Saudara pr1/21/2x6=33/8
Kakek1/61/6x6=11/8


c) Pendapat Zaid bin Tsabit RA
Menurut Zaid RA, penyelesaian untuk masalah ini pertama sekali bagian untuk masing-masing ahli waris adalah seperti dalam Tabel 1. Kemudian bagian untuk saudara perempuan dan kakek dikumpulkan sehingga menjadi 3/9 + 1/9 = 4/9. Kemudian nilai 4/9 ini dibagi dua antara mereka, dengan ketentuan muqasamah, yaitu bagian kakek dua kali lipat bagian untuk saudara perempuan. Karena 4 tidak bisa dibagi 3 secara bulat, maka nilai pembagi harus ditashih, yaitu dari 9 dikalikan 3 menjadi 27. Dan semua bagian untuk ahli waris (pembilang dan penyebut) dikalikan 3 sehingga suami mendapat 9/27 dan ibu mendapat 6/27. Adapun bagian saudara perempuan dan kakek yang berjumlah 4/9 setelah ditashhih menjadi 12/27. Nilai 12/27 ini dibagi untuk saudara perempuan dan kakek dengan perbandingan 1:2, sehingga saudara perempuan mendapat 4/27 bagian, dan kakek mendapat 8/27 bagian. Untuk lebih jelasnya, rincian pembagiannya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
































Tabel 4 Penyelesaian Masalah Al-Akdariyah menurut Zaid bin Tsabit RA
Ahli WarisFardhSahamBagian setelah 'aul menjadi 8Setelah tashhih: 9x3=27
Suami1/21/2x6=33/99/27
Ibu1/31/3x6=22/96/27
Saudara pr1/21/2x6=34/94/27
Kakek1/61/6x6=18/27

Ternyata dalam kasus ini Zaid bin Tsabit RA memvonis dengan menyalahi kaidah yang ada. Beliau memberi saudara sekandung 1/2 bagian, dan menaikkan (meng-‘aul-kan) pembaginya dari 6 menjadi 9. Kemudian beliau menyatukan bagian saudara perempuan dengan bagian kakek, dan membaginya dengan ketentuan bahwa bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Setelah ditashhih, pembaginya menjadi 27, sehingga pembagiannya adalah sebagai berikut: Suami mendapat 9/27, ibu 6/27, kakek 8/27, dan saudara perempuan sekandung 4/27.
Penyelesaian masalah Al-Akdariyah menurut cara yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit RA diikuti oleh kebanyakan ulama madzhab, yaitu madzhab Maliki, Syafii, dan Hambali. Dan penyelesaian menurut cara ini merupakan penyelesaian yang masyhur di kalangan ulama masa kini.

Perlu diingat bahwa masalah Al-Akdariyah hanya ada untuk susunan empat orang ahli waris seperti yang disebutkan di depan, tidak untuk susunan ahli waris yang lain. Ini berarti bahwa, jika susunan ahli waris berubah, maka tidak termasuk masalah Al-Akdariyah lagi.

Wassalam,

[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]

Minggu, 19 Desember 2010

Kewarisan Kakek Bersama Saudara (Bagian Pertama)

مِيْرَاثُ الْجَدِّ مَعَ اْلإِخْوَةِ
Kewarisan Kakek Bersama Saudara
(Bagian Pertama)

Oleh
Achmad Yani, S.T., M.Kom.

Tulisan ini adalah bagian pertama dari dua tulisan dengan topik yang sama. Meskipun sangat jarang terjadi kasus kewarisan yang di antara ahli warisnya terdapat kakek bersama dengan saudara dari mayit, pembahasan tentang hal ini mendapat tempat khusus dalam ilmu faraidh. Adapun yang dimaksud dengan kakek dalam masalah ini adalah kakek shahih, yaitu kakek yang hubungan nasabnya (hubungan darahnya) dengan mayit murni melalui jalur laki-laki saja, tidak diselingi oleh perempuan. Sebagai contoh adalah bapaknya bapak dan seterusnya ke atas. Status kakek dalam kewarisan hampir sama dengan bapak dalam beberapa hal. Karena itu, kakek shahih termasuk ahli waris golongan ashhabul-furudh dan juga ‘ashabah seperti halnya bapak. Jika dalam nasab yang menghubungkan kakek dengan mayit terdapat perempuan, maka disebut kakek fasid, misalnya bapaknya ibu dan bapak dari ibunya bapak. Kakek fasid tidak termasuk ahli waris golongan ashhabul-furudh maupun ‘ashabah, tetapi termasuk dalam ahli waris golongan dzawil-arham.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan saudara dalam masalah ini adalah saudara kandung dan saudara sebapak, baik laki-laki maupun perempuan. Adapun saudara seibu, maka tidak termasuk dalam hal ini karena jika kakek bersama dengan saudara seibu, maka saudara seibu akan mahjub (terhalang) dari mendapat warisan oleh adanya kakek berdasarkan ijma’ ulama. Dan saudara seibu hanya mewarisi jika mayit adalah kalalah, yaitu tidak memiliki bapak atau kakek dan seterusnya ke atas, dan juga tidak memiliki anak secara mutlak, baik laki-laki maupun perempuan.

Untuk pembahasan selanjutnya dalam tulisan ini, maka diasumsikan tidak terdapat bapak yang mewarisi bersama-sama dengan kakek, karena kewarisan kakek menjadi mahjub (terhalang) oleh adanya bapak. Dan dalam tulisan ini juga, pembahasan dibatasi hanya untuk masalah yang melibatkan ahli waris saudara kandung saja, atau saudara sebapak saja, tidak kedua macam saudara ini secara bersama-sama. Dengan demikian, maka yang menjadi fokus dalam pembahasan adalah terdapatnya ahli ahli waris yang terdiri dari kakek bersama saudara kandung saja atau kakek bersama saudara sebapak saja dengan atau tanpa ashhabul-furudh yang lain. Pembahasan yang melibatkan ahli waris saudara kandung bersama-sama dengan saudara sebapak (yang sering disebut masalah mu’addah) insyaallah akan dimuat dalam bagian lain.

Baik Al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW tidak menjelaskan hukum waris bagi kakek bersama-sama dengan saudara. Karena itu, para sahabat sangat berhati-hati dalam memutuskan perkara ini, bahkan takut mengeluarkan fatwa tentangnya. Ketika ditanya tentang kewarisan kakek bersama saudara, Ibnu Mas’ud RA berkata, ”Silakan bertanya kepadaku tentang masalah-masalah yang rumit, tetapi jangan bertanya tentang masalah kewarisan kakek bersama saudara.” Adapun Umar bin Khattab RA pernah mengatakan, “Orang yang paling berani di antara kamu dalam memutuskan bagian kakek adalah orang yang paling berani terhadap api neraka.” Demikian pula, Ali bin Abi Thalib RA menyatakan, “Barangsiapa ingin masuk neraka jahannam, maka silakan memutuskan kewarisan kakek bersama dengan saudara si mayit.”

Namun demikian, karena tidak ada nash Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW yang menjelaskannya, masalah ini tetap harus dapat diselesaikan. Karena itu, masalah ini – mau tidak mau – memerlukan ijtihad. Pada mulanya, ketika masalah ini dijumpai, ada dua pendapat utama di kalangan para sahabat:

1. Pendapat pertama menyatakan bahwa kakek menghijab (menghalangi) hak waris saudara, sehingga saudara tidak mendapat warisan.
Pendapat ini diikuti oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, Ibnu Abbas RA, Ibnu Umar RA, Al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Imam Abu Hanifah. Pendapat ini memiliki alasan sebagai berikut:
a) Kakek berkedudukan sama dengan bapak jika tidak ada bapak dalam segala keadaan, sama halnya dengan cucu laki-laki yang berkedudukan sebagai anak laki-laki jika tidak ada anak laki-laki.
b) Sesuai dengan kaidah dasar dalam ketentuan ‘ashabah, bahwa jurusan garis bapak (ubuwwah, yang juga mencakup kakek) harus didahulukan daripada jurusan garis saudara (ukhuwwah). Karena itu, kakek dapat menghijab saudara.
c) Kakek hanya dapat dihijab oleh bapak, sedangkan saudara dapat dihijab oleh tiga macam ahli waris, yaitu bapak, anak laki-laki, dan cucu laki-laki.
d) Kakek termasuk ahli waris ashhabul-furudh dan juga ‘ashabah, sama seperti bapak, sedangkan saudara hanya menerima warisan sebagai ‘ashabah.

