Minggu, 19 Desember 2010

Kewarisan Kakek Bersama Saudara (Bagian Pertama)

مِيْرَاثُ الْجَدِّ مَعَ اْلإِخْوَةِ
Kewarisan Kakek Bersama Saudara
(Bagian Pertama)

Oleh
Achmad Yani, S.T., M.Kom.

Tulisan ini adalah bagian pertama dari dua tulisan dengan topik yang sama. Meskipun sangat jarang terjadi kasus kewarisan yang di antara ahli warisnya terdapat kakek bersama dengan saudara dari mayit, pembahasan tentang hal ini mendapat tempat khusus dalam ilmu faraidh. Adapun yang dimaksud dengan kakek dalam masalah ini adalah kakek shahih, yaitu kakek yang hubungan nasabnya (hubungan darahnya) dengan mayit murni melalui jalur laki-laki saja, tidak diselingi oleh perempuan. Sebagai contoh adalah bapaknya bapak dan seterusnya ke atas. Status kakek dalam kewarisan hampir sama dengan bapak dalam beberapa hal. Karena itu, kakek shahih termasuk ahli waris golongan ashhabul-furudh dan juga ‘ashabah seperti halnya bapak. Jika dalam nasab yang menghubungkan kakek dengan mayit terdapat perempuan, maka disebut kakek fasid, misalnya bapaknya ibu dan bapak dari ibunya bapak. Kakek fasid tidak termasuk ahli waris golongan ashhabul-furudh maupun ‘ashabah, tetapi termasuk dalam ahli waris golongan dzawil-arham.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan saudara dalam masalah ini adalah saudara kandung dan saudara sebapak, baik laki-laki maupun perempuan. Adapun saudara seibu, maka tidak termasuk dalam hal ini karena jika kakek bersama dengan saudara seibu, maka saudara seibu akan mahjub (terhalang) dari mendapat warisan oleh adanya kakek berdasarkan ijma’ ulama. Dan saudara seibu hanya mewarisi jika mayit adalah kalalah, yaitu tidak memiliki bapak atau kakek dan seterusnya ke atas, dan juga tidak memiliki anak secara mutlak, baik laki-laki maupun perempuan.

Untuk pembahasan selanjutnya dalam tulisan ini, maka diasumsikan tidak terdapat bapak yang mewarisi bersama-sama dengan kakek, karena kewarisan kakek menjadi mahjub (terhalang) oleh adanya bapak. Dan dalam tulisan ini juga, pembahasan dibatasi hanya untuk masalah yang melibatkan ahli waris saudara kandung saja, atau saudara sebapak saja, tidak kedua macam saudara ini secara bersama-sama. Dengan demikian, maka yang menjadi fokus dalam pembahasan adalah terdapatnya ahli ahli waris yang terdiri dari kakek bersama saudara kandung saja atau kakek bersama saudara sebapak saja dengan atau tanpa ashhabul-furudh yang lain. Pembahasan yang melibatkan ahli waris saudara kandung bersama-sama dengan saudara sebapak (yang sering disebut masalah mu’addah) insyaallah akan dimuat dalam bagian lain.

Baik Al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW tidak menjelaskan hukum waris bagi kakek bersama-sama dengan saudara. Karena itu, para sahabat sangat berhati-hati dalam memutuskan perkara ini, bahkan takut mengeluarkan fatwa tentangnya. Ketika ditanya tentang kewarisan kakek bersama saudara, Ibnu Mas’ud RA berkata, ”Silakan bertanya kepadaku tentang masalah-masalah yang rumit, tetapi jangan bertanya tentang masalah kewarisan kakek bersama saudara.” Adapun Umar bin Khattab RA pernah mengatakan, “Orang yang paling berani di antara kamu dalam memutuskan bagian kakek adalah orang yang paling berani terhadap api neraka.” Demikian pula, Ali bin Abi Thalib RA menyatakan, “Barangsiapa ingin masuk neraka jahannam, maka silakan memutuskan kewarisan kakek bersama dengan saudara si mayit.”