2. Pendapat kedua menyatakan bahwa kakek dan saudara secara bersama-sama mewarisi harta si mayit.
Pendapat ini diikuti oleh Ali bin Abi Thalib RA, Ibnu Mas’ud RA, Zaid bin Tsabit RA, Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Malik, Abu Yusuf, Muhammad, dan diambil sebagai pegangan bagi Qanun Al-Mawaris di Mesir. Alasan untuk pendapat ini adalah sebagai berikut:
a) Kakek sama-sama dihubungkan ke mayit melalui bapak sehingga kedudukan mereka adalah sama kuat.
b) Tidak ada nash dan ijma’ yang menetapkan bahwa saudara dapat dihijab oleh kakek.
c) Penyebutan kakek (jadd) dengan bapak (ab) di dalam Al-Qur’an maupun hadits hanya secara majazy sehingga kakek tidak dapat disamakan secara mutlak dengan bapak dalam segala hal.
d) Hubungan nasab dari garis anak (bunuwwah) tidak selalu lebih rendah daripada garis bapak (ubuwwah), bahkan kadang-kadang lebih kuat.
e) Terhalangnya kakek oleh bapak saja, sedangkan saudara oleh bapak, anak laki-laki, dan cucu laki-laki tidak menunjukkan bahwa kakek lebih utama daripada saudara. Jadi tidak dibedakan apakah yang menghijab itu seorang atau lebih.
f) Cara mewarisi kakek dengan fardh dan ‘ushubah sedangkan saudara hanya dengan ‘ushubah tidak menunjukkan bahwa kakek lebih utama daripada saudara, karena anak laki-laki yang hanya mewarisi dengan ‘ushubah saja malah lebih utama daripada kakek.

Pendapat pertama yang menetapkan bahwa kakek menghijab saudara tidak perlu dibahas lebih lanjut karena sudah jelas bahwa kewarisan kakek sama dengan bapak, sementara kewarisan saudara terhalang. Jadi kasusnya sama saja dengan keadaan bapak bersama-sama dengan saudara. Dengan demikian, maka pendapat kedua menjadi lebih penting dan memerlukan pembahasan lebih lanjut. Dan di antara kedua pendapat ini, pendapat kedua merupakan pendapat mayoritas sahabat dan ulama. Adapun tulisan ini dan selanjutnya tidak dimaksudkan untuk membuat pendapat baru lagi tentang kewarisan kakek bersama saudara, tetapi hanya menjabarkan pendapat-pendapat yang telah ada sejak zaman sahabat.

Dalam menetapkan hak waris bagi kakek bersama saudara menurut pendapat kedua, terdapat lagi beberapa perbedaan cara melakukan pembagiannya. Ada tiga sahabat yang masyhur dalam hal ini, yaitu Zaid bin Tsabit RA, Ali bin Abi Thalib RA, dan Ibnu Mas’ud RA. Adapun cara penyelesaian yang diajukan oleh Zaid bin Tsabit RA merupakan cara yang paling populer dan paling banyak dipakai ulama saat ini. Tulisan ini hanya memuat pendapat Zaid bin Tsabit RA. Sementara itu, pendapat Ali bin Abi Thalib RA dan Ibnu Mas’ud RA - insyaallah - akan dimuat dalam tulisan yang lain.

Pendapat Zaid bin Tsabit RA
Menurut Zaid bin Tsabit RA, pembahasan kewarisan kakek bersama saudara dapat dibagi ke dalam dua keadaan:
1. Keadaan pertama: ahli waris hanya terdiri atas kakek dan saudara tanpa ashhabul-furudh lain
2. Keadaan kedua: ahli waris terdiri atas kakek dan saudara beserta ashhabul-furudh lain

Keadaan Pertama
Pada keadaan pertama ini, bagian yang diterima kakek adalah yang lebih baik (lebih banyak) atau paling menguntungkan di antara dua jalan:
1) Muqasamah (berbagi bersama saudara). Dalam hal ini, kakek dianggap seolah-olah sebagai seorang saudara laki-laki (kandung atau sebapak), dan menerima bagian sebagai ‘ashabah bin-nafsi jika bersama dengan saudara laki-laki saja, atau sebagai ‘ashabah bil-ghair jika bersama dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan, dengan catatan bahwa bagian untuk seorang laki-laki adalah dua kali bagian untuk seorang perempuan.
2) Menerima 1/3 dari seluruh harta. Dalam hal ini, setelah kakek diberi 1/3 bagian dari seluruh harta, kemudian sisanya diberikan kepada para saudara sebagai ‘ashabah.
Yang manapun bagian yang diterima kakek, maka penerimaan untuk kakek dalam hal ini tidak boleh kurang dari 1/3.

Keadaan Kedua
Dalam keadaan kedua, selain kakek dan saudara, terdapat juga ahli waris golongan ashhabul-furudh lain. Jika kakek berada dalam keadaan kedua, maka bagian untuk kakek adalah yang paling menguntungkan (paling besar) di antara tiga jalan:
1) Muqasamah (berbagi bersama saudara). Muqasamah dalam hal ini adalah terhadap sisa harta setelah diberikan kepada ashhabul-furudh. Seperti halnya dalam keadaan pertama, kakek juga dianggap sebagai seorang saudara laki-laki (kandung atau sebapak), dan menerima bagian sebagai ‘ashabah bin-nafsi atau ‘ashabah bil-ghair.
2) Menerima 1/3 sisa setelah ashhabul-furudh
3) Menerima 1/6 dari seluruh harta
Yang manapun bagian yang diterima kakek, maka penerimaan untuk kakek dalam hal ini tidak boleh kurang dari 1/6.

Adapun ashhabul-furudh (selain kakek dan saudara perempuan) yang mungkin dalam keadaan kedua ini adalah sebagai berikut:
(a) Nenek, yang bagiannya adalah 1/6
(b) Ibu, yang bagiannya adalah 1/3 atau 1/6
(c) Isteri, yang bagiannya adalah 1/4 atau 1/8
(d) Suami, yang bagiannya adalah 1/2 atau 1/4
(e) Anak perempuan, yang bagiannya 1/2 atau 2/3
(f) Cucu perempuan (dari anak laki-laki), yang bagiannya adalah 1/2 atau 2/3 atau 1/6

Menurut Zaid bin Tsabit RA, penyelesaian untuk keadaan kedua dikecualikan untuk satu keadaan saja, yaitu dalam masalah Al-Akdariyah, yang ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, kakek, dan seorang saudara perempuan (kandung atau sebapak). Pembahasan tentang hal ini, insyaallah, akan dimuat dalam tulisan tersendiri.

Berdasarkan penelitian penulis, maka penentuan bagian mana yang paling menguntungkan bagi kakek untuk kedua keadaan terebut, dapat diperoleh dari besarnya bagian yang diterima oleh para ashhabul-furudh (atau berarti juga besarnya sisa setelah diberikan kepada ashhabul-furudh) dan jumlah porsi saudara. Untuk mempermudah pembaca, maka penulis membuat ringkasannya dalam Tabel 1.











































Tabel 1 Ringkasan Cara Pembagian untuk Kakek bersama Saudara menurut Zaid bin Tsabit RA

Keadaan PertamaKeadaan Kedua
Jumlah Porsi Saudara <=4Jumlah Porsi Saudara >4Sisa Harta <> 2/3)1/3 <= Sisa Harta <>
Sisa Harta >= 1/2 (Bagian AF <= 1/2)
Jumlah Porsi Saudara <= 2Jumlah Porsi Saudara > 2Jumlah Porsi Saudara <= 4Jumlah Porsi Saudara > 4
No. Kasus1234567
Bagian KakekMuqasamah antara Kakek dan Saudara1/31/6Muqasamah antara Kakek dan Saudara1/6Muqasamah antara Kakek dan Saudara1/3 Sisa
Bagian SaudaraMendapat sisanya sebagai 'ashabahMendapat sisanya (kalau masih ada) sebagai 'ashabahMendapat sisanya (kalau masih ada) sebagai 'ashabahMendapat sisanya (kalau masih ada) sebagai 'ashabah

Pada Tabel 1, Jumlah Porsi Saudara dapat dihitung dengan menggunakan rumus sederhana, yaitu 2L + P, dengan L = banyaknya saudara laki-laki, dan P = banyaknya saudara perempuan. Sebagai contoh, jika L = 3 dan P = 1, maka Jumlah Porsi Saudara adalah (2x3) + 1 = 7. Sementara itu, yang dimaksud dengan Sisa Harta adalah harta yang tersisa setelah diberikan kepada ashhabul-furudh. Dan Bagian AF maksudnya adalah bagian yang diterima ashhabul-furudh selain kakek dan saudara.
Dari Tabel 1 juga, dapat dilihat bahwa terdapat tujuh macam kasus berkaitan dengan Jumlah Porsi Saudara dan Sisa Harta. Penjelasan dan contoh untuk masing-masing kasus adalah sebagai berikut.

Kasus No. 1
Keadaan Pertama dengan Jumlah Porsi Saudara ≤ 4 hanya mungkin terjadi untuk delapan macam susunan ahli waris sebagai berikut:
(a) Kakek bersama 1 orang saudara perempuan
(b) Kakek bersama 2 orang saudara perempuan
(c) Kakek bersama 3 orang saudara perempuan
(d) Kakek bersama 4 orang saudara perempuan
(e) Kakek bersama 1 orang saudara laki-laki
(f) Kakek bersama 2 orang saudara laki-laki
(g) Kakek bersama 1 orang saudara laki-laki dan 1 orang saudara perempuan
(h) Kakek bersama 1 orang saudara laki-laki dan 2 orang saudara perempuan
Pada kedelapan macam susunan ahli waris ini, bagian kakek secara muqasamah selalu lebih besar atau sama dengan 1/3 bagian. Secara khusus, untuk susunan ahli waris pada (d), (f), dan (h), penerimaan untuk kakek secara muqasamah maupun 1/3 bagian sama besarnya. Untuk lebih jelasnya, perbandingan penerimaan secara muqasamah dan 1/3 bagian dapat dilihat pada Tabel 2:










































































































Tabel 2 Perbandingan Bagian Kakek secara Muqasamah dan Menerima 1/3 untuk Kasus No. 1
No.JumlahPenerimaan Kakek Dgn MuqasamahPenerimaan Kakek Tanpa Muqasamah (Kakek menerima 1/3 bagian)
KakekSdr lkSdr prKakekSdr lkSdr prKakekSdr lkSdr pr
(a)1012/301/31/302/3
(b)1022/402/41/302/3
(c)1032/503/51/302/3
(d)1042/6=1/304/6=2/31/302/3
(e)1102/42/401/32/30
(f)1202/6=1/34/601/32/30
(g)1112/52/51/51/32/3x2/3=4/91/3x2/3=2/9
(h)1122/6=1/32/62/61/32/4x2/3=4/122/4x2/3=4/12

Kasus No. 2
Keadaan Pertama dengan Jumlah Porsi Saudara > 4 terjadi untuk susunan ahli waris dengan jumlah saudara laki-laki dan perempuan selain dari Kasus No. 1 yang delapan macam itu. Sebagai ilustrasi, dapat dilihat beberapa contoh susunan ahli waris untuk kasus ini dalam Tabel 3.































































































Tabel 3 Perbandingan Bagian Kakek secara Muqasamah dan Menerima 1/3 untuk Kasus No. 2
No.JumlahPenerimaan Kakek Tanpa Muqasamah (Kakek menerima 1/3 bagian)Penerimaan Kakek Dgn Muqasamah
KakekSdr lkSdr prKakekSdr lkSdr prKakekSdr lkSdr pr
11211/34/5x2/3=8/151/5x2/3=2/152/74/71/7
21221/34/6x2/3=8/182/6x2/3=4/182/84/82/8
31131/32/5x2/3=4/153/5x2/3=6/152/72/73/7
41141/32/6x2/3=4/184/6x2/3=8/182/82/84/8
51151/32/7x2/3=4/215/7x2/3=10/212/92/95/9
61161/32/8x2/3=4/246/8x2/3=12/242/102/106/10
...









Dari Tabel 3, dapat dilihat bahwa untuk setiap susunan ahli waris, penerimaan kakek dengan cara muqasamah selalu lebih kecil daripada 1/3 bagian. Karena itu, kakek harus diberikan bagian sebesar 1/3 bagian dari seluruh harta.

Kasus No. 3
Untuk keadaan kedua dan dengan sisa harta kurang dari 1/3, atau dengan kata lain jumlah bagian untuk ashhabul-furudh adalah lebih besar dari 2/3, maka berapapun jumlah saudara laki-laki dan perempuan, bagian yang paling menguntungkan untuk kakek adalah 1/6 dari seluruh harta, sementara sisanya dibagi kepada saudara laki-laki dan/atau perempuan sebagai ‘ashabah. Sebagai ilustrasi, dapat dilihat dua contoh berikut ini.

Contoh 1:
Ahli waris adalah 2 orang anak perempuan, ibu, kakek, dan seorang saudara laki-laki kandung. Maka bagian masing-masing adalah sebagai berikut:
(a) 2 anak perempuan : 2/3 bagian
(b) Ibu : 1/6 bagian
(c) Kakek : 1/6 bagian
(d) Saudara lk kandung : tidak mendapat bagian, karena sudah tidak ada sisa.
Dalam contoh ini, karena sisa harta setelah ashhabul-furudh tinggal 1/6, maka tidak mungkin lagi dibuat muqasamah antara kakek dengan saudara, ataupun kakek diberikan 1/3 dari sisa, karena tentu bagian kakek akan menjadi kurang dari 1/6.

Contoh 2:
Ahli waris adalah anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, suami, nenek, kakek, saudara laki-laki, dan saudara perempuan. Maka dalam dalam kasus ini terpaksa dibuat ‘aul karena bagian untuk ashhabul-furudh selain kakek dan saudara perempuan (yaitu 15/12 bagian) sudah melampaui jumlah harta yang akan dibagi. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:


































Ahli WarisBagianKeteranganBagian Setelah 'Aul
Anak pr1/2=6/12Jumlah harta untuk ashhabul-furudh selain kakek dan saudara perempuan adalah 13/12, melampaui jumlah harta yang akan dibagi6/15
Cucu pr1/6=2/122/15
Suami1/4=3/123/15
Nenek1/6=2/122/15
Kakek1/6=2/12Karena harta sudah habis, bahkan kurang dan harus di-‘aul-kan2/15
Saudara prTidak adaKarena harta sudah habis, bahkan kurangTidak ada


Kasus No. 4
Jika sisa harta setelah ashhabul-furudh tidak kurang dari 1/3 tetapi kurang dari 1/2 (atau berarti juga bagian ashhabul-furudh lebih dari 1/2 dan tidak lebih dari 2/3), dan Jumlah Porsi Saudara ≤ 2, maka bagian kakek selalu menguntungkan jika dilakukan muqasamah. Adapun susunan ahli waris kakek dan saudara yang mungkin dalam hal ini hanya tiga macam, yaitu
(a) Kakek bersama 1 orang saudara perempuan,
(b) Kakek bersama 2 orang saudara perempuan, dan
(c) Kakek bersama 1 orang saudara laki-laki.
Sebagai ilutrasi untuk kasus no. 4 ini, dapat dilihat dua contoh berikut.

Contoh 1:
Seseorang wafat dengan meninggalkan isteri, ibu, kakek, dan seorang saudara perempuan. Maka bagian untuk isteri dan ibu masing-masing adalah 1/4 dan 1/3 yang jumlahnya sama dengan 7/12. Sisa harta adalah 5/12. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
Isteri : 1/4
Ibu : 1/3
Kakek : Muqasamah = 2/3 x Sisa = 2/3 x 5/12 = 10/36
Sdr pr : Muqasamah = 1/3 x Sisa = 1/3 x 5/12 = 5/36
Nilai 10/36 untuk kakek ini lebih besar dibandingkan 1/6 ataupun 1/3 sisa.

Contoh 2:
Seseorang wafat dengan meninggalkan seorang anak perempuan, isteri, kakek, dan seorang saudara laki-laki. Maka bagian untuk anak perempuan dan isteri masing-masing adalah 1/2 dan 1/8 yang jumlahnya sama dengan 5/8. Sisa harta adalah 3/8. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
Anak pr : 1/2
Isteri : 1/8
Kakek : Muqasamah = 1/2 x Sisa = 1/2 x 3/8 = 3/16
Sdr lk : Muqasamah = 1/2 x Sisa = 1/2 x 3/8 = 3/16
Nilai 3/16 untuk kakek ini lebih besar dibandingkan 1/6 atau 1/3 sisa.

Kasus No. 5
Jika sisa harta setelah ashhabul-furudh tidak kurang dari 1/3 dan kurang dari 1/2, tetapi jumlah porsi saudara lebih dari 2, maka bagian yang paling menguntungkan untuk kakek adalah mendapat 1/6 bagian. Adapun susunan ahli waris kakek dan saudara yang mungkin untuk kasus ini adalah selain dari yang disebutkan dalam kasus no. 4 di depan.
Contoh:
Ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan, isteri, kakek, dan 2 saudara laki-laki. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
Anak pr : 1/2
Isteri : 1/8
Kakek : 1/6
2 Sdr lk : Sisa = 5/24

Kasus No. 6
Kasus ini berlaku jika sisa harta ≥ 1/2 dan jumlah porsi saudara ≤ 4. Maka bagian yang paling menguntungkan untuk kakek adalah muqasamah.
Sebagai contoh untuk kasus ini adalah seseorang wafat dengan meninggalkan isteri, nenek, kakek, dan 3 saudara perempuan. Bagian untuk isteri dan nenek dalam hal ini masing-masing 1/4 dan 1/6 sehingga jumlahnya 5/12, dan sisa harta adalah 7/12. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut.
Isteri : 1/4
Nenek : 1/6
Kakek : Muqasamah = 2/5 x 7/12 = 14/60
3 sdr pr : Muqasamah = 3/5 x 7/12 = 21/60
Nilai 14/60 untuk kakek ini lebih besar dibandingkan 1/6 maupun 1/3 sisa.