Namun demikian, karena tidak ada nash Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW yang menjelaskannya, masalah ini tetap harus dapat diselesaikan. Karena itu, masalah ini – mau tidak mau – memerlukan ijtihad. Pada mulanya, ketika masalah ini dijumpai, ada dua pendapat utama di kalangan para sahabat:

1. Pendapat pertama menyatakan bahwa kakek menghijab (menghalangi) hak waris saudara, sehingga saudara tidak mendapat warisan.
Pendapat ini diikuti oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, Ibnu Abbas RA, Ibnu Umar RA, Al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Imam Abu Hanifah. Pendapat ini memiliki alasan sebagai berikut:
a) Kakek berkedudukan sama dengan bapak jika tidak ada bapak dalam segala keadaan, sama halnya dengan cucu laki-laki yang berkedudukan sebagai anak laki-laki jika tidak ada anak laki-laki.
b) Sesuai dengan kaidah dasar dalam ketentuan ‘ashabah, bahwa jurusan garis bapak (ubuwwah, yang juga mencakup kakek) harus didahulukan daripada jurusan garis saudara (ukhuwwah). Karena itu, kakek dapat menghijab saudara.
c) Kakek hanya dapat dihijab oleh bapak, sedangkan saudara dapat dihijab oleh tiga macam ahli waris, yaitu bapak, anak laki-laki, dan cucu laki-laki.
d) Kakek termasuk ahli waris ashhabul-furudh dan juga ‘ashabah, sama seperti bapak, sedangkan saudara hanya menerima warisan sebagai ‘ashabah.

2. Pendapat kedua menyatakan bahwa kakek dan saudara secara bersama-sama mewarisi harta si mayit.
Pendapat ini diikuti oleh Ali bin Abi Thalib RA, Ibnu Mas’ud RA, Zaid bin Tsabit RA, Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Malik, Abu Yusuf, Muhammad, dan diambil sebagai pegangan bagi Qanun Al-Mawaris di Mesir. Alasan untuk pendapat ini adalah sebagai berikut:
a) Kakek sama-sama dihubungkan ke mayit melalui bapak sehingga kedudukan mereka adalah sama kuat.
b) Tidak ada nash dan ijma’ yang menetapkan bahwa saudara dapat dihijab oleh kakek.
c) Penyebutan kakek (jadd) dengan bapak (ab) di dalam Al-Qur’an maupun hadits hanya secara majazy sehingga kakek tidak dapat disamakan secara mutlak dengan bapak dalam segala hal.
d) Hubungan nasab dari garis anak (bunuwwah) tidak selalu lebih rendah daripada garis bapak (ubuwwah), bahkan kadang-kadang lebih kuat.
e) Terhalangnya kakek oleh bapak saja, sedangkan saudara oleh bapak, anak laki-laki, dan cucu laki-laki tidak menunjukkan bahwa kakek lebih utama daripada saudara. Jadi tidak dibedakan apakah yang menghijab itu seorang atau lebih.
f) Cara mewarisi kakek dengan fardh dan ‘ushubah sedangkan saudara hanya dengan ‘ushubah tidak menunjukkan bahwa kakek lebih utama daripada saudara, karena anak laki-laki yang hanya mewarisi dengan ‘ushubah saja malah lebih utama daripada kakek.

Pendapat pertama yang menetapkan bahwa kakek menghijab saudara tidak perlu dibahas lebih lanjut karena sudah jelas bahwa kewarisan kakek sama dengan bapak, sementara kewarisan saudara terhalang. Jadi kasusnya sama saja dengan keadaan bapak bersama-sama dengan saudara. Dengan demikian, maka pendapat kedua menjadi lebih penting dan memerlukan pembahasan lebih lanjut. Dan di antara kedua pendapat ini, pendapat kedua merupakan pendapat mayoritas sahabat dan ulama. Adapun tulisan ini dan selanjutnya tidak dimaksudkan untuk membuat pendapat baru lagi tentang kewarisan kakek bersama saudara, tetapi hanya menjabarkan pendapat-pendapat yang telah ada sejak zaman sahabat.

Dalam menetapkan hak waris bagi kakek bersama saudara menurut pendapat kedua, terdapat lagi beberapa perbedaan cara melakukan pembagiannya. Ada tiga sahabat yang masyhur dalam hal ini, yaitu Zaid bin Tsabit RA, Ali bin Abi Thalib RA, dan Ibnu Mas’ud RA. Adapun cara penyelesaian yang diajukan oleh Zaid bin Tsabit RA merupakan cara yang paling populer dan paling banyak dipakai ulama saat ini. Tulisan ini hanya memuat pendapat Zaid bin Tsabit RA. Sementara itu, pendapat Ali bin Abi Thalib RA dan Ibnu Mas’ud RA - insyaallah - akan dimuat dalam tulisan yang lain.

Pendapat Zaid bin Tsabit RA
Menurut Zaid bin Tsabit RA, pembahasan kewarisan kakek bersama saudara dapat dibagi ke dalam dua keadaan:
1. Keadaan pertama: ahli waris hanya terdiri atas kakek dan saudara tanpa ashhabul-furudh lain
2. Keadaan kedua: ahli waris terdiri atas kakek dan saudara beserta ashhabul-furudh lain

Keadaan Pertama
Pada keadaan pertama ini, bagian yang diterima kakek adalah yang lebih baik (lebih banyak) atau paling menguntungkan di antara dua jalan:
1) Muqasamah (berbagi bersama saudara). Dalam hal ini, kakek dianggap seolah-olah sebagai seorang saudara laki-laki (kandung atau sebapak), dan menerima bagian sebagai ‘ashabah bin-nafsi jika bersama dengan saudara laki-laki saja, atau sebagai ‘ashabah bil-ghair jika bersama dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan, dengan catatan bahwa bagian untuk seorang laki-laki adalah dua kali bagian untuk seorang perempuan.
2) Menerima 1/3 dari seluruh harta. Dalam hal ini, setelah kakek diberi 1/3 bagian dari seluruh harta, kemudian sisanya diberikan kepada para saudara sebagai ‘ashabah.
Yang manapun bagian yang diterima kakek, maka penerimaan untuk kakek dalam hal ini tidak boleh kurang dari 1/3.

Keadaan Kedua
Dalam keadaan kedua, selain kakek dan saudara, terdapat juga ahli waris golongan ashhabul-furudh lain. Jika kakek berada dalam keadaan kedua, maka bagian untuk kakek adalah yang paling menguntungkan (paling besar) di antara tiga jalan:
1) Muqasamah (berbagi bersama saudara). Muqasamah dalam hal ini adalah terhadap sisa harta setelah diberikan kepada ashhabul-furudh. Seperti halnya dalam keadaan pertama, kakek juga dianggap sebagai seorang saudara laki-laki (kandung atau sebapak), dan menerima bagian sebagai ‘ashabah bin-nafsi atau ‘ashabah bil-ghair.
2) Menerima 1/3 sisa setelah ashhabul-furudh
3) Menerima 1/6 dari seluruh harta
Yang manapun bagian yang diterima kakek, maka penerimaan untuk kakek dalam hal ini tidak boleh kurang dari 1/6.

Adapun ashhabul-furudh (selain kakek dan saudara perempuan) yang mungkin dalam keadaan kedua ini adalah sebagai berikut:
(a) Nenek, yang bagiannya adalah 1/6
(b) Ibu, yang bagiannya adalah 1/3 atau 1/6
(c) Isteri, yang bagiannya adalah 1/4 atau 1/8
(d) Suami, yang bagiannya adalah 1/2 atau 1/4
(e) Anak perempuan, yang bagiannya 1/2 atau 2/3
(f) Cucu perempuan (dari anak laki-laki), yang bagiannya adalah 1/2 atau 2/3 atau 1/6

Menurut Zaid bin Tsabit RA, penyelesaian untuk keadaan kedua dikecualikan untuk satu keadaan saja, yaitu dalam masalah Al-Akdariyah, yang ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, kakek, dan seorang saudara perempuan (kandung atau sebapak). Pembahasan tentang hal ini, insyaallah, akan dimuat dalam tulisan tersendiri.