Kasus No. 7
Jika sisa harta setelah ashhabul-furudh tidak kurang dari 1/2 dan jumlah porsi saudara lebih dari 4, maka bagian yang paling menguntungkan untuk kakek adalah 1/3 sisa.
Contoh:
Ahli waris terdiri dari ibu, kakek, seorang saudara laki-laki, dan 3 orang saudara perempuan. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut.
Ibu : 1/6
Kakek : 1/3 x Sisa = 1/3 x 5/6 = 5/18
1 Sdr lk : (‘Ashabah) = 2/5 x (2/3 x Sisa) = 2/5 x 2/3 x 5/6 = 20/90
3 Sdr pr : (‘Ashabah) = 3/5 x (2/3 x Sisa) = 3/5 x 2/3 x 5/6 = 30/90
Jika kakek diberi bagian secara muqasamah, maka bagiannya adalah 2/7 x 5/6 = 10/42. Ini lebih kecil dibandingkan 5/18. Juga kalau kakek diberi 1/6 bagian, maka ini juga masih lebih kecil dibandingkan 5/18.
[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]

Antara Warisan, Hibah, dan Wasiat

الميراث والهبة والوصيّة

Oleh
Achmad Yani, S.T., M.Kom.

Ada tiga istilah berkaitan dengan pembagian harta dari seseorang, yang karena memiliki kemiripan, seringkali menjadi salah atau tidak tepat dalam pelaksanaannya. Ketiga istilah itu adalah warisan, hibah, dan wasiat. Untuk memudahkan dalam membedakan ketiganya, Tabel 1 berikut ini menunjukkan perbandingan ketiga istilah ini ditinjau dari empat aspek, yaitu waktu pemberian (perpindahan kepemilikan), penerima harta, nilai harta, dan hukum.

Tabel 1 Perbandingan antara Warisan, Hibah, dan Wasiat


WarisanHibahWasiat
Waktu PemberianSetelah wafatSebelum wafatSetelah wafat
Penerima HartaAhli warisAhli waris & bukan ahli warisBukan ahli waris
Nilai HartaSesuai dengan ketentuan faraidhBebasMaksimal 1/3
HukumWajibSunnahSunnah



Penjelasan
a. Waktu Pemberian
Sudah merupakan ketentuan dari Allah SWT, bahwa pembagian harta warisan dilakukan setelah pemilik harta itu meninggal dunia. Maka yang membagi warisan pastilah bukan yang memiliki harta itu, tetapi orang lain.
Sementara itu, hibah dan wasiat, justru penetapannya dilakukan saat pemiliknya masih hidup. Bedanya, kalau hibah harta itu langsung diserahkan saat itu juga, tidak menunggu sampai pemiliknya meninggal dulu. Sedangkan wasiat ditentukan oleh pemilik harta pada saat masih hidup namun perpindahan kepemilikannya baru terjadi saat dia meninggal dunia.

b. Penerima Harta
Orang yang berhak menerima warisan hanyalah orang-orang yang terdapat di dalam daftar ahli waris (baik golongan ashhabul-furudh, ‘ashabah, maupun dzawil-arham), dan tidak terkena hijab hirman (terhalang total karena adanya ahli waris lain yang lebih dekat/kuat posisinya). Tentunya juga yang statusnya tidak gugur karena tiga hal, yaitu berstatus budak, membunuh si pemilik harta, dan berbeda agama.
Sementara itu, wasiat justru diharamkan bila diberikan kepada ahli waris, kecuali ahli waris yang terkena hijab hirman. Karena ahli waris sudah menerima harta lewat jalur pembagian waris, maka haram baginya menerima lewat jalur washiat.
Adapun hibah, maka boleh diterima oleh ahli waris dan bukan ahli waris. Hibah itu boleh diserahkan kepada siapa saja.

c. Nilai Harta
Nilai harta yang dibagi kepada para ahli waris sudah ada ketentuan besarannya, yaitu sebagaimana ditetapkan di dalam ilmu faraidh, yang besarnya masing-masing bagian pada dasarnya ada enam macam seperti disebutkan dalam Al-Quran dan hadits, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6.
Sementara itu, nilai harta yang boleh diwasiatkan maksimal hanya 1/3 dari nilai total harta peninggalan. Walaupun itu merupakan pesan atau wasiat dari almarhum sebagai pemilik harta, namun ada ketentuan dari Allah SWT untuk membela kepentingan ahli waris, sehingga berwasiat lebih dari 1/3 harta merupakan hal yang diharamkan. Bahkan apabila terlanjur diwasiatkan lebih dari 1/3, maka kelebihannya itu harus dibatalkan.
Adapun hibah, nilai harta yang diberikan kepada orang yang diinginkan tidak memiliki ketentuan dan batasan, tergantung pemilik harta yang bersangkutan.

d. Hukum
Pembagian warisan itu hukumnya wajib dilakuan sepeninggal muwarrits, karena merupakan salah satu kewajiban atas harta yang ditinggalkannya. Sedangkan memberikan wasiat hukumnya hanya sunnah. Demikian juga memberikan harta hibah hukumnya sunnah.
Demikianlah di antara beberapa ketentuan berkaitan dengan warisan, hibah, dan wasiat. Semoga tulisan ini memberikan manfaat bagi kita semua yang menginginkan keberkahan dalam harta dan kedamaian dalam keluarga. Amin.

Wallahu a’lamu bishshawab.
Wassalam,

Achmad Yani, S.T., M.Kom.

[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]

Hadits-Hadits Mawaris

أحاديث المواريث

oleh
Achmad Yani, S.T., M.Kom.


Ketentuan dalam hukum waris Islam yang menyangkut para ahli waris yang berhak mendapat bagian dengan jumlah yang sudah tertentu yang disebut ashhabul-furudh beserta bagian mereka masing-masing dan para ahli waris yang mendapat sisa yang disebut juga dengan ‘ashabah sudah ditetapkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an dalam ayat-ayat mawaris utama, yaitu Surat An-Nisa’ ayat 11, 12, dan 176. Di samping para ahli waris yang disebutkan dalam ketiga ayat ini, ada juga ahli waris yang belum disebutkan, seperti kakek, nenek, cucu, paman, dan bibi. Para ahli waris ini disebutkan dalam beberapa hadits Nabi SAW. Demikian pula, beberapa ketentuan yang berkaitan dengan hukum waris, seperti orang-orang yang tidak bisa menjadi ahli waris dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadits-hadits beliau. Berikut ini diuraikan beberapa hadits Nabi SAW yang berkaitan dengan hukum waris Islam dan menjadi pelengkap sumber hukum waris Islam.

1. Hadits No. 1
Dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Berikanlah faraidh (bagian-bagian yang telah ditentukan) kepada yang berhak, dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat." (HR Bukhari dan Muslim)
Kesimpulan atau intisari hadits ini:
• Dalam pembagian warisan, ahli waris yang mendapat bagian lebih dahulu adalah ahli waris golongan ashhabul-furudh (ahli waris yang bagian mereka sudah tertentu), kemudian kalau ada sisanya baru diberikan kepada ahli waris golongan ‘ashabah (ahli waris penerima sisa).

2. Hadits No.2
Dari Jabir bin Abdullah RA, dia berkata: Janda (dari Sa'ad RA) datang kepada Rasulullah SAW bersama dua orang anak perempuannya. Lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Sa'ad yang telah syahid pada Perang Uhud. Paman mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka. Keduanya tidak dapat kawin tanpa harta." Nabi SAW bersabda: "Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian ini." Kemudian turun ayat-ayat tentang warisan. Nabi SAW memanggil si paman dan berkata: "Berikan dua pertiga untuk dua orang anak Sa'ad, seperdelapan untuk isteri Sa'ad, dan selebihnya ambil untukmu." (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Kesimpulan atau intisari hadits ini:
• Dalam kasus pembagian warisan yang ahli warisnya terdiri dari dua orang anak perempuan, isteri, dan paman, maka kedua anak perempuan mendapat 2/3 bagian, isteri mendapat 1/8, dan paman menjadi ‘ashabah bin-nafsi yang mendapat sisanya.