Berdasarkan penelitian penulis, maka penentuan bagian mana yang paling menguntungkan bagi kakek untuk kedua keadaan terebut, dapat diperoleh dari besarnya bagian yang diterima oleh para ashhabul-furudh (atau berarti juga besarnya sisa setelah diberikan kepada ashhabul-furudh) dan jumlah porsi saudara. Untuk mempermudah pembaca, maka penulis membuat ringkasannya dalam Tabel 1.











































Tabel 1 Ringkasan Cara Pembagian untuk Kakek bersama Saudara menurut Zaid bin Tsabit RA

Keadaan PertamaKeadaan Kedua
Jumlah Porsi Saudara <=4Jumlah Porsi Saudara >4Sisa Harta <> 2/3)1/3 <= Sisa Harta <>
Sisa Harta >= 1/2 (Bagian AF <= 1/2)
Jumlah Porsi Saudara <= 2Jumlah Porsi Saudara > 2Jumlah Porsi Saudara <= 4Jumlah Porsi Saudara > 4
No. Kasus1234567
Bagian KakekMuqasamah antara Kakek dan Saudara1/31/6Muqasamah antara Kakek dan Saudara1/6Muqasamah antara Kakek dan Saudara1/3 Sisa
Bagian SaudaraMendapat sisanya sebagai 'ashabahMendapat sisanya (kalau masih ada) sebagai 'ashabahMendapat sisanya (kalau masih ada) sebagai 'ashabahMendapat sisanya (kalau masih ada) sebagai 'ashabah

Pada Tabel 1, Jumlah Porsi Saudara dapat dihitung dengan menggunakan rumus sederhana, yaitu 2L + P, dengan L = banyaknya saudara laki-laki, dan P = banyaknya saudara perempuan. Sebagai contoh, jika L = 3 dan P = 1, maka Jumlah Porsi Saudara adalah (2x3) + 1 = 7. Sementara itu, yang dimaksud dengan Sisa Harta adalah harta yang tersisa setelah diberikan kepada ashhabul-furudh. Dan Bagian AF maksudnya adalah bagian yang diterima ashhabul-furudh selain kakek dan saudara.
Dari Tabel 1 juga, dapat dilihat bahwa terdapat tujuh macam kasus berkaitan dengan Jumlah Porsi Saudara dan Sisa Harta. Penjelasan dan contoh untuk masing-masing kasus adalah sebagai berikut.

Kasus No. 1
Keadaan Pertama dengan Jumlah Porsi Saudara ≤ 4 hanya mungkin terjadi untuk delapan macam susunan ahli waris sebagai berikut:
(a) Kakek bersama 1 orang saudara perempuan
(b) Kakek bersama 2 orang saudara perempuan
(c) Kakek bersama 3 orang saudara perempuan
(d) Kakek bersama 4 orang saudara perempuan
(e) Kakek bersama 1 orang saudara laki-laki
(f) Kakek bersama 2 orang saudara laki-laki
(g) Kakek bersama 1 orang saudara laki-laki dan 1 orang saudara perempuan
(h) Kakek bersama 1 orang saudara laki-laki dan 2 orang saudara perempuan
Pada kedelapan macam susunan ahli waris ini, bagian kakek secara muqasamah selalu lebih besar atau sama dengan 1/3 bagian. Secara khusus, untuk susunan ahli waris pada (d), (f), dan (h), penerimaan untuk kakek secara muqasamah maupun 1/3 bagian sama besarnya. Untuk lebih jelasnya, perbandingan penerimaan secara muqasamah dan 1/3 bagian dapat dilihat pada Tabel 2:










































































































Tabel 2 Perbandingan Bagian Kakek secara Muqasamah dan Menerima 1/3 untuk Kasus No. 1
No.JumlahPenerimaan Kakek Dgn MuqasamahPenerimaan Kakek Tanpa Muqasamah (Kakek menerima 1/3 bagian)
KakekSdr lkSdr prKakekSdr lkSdr prKakekSdr lkSdr pr
(a)1012/301/31/302/3
(b)1022/402/41/302/3
(c)1032/503/51/302/3
(d)1042/6=1/304/6=2/31/302/3
(e)1102/42/401/32/30
(f)1202/6=1/34/601/32/30
(g)1112/52/51/51/32/3x2/3=4/91/3x2/3=2/9
(h)1122/6=1/32/62/61/32/4x2/3=4/122/4x2/3=4/12