3. Hadits No. 3
Dari Huzail bin Surahbil RA, dia berkata: Abu Musa RA ditanya tentang kasus kewarisan seorang anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, dan seorang saudara perempuan. Abu Musa RA berkata: "Untuk anak perempuan setengah, untuk saudara perempuan setengah. Datanglah kepada Ibnu Mas'ud RA, tentu dia akan mengatakan seperti itu pula." Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas'ud RA dan dia menjawab: "Saya menetapkan berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Nabi SAW. Yaitu untuk anak perempuan setengah, untuk cucu perempuan seperenam sebagai pelengkap dua pertiga, sisanya untuk saudara perempuan." (HR Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Kesimpulan atau intisari hadits ini:
• Hadits ini menjadi dasar hukum yang menetapkan hak waris cucu perempuan (dari anak laki-laki) yang mendapat 1/6 bagian jika bersama dengan seorang anak perempuan yang mendapat 1/2 bagian. Sementara itu, saudara perempuan mendapat sisanya (dalam hal ini, saudara perempuan menjadi ‘ashabah ma’al-ghair dengan sebab adanya anak perempuan dan/atau cucu perempuan)

4. Hadits No. 4
Dari Imran bin Husein RA bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi SAW sambil berkata: "Anak dari anak laki-laki saya meninggal dunia, apa yang saya dapat dari harta warisannya?" Nabi SAW bersabda: "Kamu mendapat seperenam." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Kesimpulan atau intisari hadits ini:
• Hadits ini menjadi dasar hukum yang menetapkan hak waris kakek, yaitu kakek mendapat 1/6 bagian jika cucunya meninggal dengan syarat tidak ada bapak.

5. Hadits No. 5
Dari Qabishah bin Dzuaib RA, dia berkata bahwa seorang nenek mandatangi Abu Bakar RA yang meminta warisan dari cucunya. Abu Bakar RA berkata kepadanya: "Saya tidak menemukan sesuatu untukmu dalam Kitab Allah, dan saya tidak mengetahui ada hukum dalam sunnah Nabi SAW. Kembalilah dulu, nanti saya akan bertanya kepada orang lain tentang hal ini." Mughirah bin Syu'bah RA berkata: "Saya pernah menghadiri majelis Nabi SAW yang memberikan hak nenek sebanyak seperenam." Abu Bakar RA berkata: "Apakah ada orang lain selain kamu yang mengetahuinya?" Muhammad bin Maslamah RA berdiri dan berkata seperti yang dikatakan Mughirah RA. Maka akhirnya Abu Bakar RA memberikan hak warisan nenek itu." (HR Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Kesimpulan atau intisari hadits ini:
• Hadits ini menjadi dasar hukum yang menetapkan hak waris nenek, yaitu nenek mendapat 1/6 bagian jika cucunya meninggal dengan syarat tidak ada ibu.

6. Hadits No. 6
Dari Usamah bin Zaid RA bahwa Nabi SAW bersabda, "Seorang muslim tidak mewarisi nonmuslim, dan nonmuslim tidak mewarisi seorang muslim." (H.R. Bukhari dan Muslim)
Kesimpulan atau intisari hadits ini:
• Hadits ini menjadi dasar hukum yang menetapkan bahwa hak waris-mewarisi tidak terjadi antara dua orang yang berbeda agama.

7. Hadits No.7
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Pembunuh tidak boleh mewarisi." (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Kesimpulan atau intisari hadits ini:
• Hadits ini menjadi dasar hukum yang menetapkan bahwa seorang pembunuh tidak berhak mewarisi orang yang dibunuhnya. Dengan kata lain, hak warisnya menjadi hilang akibat perbuatannya membunuh itu.

8. Hadits No. 8
Dari Sa'ad bin Abi Waqqash RA ia berkata: "Saya pernah sakit di Mekkah, sakit yang membawa kematian. Saya dijenguk oleh Nabi SAW. Saya berkata kepada Nabi SAW, 'Ya Rasulullah, saya memiliki harta yang banyak, tidak ada yang akan mewarisi harta kecuali seorang anak perempuan, bolehkah saya sedekahkan dua pertiganya?' Jawab Nabi SAW, 'Tidak.' Saya berkata lagi, 'Bagaimana kalau separuhnya ya Rasulullah?' Jawab Nabi SAW, 'Tidak.' Saya berkata lagi, 'Sepertiga?' Nabi SAW bersabda, 'Ya, sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan keluargamu berkecukupan lebih baik daripada meninggalkan mereka berkekurangan, sampai-sampai meminta kepada orang'." (H.R. Bukhari)
Kesimpulan atau intisari hadits ini:
• Hadits ini menjadi dasar hukum yang menetapkan bahwa wasiat dibatasi hanya sampai sepertiga (1/3) dari jumlah harta peninggalan, karena sepertiga itu sudah banyak, dan mewasiatkan harta melebihi jumlah ini akan mengurangi penerimaan para ahli waris yang berhak mendapat bagian.

9. Hadits No. 9
Dari 'Amr bin Muslim dari Thawus dari 'Aisyah RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Saudara laki-laki ibu menjadi ahli waris bagi yang tidak ada ahli warisnya." (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Kesimpulan atau intisari hadits ini:
• Saudara laki-laki dari ibu (yaitu bibi) juga termasuk ahli waris, tetapi golongan dzawil-arham, yang mendapat bagian jika tidak ada ahli waris golongan ashhabul-furudh dan ‘ashabah.

10. Hadits No. 10
Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW beliau bersabda: "Saya adalah lebih utama bagi seorang mukmin daripada diri mereka sendiri. Barangsiapa yang meninggal dan mempunyai utang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya, maka sayalah yang akan melunasinya. Barangsiapa yang meninggalkan harta, maka harta itu adalah untuk ahli warisnya." (H.R. Bukhari dan Muslim)
Kesimpulan atau intisari hadits ini:
• Rasulullah SAW semasa hidup beliau telah bersedia menjadi orang yang bertanggung jawab melunasi utang orang yang mati dalam keadaan tidak mempunyai harta untuk membayarnya.

11. Hadits No. 11
Dari Jabir bin Abdullah dan Miswar bin Makhramah, mereka berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Seorang bayi tidak berhak menerima warisan kecuali ia lahir dalam keadaan bergerak dengan jelas. Gerakannya diketaui dari tangis, teriakan, atau bersin." (H.R. Ibnu Majah)
Kesimpulan atau intisari hadits ini:
• Bayi yang baru lahir dalam keadaan hidup berhak mendapatkan harta warisan.

Demikianlah beberapa hadits Nabi SAW yang dapat dijadikan sebagai pelengkap sumber hukum waris Islam setelah Al-Qur’an. Dari ayat-ayat mawaris dan hadits-hadits mawaris, maka para ulama telah menyusun satu cabang ilmu dalam agama Islam yang diberi nama Ilmu Faraidh atau Ilmu Mawaris yang menjadi pedoman bagi umat Islam untuk melaksanakan pembagian harta warisan sesuai dengan petunjuk Allah SWT dan bimbingan Rasulullah SAW.

Wallahu a’lamu bishshawab.
Wassalam,

Achmad Yani, S.T., M.Kom.

[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]

Selasa, 07 Desember 2010

Selamat Tahun Baru 1 Muharram 1432 Hijriyah


ِالسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Alhamdulillah, hari ini tepat tanggal 1 Muharram 1432 H. Kepada semua pembaca setia blog ini, saya mengucapkan

Selamat Tahun Baru Hijriyah

كلّ عَامٍ وأنتم بخير

Semoga dengan semangat tahun baru hijriyah, kita semua hijrah menuju kehidupan yang lebih baik, untuk urusan dunia maupun urusan akhirat. Amin

Wassalam,


Achmad Yani
[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]

Selasa, 16 November 2010

Ayat-Ayat Mawaris

آيات المواريث

oleh
Achmad Yani, S.T., M.Kom.

Ketentuan atau hukum atau aturan tentang pembagian harta warisan adalah satu-satunya ketentuan hukum syariat yang dirinci secara langsung oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, tidak seperti ketentuan tentang hukum syariat lainnya, misalnya ketentuan tentang shalat, zakat, puasa, dan haji. Sebagai contoh, meskipun di dalam Al-Qur’an ada perintah tentang shalat, ketentuan tentang cara-cara shalat tidak dijelaskan langsung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi dijelaskan oleh Nabi SAW melalui hadits-hadits beliau.

Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi sumber bagi hukum waris Islam secara garis besarnya dapat dibagi atas dua kelompok, yaitu ayat-ayat mawaris utama, dan ayat-ayat mawaris tambahan. Ayat-ayat mawaris utama menyebutkan secara rinci para ahli waris dan bagian mereka masing-masing yang dinyatakan dalam enam macam angka pecahan, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Sementara itu, ayat-ayat mawaris tambahan hanya memberikan ketentuan umum yang berkaitan dengan pembagian warisan, tetapi tidak memberikan rinciannya.

A. Ayat-ayat Mawaris Utama
Ayat-ayat mawaris utama hanya ada tiga ayat di dalam Al-Qur’an, yang ketiganya berada dalam Surat An-Nisa’, yaitu ayat 11, 12, dan 176. Terjemahan ketiga ayat ini adalah sebagai berikut:

1. Q.S. An-Nisa’ ayat 11:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:

Bagian anak perempuan:
1/2 jika seorang
2/3 jika dua orang atau lebih
'ushubah (sisa) jika bersama dengan anak laki-laki
Bagian anak laki-laki:
'ushubah (sisa)
Bagian ibu:
1/6 jika si mayit mempunyai anak atau dua orang saudara atau lebih
1/3 jika si mayit tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih
1/3 dari sisa (dalam masalah gharrawain yang ahli warisnya terdiri dari suami atau isteri, ibu, dan bapak)
Bagian bapak:
1/6 jika si mayit mempunyai anak laki-laki
'ushubah (sisa) jika si mayit tidak mempunyai anak laki-laki

2. Q.S. An-Nisa’ ayat 12:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”
Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:
Bagian suami:
1/2 jika si mayit tidak mempunyai anak
1/4 jika si mayit mempunyai anak
Bagian isteri:
1/4 jika si mayit tidak mempunyai anak
1/8 jika si mayit mempunyai anak
Bagian saudara laki-laki/perempuan seibu (kasus kalalah):
1/6 jika seorang
1/3 dibagi rata jika dua orang atau lebih
(Catatan: kalalah adalah seseorang yang wafat tanpa meninggalkan bapak dan anak)

3. Q.S. An-Nisa’ ayat 176:
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan) jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari gabungan) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:
Bagian saudara perempuan kandung atau sebapak (kasus kalalah):
1/2 jika seorang
2/3 jika dua orang atau lebih
'ushubah (sisa) jika bersama saudara laki-laki kandung atau sebapak
Bagian saudara laki-laki kandung atau sebapak (kasus kalalah):
'ushubah (sisa)

B. Ayat-ayat Mawaris Tambahan
Beberapa ayat yang dapat dianggap sebagai ayat-ayat mawaris tambahan terdapat di beberapa surat, antara lain An-Nisa’, Al-Anfal, dan Al-Ahzab. Berikut ini terjemahan untuk masing-masing ayat itu.

1. Q.S. An-Nisa’ ayat 7:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Laki-laki dan wanita (baik masih kecil maupun sudah dewasa, baik kuat berjuang maupun tidak) sama-sama mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan meskipun dengan jumlah bagian yang tidak sama.
Ayat ini sekaligus menghapus ketentuan warisan pada masa jahiliyah yang memberikan harta warisan kepada orang laki-laki saja, ditambah lagi dengan syarat harus sudah dewasa dan kuat berjuang (berperang)

2. Q.S. An-Nisa’ ayat 8:
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan anjuran kepada keluarga yang melaksanakan pembagian harta warisan agar memperhatikan kerabat (yang tidak memperoleh harta warisan), anak yatim, dan orang miskin serta memberikan sebagian (sekedarnya) dari harta warisan kepada mereka sehingga mereka tidak berkecil hati atas pembagian harta itu.

3. Q.S. An-Nisa’ ayat 9:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan tuntunan kepada orang-orang yang memiliki harta agar sebelum wafat memperhatikan kesejahteraan anak keturunan mereka, misalnya dengan mengutamakan pemberian harta warisan kepada anak daripada pemberian wasiat kepada orang lain, sehingga kebutuhan dan kesejahteraan anak nantinya dapat dipenuhi dengan layak.

4. Q.S. An-Nisa’ ayat 10:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan tuntunan kepada kerabat dari yang meninggal agar anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, terutama yang masih belum baligh (masih kanak-kanak) hendaklah bagian mereka disimpan dan dijaga sebaik-baiknya supaya mereka (anak-anak yatim itu) nantinya dapat menggunakan harta warisan yang menjadi hak mereka dari orang tua mereka, bukan malah sebaliknya memakan harta anak yatim itu secara zhalim.

5. Q.S. An-Nisa’ ayat 13:
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan janji balasan Allah atas orang-orang yang melaksanakan hukum waris (membagi harta warisan) sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa surga di akhirat kelak.

6. Q.S. An-Nisa’ ayat 14:
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan ancaman Allah atas orang-orang yang membagi harta warisan tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa neraka di akhirat kelak.

7. Q.S. An-Nisa’ ayat 19:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa…”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini menghapus adat jahiliyah yang menjadikan wanita sebagai harta warisan, karena pada masa jahiliyah apabila seorang laki-laki meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh keluarga pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Dengan demikian, maka tidak diperbolehkan lagi wanita dijadikan sebagai harta warisan dari suaminya yang meninggal lebih dahulu.

8. Q.S. An-Nisa’ ayat 33:
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini pada awalnya merupakan dasar hukum yang membolehkan adanya hak waris-mewarisi antara dua orang yang melakukan sumpah-setia (muhalafah) pada masa jahiliyah, tetapi kemudian menurut sebagian ahli tafsir ayat ini dinasakh (dihapus) dengan turunnya Surat Al-Anfal ayat 75 sehingga muhalafah tidak bisa lagi dijadikan salah satu sebab mewarisi.

9. Q.S. An-Nisa’ ayat 127:
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (yaitu Surat An-Nisa’ ayat 2 dan 3), (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa-apa yang ditetapkan untuk mereka (yaitu harta warisan dan mahar), sedang kamu ingin mengawini mereka, dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui atas hal itu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa wanita juga mendapat bagian harta warisan secara pasti, sedikit atau banyak. Dengan demikian, wanita juga bisa menjadi ahli waris, sema seperti laki-laki.
Menurut adat Arab Jahiliyah seorang wali berkuasa atas wanita yatim yang dalam asuhannya dan berkuasa akan hartanya. Jika wanita yatim itu cantik dikawini dan diambil hartanya. Jika wanita itu buruk rupanya, dihalanginya kawin dengan laki-laki yang lain supaya dia tetap dapat menguasai hartanya. Kebiasaan di atas dilarang melakukannya oleh ayat ini.

10. Q.S. An-Anfal ayat 72:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi (menjadi wali). Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Yang dimaksud lindung-melindungi ialah: di antara muhajirin dan anshar terjalin persaudaraan yang amat teguh (disebut muakhkhah), untuk membentuk masyarakat yang baik. Demikian keteguhan dan keakraban persaudaraan mereka itu, sehingga pada pemulaan Islam mereka waris-mewarisi seakan-akan mereka bersaudara kandung.
Ayat ini pada mulanya menjadi dasar hukum yang menjadikan hijrah dan muakhkhah (persaudaraan antara muhajirin dan anshar) sebagai sebab waris-mewarisi.

11. Q.S. An-Anfal ayat 75:
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu, maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu yang menjadi dasar (sebab) waris-mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi antara muhajirin dan anshar pada permulaan Islam.
Ayat ini sekaligus menasakh (menghapus) ketentuan dalam Q.S. Al-Anfal ayat 72 sehingga hijrah dan muakhkhah (persaudaraan antara muhajirin dan anshar) tidak dijadikan lagi sebagai sebab waris-mewarisi.

12. Q.S. An-Ahzab ayat 4 - 5:
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah. Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini menegaskan bahwa status hukum anak angkat tidak sama dengan anak kandung, seperti halnya status hukum isteri tidak sama dengan ibu. Dengan demikian, dalam hal kewarisan, maka anak angkat tidak mendapat hak waris atas harta peninggalan orang tua angkatnya. Jadi ayat ini melarang untuk menyamakan anak angkat dengan anak kandung.
Ayat ini sekaligus menasakh (menghapus) ketentuan pembagian warisan pada masa jahiliyah yang menjadikan status anak angkat sama dengan status anak kandung dalam pembagian warisan.

13. Q.S. An-Ahzab ayat 40:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Dalam ayat ini dinyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah ayah dari salah seorang sahabat. Dengan demikian, bekas isteri Zaid dapat dinikahi oleh Rasulullah SAW karena Zaid adalah anak angkat Rasulullah SAW. Seandainya Zaid sebagai anak angkat Rasulullah SAW disamakan statusnya dengan anak kandung, maka Rasulullah SAW tidak boleh menikahi mantan isteri Zaid. Demikian pula halnya kalau anak angkat dijadikan sebagai anak kandung, maka akan membawa pengaruh terhadap pembagian warisan.
Seperti juga Q.S. Al-Ahzab ayat 4-5, ayat ini menasakh (menghapus) ketentuan pembagian warisan pada masa jahiliyah yang menjadikan status anak angkat sama dengan status anak kandung dalam pembagian warisan.