Kasus No. 2
Keadaan Pertama dengan Jumlah Porsi Saudara > 4 terjadi untuk susunan ahli waris dengan jumlah saudara laki-laki dan perempuan selain dari Kasus No. 1 yang delapan macam itu. Sebagai ilustrasi, dapat dilihat beberapa contoh susunan ahli waris untuk kasus ini dalam Tabel 3.































































































Tabel 3 Perbandingan Bagian Kakek secara Muqasamah dan Menerima 1/3 untuk Kasus No. 2
No.JumlahPenerimaan Kakek Tanpa Muqasamah (Kakek menerima 1/3 bagian)Penerimaan Kakek Dgn Muqasamah
KakekSdr lkSdr prKakekSdr lkSdr prKakekSdr lkSdr pr
11211/34/5x2/3=8/151/5x2/3=2/152/74/71/7
21221/34/6x2/3=8/182/6x2/3=4/182/84/82/8
31131/32/5x2/3=4/153/5x2/3=6/152/72/73/7
41141/32/6x2/3=4/184/6x2/3=8/182/82/84/8
51151/32/7x2/3=4/215/7x2/3=10/212/92/95/9
61161/32/8x2/3=4/246/8x2/3=12/242/102/106/10
...









Dari Tabel 3, dapat dilihat bahwa untuk setiap susunan ahli waris, penerimaan kakek dengan cara muqasamah selalu lebih kecil daripada 1/3 bagian. Karena itu, kakek harus diberikan bagian sebesar 1/3 bagian dari seluruh harta.

Kasus No. 3
Untuk keadaan kedua dan dengan sisa harta kurang dari 1/3, atau dengan kata lain jumlah bagian untuk ashhabul-furudh adalah lebih besar dari 2/3, maka berapapun jumlah saudara laki-laki dan perempuan, bagian yang paling menguntungkan untuk kakek adalah 1/6 dari seluruh harta, sementara sisanya dibagi kepada saudara laki-laki dan/atau perempuan sebagai ‘ashabah. Sebagai ilustrasi, dapat dilihat dua contoh berikut ini.

Contoh 1:
Ahli waris adalah 2 orang anak perempuan, ibu, kakek, dan seorang saudara laki-laki kandung. Maka bagian masing-masing adalah sebagai berikut:
(a) 2 anak perempuan : 2/3 bagian
(b) Ibu : 1/6 bagian
(c) Kakek : 1/6 bagian
(d) Saudara lk kandung : tidak mendapat bagian, karena sudah tidak ada sisa.
Dalam contoh ini, karena sisa harta setelah ashhabul-furudh tinggal 1/6, maka tidak mungkin lagi dibuat muqasamah antara kakek dengan saudara, ataupun kakek diberikan 1/3 dari sisa, karena tentu bagian kakek akan menjadi kurang dari 1/6.

Contoh 2:
Ahli waris adalah anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, suami, nenek, kakek, saudara laki-laki, dan saudara perempuan. Maka dalam dalam kasus ini terpaksa dibuat ‘aul karena bagian untuk ashhabul-furudh selain kakek dan saudara perempuan (yaitu 15/12 bagian) sudah melampaui jumlah harta yang akan dibagi. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:


































Ahli WarisBagianKeteranganBagian Setelah 'Aul
Anak pr1/2=6/12Jumlah harta untuk ashhabul-furudh selain kakek dan saudara perempuan adalah 13/12, melampaui jumlah harta yang akan dibagi6/15
Cucu pr1/6=2/122/15
Suami1/4=3/123/15
Nenek1/6=2/122/15
Kakek1/6=2/12Karena harta sudah habis, bahkan kurang dan harus di-‘aul-kan2/15
Saudara prTidak adaKarena harta sudah habis, bahkan kurangTidak ada


Kasus No. 4
Jika sisa harta setelah ashhabul-furudh tidak kurang dari 1/3 tetapi kurang dari 1/2 (atau berarti juga bagian ashhabul-furudh lebih dari 1/2 dan tidak lebih dari 2/3), dan Jumlah Porsi Saudara ≤ 2, maka bagian kakek selalu menguntungkan jika dilakukan muqasamah. Adapun susunan ahli waris kakek dan saudara yang mungkin dalam hal ini hanya tiga macam, yaitu
(a) Kakek bersama 1 orang saudara perempuan,
(b) Kakek bersama 2 orang saudara perempuan, dan
(c) Kakek bersama 1 orang saudara laki-laki.
Sebagai ilutrasi untuk kasus no. 4 ini, dapat dilihat dua contoh berikut.