[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]

Kontribusi Umar bin Khattab RA dalam Hukum Waris Islam

oleh
Achmad Yani, S.T., M.Kom.

Sejarah mencatat bahwa di antara sahabat Nabi SAW yang dinyatakan sebagai ahli dalam ilmu faraidh (ilmu tentang hukum waris Islam) adalah Zaid bin Tsabit RA yang merupakan pencatat ayat Al-Qur’an ketika turun semasa Nabi Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib RA, dan Ibnu Mas’ud RA. Meskipun Umar bin Khattab RA tidak termasuk dalam deretan pakar ilmu faraidh, banyak pemikiran beliau tentang cara penyelesaian masalah waris yang sejalan dengan Zaid bin Tsabit RA.

Ada dua kasus masalah kewarisan yang merupakan hasil ijtihad Umar RA diambil sebagai pendapat jumhur ulama dan digunakan sampai saat ini. Kedua masalah waris ini sudah sangat terkenal dan memenuhi rasa keadilan. Kedua masalah itu adalah
• Masalah Gharrawain
• Masalah Musyarrakah

1. Masalah Gharrawain
Masalah gharrawain adalah dua macam kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari (1) suami, ibu, dan bapak dan (2) isteri, ibu, dan bapak. Kedua kasus ini disebut al-gharrawain, yaitu bentuk tatsniyah (ganda) dari kata gharra’ karena dua masalah ini sangat populer bagaikan dua bintang yang cemerlang. Kedua masalah ini sering juga disebut ‘umariyyatain, karena merupakan hasil ijtihad dari Umar bin Khattab RA. Dan juga, karena tidak ada yang menandinginya, kedua masalah ini dinamakan juga gharibatain.
Berdasarkan keputusan Umar bin Khattab RA, pada kedua macam susunan ahli waris ini, bagian untuk ibu adalah 1/3 dari sisa setelah diberikan kepada suami atau isteri, bukan 1/3 dari seluruh harta warisan. Dengan demikian, bagian untuk masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut:

(a) Kasus I

Ahli WarisBagian
Suami 1/2
Ibu 1/3 dari Sisa = 1/3 x 1/2 = 1/6
Bapak 2/3 dari Sisa = 2/3 x 1/2 = 1/3
(b) Kasus II
Ahli Waris Bagian
Isteri 1/4
Ibu 1/3 dari Sisa = 1/3 x 3/4 = 1/4
Bapak 2/3 dari Sisa = 2/3 x 3/4 = 2/4

Kedua kasus kewarisan ini pertama kali timbul pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA, dan menimbulkan dua pendapat utama untuk menyelesaikannya, yaitu
(a) Pendapat Zaid bin Tsabit RA, yang disetujui oleh mayoritas sahabat dan dijadikan keputusan oleh Umar bin Khattab RA, menetapkan bahwa bagian ibu adalah sepertiga (1/3) dari sisa harta warisan setelah diberikan kepada suami (dalam kasus I) atau isteri (dalam kasus II).
(b) Pendapat Abdullah bin Abbas RA, yang ditolak oleh mayoritas sahabat, menyatakan bahwa bagian ibu adalah sepertiga (1/3) dari seluruh harta warisan.

Ketika Ibnu Abbas RA mempertanyakan landasan hukum memberikan bagian ibu 1/3 dari sisa, Zaid bin Tsabit RA menjawab bahwa Al-Qur’an tidak pernah memberikan bagian sebanyak 1/3 dari seluruh harta warisan kepada ibu jika ia bersama-sama dengan suami atau isteri. Al-Qur’an memberikan bagian sebanyak 1/3 dari seluruh harta warisan kepada ibu jika ahli warisnya hanya terdiri dari bapak dan ibu, sebagaimana firman Allah وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ yang artinya “dan ia (si mayit) diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja).”

Selanjutnya, dengan memberikan 1/3 sisa harta kepada ibu, maka perbandingan bagian bapak dengan ibu adalah 2:1, yang sesuai pula dengan kaidah mawaris bahwa perbandingan bagian laki-laki dengan perempuan adalah 2:1 manakala keduanya sederajat.

Di antara dua pendapat ini, yang paling shahih dan kuat adalah pendapat pertama yang akhirnya dijadikan keputusan oleh Umar bin Khattab RA. Pendapat inilah yang diikuti oleh jumhur (sebagian besar) ulama. Sebenarnya, bagian yang diterima ibu dalam kedua kasus ini adalah 1/6 bagian (kasus I) dan 1/4 bagian (kasus II) dari seluruh harta warisan, bukan 1/3. Adapun istilah sepertiga (1/3) tetap dipertahankan (meskipun sebenarnya adalah sepertiga dari sisa) untuk menunjukkan adab (penghormatan) terhadap kitab suci Al-Qur’an yang menyebutkan demikian. Karena telah menjadi ijma’ terhadap pendapat jumhur ulama, maka tidak ada gunanya diperselisihkan lagi. Pendapat jumhur ini pula yang akhirnya diadopsi ke dalam Qanun Al-Mawarits (Kitab Undang-Undang Hukum Waris) Nomor 77 Tahun 1943 di Mesir pada Pasal 14, dan juga ke dalam Buku Kedua dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia pada Pasal 178 ayat (2).

2. Masalah Musyarrakah
Menurut kaidah ilmu faraidh, warisan pertama sekali dibagikan kepada ahli waris golongan ashhabul-furudh (yang bagiannya sudah tertentu/tetap/jelas/pasti), kemudian sisanya (kalau masih ada) dibagikan kepada ahli waris golongan ‘ashabah (penerima sisa). Akan tetapi, terdapat kasus atau masalah yang penyelesaiannya menyimpang dari kaidah ini. Dan masalah ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan sahabat, tabi’in, dan para imam mujtahid. Masalah ini disebut masalah musyarrakah.

Secara umum, masalah musyarrakah terjadi jika seorang perempuan wafat dengan meninggalkan ahli waris dengan susunan sebagai berikut:
(a) Suami
(b) Ibu atau nenek
(c) Dua orang atau lebih saudara seibu (laki-laki saja, atau perempuan saja, atau gabungan laki-laki dan perempuan)
(d) Saudara laki-laki kandung (seorang diri, atau bersama saudara laki-laki kandung yang lain, atau bersama saudara perempuan kandung)

Sesuai dengan kaidah yang disebutkan di depan, maka ahli waris (a), (b), dan (c) merupakan ahli waris golongan ashhabul-furudh yang bagian mereka masing-masing sudah jelas, yaitu 1/2, 1/6, dan 1/3. Kalau warisan dibagikan kepada tiga macam ahli waris ini, maka tidak akan ada lagi sisa. Sementara itu, ahli waris (d) dalam hal ini adalah sebagai ‘ashabah (penerima sisa), tetapi tidak mendapat apa-apa lagi karena sisanya sudah dihabiskan oleh (a), (b), dan (c). Dari sini timbul “keanehan” karena saudara kandung, yang nyata-nyata memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat/kuat dibanding saudara seibu saja, ternyata tidak mendapat bagian sedikit pun.

Masalah ini dinamakan musyarrakah (atau musytarakah) yang artinya digabungkan (disekutukan), dan disebut juga masalah musyarrikah yang artinya menggabungkan (menyekutukan) karena saudara kandung bersekutu (atau menyekutukan diri) dengan saudara seibu dalam menerima warisan. Dan karena penyelesaiannya pertama sekali diputuskan oleh Umar bin Khattab RA, maka masalah ini kadang-kadang disebut juga masalah ‘Umariyyah, di samping juga dinamakan masalah himariyyah, hajariyyah, dan yammiyyah.

Penamaan masalah musyarrakah seperti itu adalah karena menurut riwayat, masalah ini pertama sekali diajukan seseorang kepada Khalifah Umar bin Khattab RA. Pada mulanya, beliau memutuskan bahwa saudara kandung, yaitu ahli waris (d), tidak mendapat bagian sama sekali. Tetapi kemudian keputusan beliau diprotes oleh orang-orang yang merasa dirugikan (yaitu saudara kandung) dengan mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, andaikata bapak kami itu seekor keledai (himar) atau sebuah batu (hajar) yang dilemparkan ke laut (yamm), bukankah kami ini berasal dari ibu yang satu (sama) dengan saudara-saudara seibu?” Atas protes tersebut, maka Umar RA mengubah keputusannya dengan cara menggabungkan mereka (saudara seibu dan saudara kandung) sebagai satu kelompok ahli waris yang memperoleh 1/3 bagian, dan bagian ini dibagi rata di antara mereka semua tanpa memperhatikan jenis kelamin dengan menganggap mereka semuanya sebagai saudara-saudara seibu. Perlu diingat kembali bahwa bagian untuk saudara seibu (laki-laki atau perempuan dalam hal ini dianggap sama) menurut Al-Qur’an adalah 1/6 jika seorang diri, dan berbagi dalam 1/3 bagian jika lebih dari seorang. (Lihat Q.S. An-Nisa’ ayat 12).

Pendapat Umar bin Khattab RA yang terakhir ini diikuti oleh Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ishaq bin Rahawaih dengan alasan bahwa bagian saudara-saudara kandung itu identik dengan bagian saudara-saudara seibu karena adanya persamaan jurusan dan kekerabatan. Oleh karena mereka semuanya adalah anak-anak ibu dan kerabat bapak, maka tidaklah layak sekiranya sebagian dari mereka dapat menggugurkan (hak waris) sebagian yang lain tanpa mempunyai kelebihan daripada yang lain. Kitab Undang-Undang Hukum Waris Nomor 77 Tahun 1943 di Mesir memilih pendapat ini, dan mencantumkannya dalam Pasal 10.

Sementara itu, segolongan sahabat seperti Ali bin Abi Thalib RA, Ibnu Mas’ud RA, Ibnu Abbas RA, dan Ubay bin Ka’ab RA berpendirian seperti pendapat (keputusan) Umar bin Khattab RA yang pertama sebelum diubah. Pendapat ini kemudian diikuti oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan Ibnu Qudamah.

Dari kedua masalah yang telah dibahas di depan, jelaslah peran seorang khalifah dalam menyelesaikan perselisihan pembagian harta warisan. Kedua masalah ini sudah demikian terkenal dalam ilmu faraidh, dan keduanya telah diputuskan penyelesaiannya oleh Umar bin Khattab RA, dan dijadikan pegangan oleh jumhur ulama sampai sekarang.

Demikianlah sepintas uraian tentang kepiawaian Umar bin Khattab RA dalam menyelesaikan permasalahan kewarisan. Kontribusi beliau ini sangat berharga bagi hukum waris Islam yang diterapkan oleh sebagian besar ulama masa lalu dan masa kini.

Wallahu a’lamu bishshawab.


Wassalam,


Achmad Yani
[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]

Tanya Jawab (7)

Ada pertanyaan lagi nih...

Pertanyaan:

Ass. Wr.Wb. mohon bantuan bapak atas kondisi keluarga kami. ayah saya meninggal th 1976, dengan seorang istri,5 anak perempuan,2 laki2 dan 1 anak perempuan dari istri yg lain yg telah dicerai sebelum beliau meninggal. ayah meninggalkan satu2nya harta yg dia punya yaitu sebuah rumah yang kami tempati bersama hingga kini. rumah tsb dibangun oleh ayah dan ibu saya dari 0, sejak mereka tidak punya apa2. pertanyaan saya; jika rumah ini dijual, berapakah bagian ibu saya? apa tetap 1/8 atau hasil penjualan rumah tsb. dibagi 2 dulu, kemudian dari yang setengahnya ibu akan mendapat warisan dari ayah saya sebesar 1/8? apakah bagian dari anak lain ibu tsb dibagi dari porsi ayah saya saja atau bagaimana? terima kasih atas perhatian bapak untuk membaca nasalah ini dan semoga bapak berkenan menjawab pertanyaan ini. wass.

Senin, 15 November, 2010

Jawaban:

Wa'alaikum salam wr. wb.

Alhamdulillah, dan shalawat serta salam atas Rasulullah SAW.

Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas kunjungan di blog saya yang
sederhana. Mudah-mudahan blog itu bermanfaat bagi umat dan siapa saja yang mengaksesnya. Sesuai dengan janji saya, maka setiap pertanyaan insyaallah akan saya jawab semampu saya. Jadi tentu saja saya tidak keberatan untuk menjawab pertanyaan Anda.

Pertama sekali, perlu saya informasikan bahwa dalam pembagian harta warisan menurut hukum waris Islam, harta yang akan dibagi adalah harus harta milik almarhum pribadi yang tidak bercampur dengan harta orang lain. Ini berarti bahwa sebelum harta itu dibagikan, jika harta itu dimiliki oleh lebih dari satu orang, maka terlebih dahulu dari harta tadi harus ditentukan dan dipilah mana yang memang hak milik pribadi dari almarhum. Kalau sudah jelas atau sudah dipisahkan kepemilikan orang lain dalam harta tadi, barulah harta yang murni milik almarhum bisa dibagikan. Yang sering menjadi masalah adalah bagaimana cara memilahnya, berapa bagian dan bagian mana yang murni milik almarhum sampai sebelum ia meninggal?

Sekarang saya uraikan penjelasan tentang status kepemilikan rumah yang Anda tempati sekarang. Adapun rumah yang ditempati bersama dan pada awalnya dibangun oleh kedua orang tua Anda (ayah dan ibu Anda), maka status kepemilikannya tentu saya tidak bisa menjawabnya langsung sekarang, misalnya bagian ibu dan ayah Anda masing-masing 50% dari nilai jualnya sekarang. Tetapi saran saya adalah untuk menentukan kepemilikan rumah itu, bisa dimulai dari bertanya kepada ibu Anda, apakah pada saat pembangunan
rumah itu mungkin ibu Anda pernah membuat semacam perjanjian atau kesepakatan dengan almarhum ayah Anda, meskipun secara tidak tertulis, tentang berapa besar saham atau bagian masing-masing dari rumah itu, sehingga ini dapat dijadikan acuan untuk memilah kepemilikan rumah tadi yang menurut informasi Anda, adalah hasil jerih payah ibu dan ayah Anda.

Kalau sudah didapat keputusan yang jelas tentang hal itu, yaitu kepemilikan rumah, dan ini tetap harus diusahakan, berarti sudah jelas bagian atau saham dari masing-masing pemilik rumah itu. Berapapun bagian masing-masing atas rumah tadi, maka selanjutnya yang akan dibagikan sebagai harta warisan, dalam hal ini kepada isteri dan anak2 laki2 serta anak2 perempuan almarhum, adalah bagian almarhum ayah Anda saja yang sudah jelas tidak bercampur lagi dengan harta ibu.

Dengan menganggap status kepemilikan rumah tadi sudah jelas, yaitu sudah jelas bagian ibu dan bagian bapak, maka untuk pertanyaan Anda, dapat saya jawab sebagai berikut:

1. Sebagai ahli waris, maka ibu Anda (yaitu isteri dari almarhum) mendapat 1/8 bagian dari bagian yang menjadi hak almarhum ayah Anda dari penjualan rumah, bukan 1/8 dari hasil penjualan rumah seluruhnya.

2. Anak ayah Anda dari isteri yang lain statusnya sama dengan Anda, karena dia adalah juga anak kandung dari ayah Anda. Berarti bagiannya juga sama dengan bagian yang akan Anda dapatkan. Supaya lebih jelas, maka bagian untuk para ahli waris dari almarhum ayah Anda adalah sebagai berikut:

Isteri: mendapat 1/8 bagian
Anak laki2 (2 orang): mendapat 4/10 bagian dari Sisa = 4/10 x 7/8 bagian = 28/80 bagian; jadi masing2 anak laki2 mendapat 14/80 bagian.
Anak perempuan (6 orang): mendapat 6/10 bagian dari Sisa = 6/10 x 7/8 bagian = 42/80 bagian; jadi masing2 anak perempuan mendapat 7/80 bagian.

Sekali lagi, seperti telah saya sebutkan sebelumnya, yang dibagi untuk ketiga macam ahli waris ini adalah harta almarhum saja yang berupa bagian dari rumah yang tidak lagi bercampur dengan harta ibu Anda. Dan keenam orang anak perempuan di sini sudah termasuk Anda berlima dengan saudara2 kandung perempuan Anda, bersama-sama dengan saudara tiri perempuan Anda. Keenam anak perempuan ini adalah anak kandung almarhum ayah Anda.

Demikianlah jawaban yang dapat saya berikan. Mudah-mudahan bermanfaat, dan pembagian warisan dapat dibagi dengan lancar. Dan yang paling penting adalah, jika kita amalkan pembagian sesuai dengan hukum waris Islam, bukan menurut nafsu pribadi kita, maka keberkahan dalam harta warisan itu akan kita dapatkan, insyaallah.

Wallahu a'lamu bishshawab.
Wassalam,

Achmad Yani
[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]