Contoh 1:
Seseorang wafat dengan meninggalkan isteri, ibu, kakek, dan seorang saudara perempuan. Maka bagian untuk isteri dan ibu masing-masing adalah 1/4 dan 1/3 yang jumlahnya sama dengan 7/12. Sisa harta adalah 5/12. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
Isteri : 1/4
Ibu : 1/3
Kakek : Muqasamah = 2/3 x Sisa = 2/3 x 5/12 = 10/36
Sdr pr : Muqasamah = 1/3 x Sisa = 1/3 x 5/12 = 5/36
Nilai 10/36 untuk kakek ini lebih besar dibandingkan 1/6 ataupun 1/3 sisa.

Contoh 2:
Seseorang wafat dengan meninggalkan seorang anak perempuan, isteri, kakek, dan seorang saudara laki-laki. Maka bagian untuk anak perempuan dan isteri masing-masing adalah 1/2 dan 1/8 yang jumlahnya sama dengan 5/8. Sisa harta adalah 3/8. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
Anak pr : 1/2
Isteri : 1/8
Kakek : Muqasamah = 1/2 x Sisa = 1/2 x 3/8 = 3/16
Sdr lk : Muqasamah = 1/2 x Sisa = 1/2 x 3/8 = 3/16
Nilai 3/16 untuk kakek ini lebih besar dibandingkan 1/6 atau 1/3 sisa.

Kasus No. 5
Jika sisa harta setelah ashhabul-furudh tidak kurang dari 1/3 dan kurang dari 1/2, tetapi jumlah porsi saudara lebih dari 2, maka bagian yang paling menguntungkan untuk kakek adalah mendapat 1/6 bagian. Adapun susunan ahli waris kakek dan saudara yang mungkin untuk kasus ini adalah selain dari yang disebutkan dalam kasus no. 4 di depan.
Contoh:
Ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan, isteri, kakek, dan 2 saudara laki-laki. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
Anak pr : 1/2
Isteri : 1/8
Kakek : 1/6
2 Sdr lk : Sisa = 5/24

Kasus No. 6
Kasus ini berlaku jika sisa harta ≥ 1/2 dan jumlah porsi saudara ≤ 4. Maka bagian yang paling menguntungkan untuk kakek adalah muqasamah.
Sebagai contoh untuk kasus ini adalah seseorang wafat dengan meninggalkan isteri, nenek, kakek, dan 3 saudara perempuan. Bagian untuk isteri dan nenek dalam hal ini masing-masing 1/4 dan 1/6 sehingga jumlahnya 5/12, dan sisa harta adalah 7/12. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut.
Isteri : 1/4
Nenek : 1/6
Kakek : Muqasamah = 2/5 x 7/12 = 14/60
3 sdr pr : Muqasamah = 3/5 x 7/12 = 21/60
Nilai 14/60 untuk kakek ini lebih besar dibandingkan 1/6 maupun 1/3 sisa.

Kasus No. 7
Jika sisa harta setelah ashhabul-furudh tidak kurang dari 1/2 dan jumlah porsi saudara lebih dari 4, maka bagian yang paling menguntungkan untuk kakek adalah 1/3 sisa.
Contoh:
Ahli waris terdiri dari ibu, kakek, seorang saudara laki-laki, dan 3 orang saudara perempuan. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut.
Ibu : 1/6
Kakek : 1/3 x Sisa = 1/3 x 5/6 = 5/18
1 Sdr lk : (‘Ashabah) = 2/5 x (2/3 x Sisa) = 2/5 x 2/3 x 5/6 = 20/90
3 Sdr pr : (‘Ashabah) = 3/5 x (2/3 x Sisa) = 3/5 x 2/3 x 5/6 = 30/90
Jika kakek diberi bagian secara muqasamah, maka bagiannya adalah 2/7 x 5/6 = 10/42. Ini lebih kecil dibandingkan 5/18. Juga kalau kakek diberi 1/6 bagian, maka ini juga masih lebih kecil dibandingkan 5/18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan beri komentar Anda