Selasa, 16 November 2010

Kontribusi Umar bin Khattab RA dalam Hukum Waris Islam

oleh
Achmad Yani, S.T., M.Kom.

Sejarah mencatat bahwa di antara sahabat Nabi SAW yang dinyatakan sebagai ahli dalam ilmu faraidh (ilmu tentang hukum waris Islam) adalah Zaid bin Tsabit RA yang merupakan pencatat ayat Al-Qur’an ketika turun semasa Nabi Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib RA, dan Ibnu Mas’ud RA. Meskipun Umar bin Khattab RA tidak termasuk dalam deretan pakar ilmu faraidh, banyak pemikiran beliau tentang cara penyelesaian masalah waris yang sejalan dengan Zaid bin Tsabit RA.

Ada dua kasus masalah kewarisan yang merupakan hasil ijtihad Umar RA diambil sebagai pendapat jumhur ulama dan digunakan sampai saat ini. Kedua masalah waris ini sudah sangat terkenal dan memenuhi rasa keadilan. Kedua masalah itu adalah
• Masalah Gharrawain
• Masalah Musyarrakah

1. Masalah Gharrawain
Masalah gharrawain adalah dua macam kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari (1) suami, ibu, dan bapak dan (2) isteri, ibu, dan bapak. Kedua kasus ini disebut al-gharrawain, yaitu bentuk tatsniyah (ganda) dari kata gharra’ karena dua masalah ini sangat populer bagaikan dua bintang yang cemerlang. Kedua masalah ini sering juga disebut ‘umariyyatain, karena merupakan hasil ijtihad dari Umar bin Khattab RA. Dan juga, karena tidak ada yang menandinginya, kedua masalah ini dinamakan juga gharibatain.
Berdasarkan keputusan Umar bin Khattab RA, pada kedua macam susunan ahli waris ini, bagian untuk ibu adalah 1/3 dari sisa setelah diberikan kepada suami atau isteri, bukan 1/3 dari seluruh harta warisan. Dengan demikian, bagian untuk masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut:

(a) Kasus I

Ahli WarisBagian
Suami 1/2
Ibu 1/3 dari Sisa = 1/3 x 1/2 = 1/6
Bapak 2/3 dari Sisa = 2/3 x 1/2 = 1/3
(b) Kasus II
Ahli Waris Bagian
Isteri 1/4
Ibu 1/3 dari Sisa = 1/3 x 3/4 = 1/4
Bapak 2/3 dari Sisa = 2/3 x 3/4 = 2/4

Kedua kasus kewarisan ini pertama kali timbul pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA, dan menimbulkan dua pendapat utama untuk menyelesaikannya, yaitu
(a) Pendapat Zaid bin Tsabit RA, yang disetujui oleh mayoritas sahabat dan dijadikan keputusan oleh Umar bin Khattab RA, menetapkan bahwa bagian ibu adalah sepertiga (1/3) dari sisa harta warisan setelah diberikan kepada suami (dalam kasus I) atau isteri (dalam kasus II).
(b) Pendapat Abdullah bin Abbas RA, yang ditolak oleh mayoritas sahabat, menyatakan bahwa bagian ibu adalah sepertiga (1/3) dari seluruh harta warisan.

Ketika Ibnu Abbas RA mempertanyakan landasan hukum memberikan bagian ibu 1/3 dari sisa, Zaid bin Tsabit RA menjawab bahwa Al-Qur’an tidak pernah memberikan bagian sebanyak 1/3 dari seluruh harta warisan kepada ibu jika ia bersama-sama dengan suami atau isteri. Al-Qur’an memberikan bagian sebanyak 1/3 dari seluruh harta warisan kepada ibu jika ahli warisnya hanya terdiri dari bapak dan ibu, sebagaimana firman Allah وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ yang artinya “dan ia (si mayit) diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja).”

Selanjutnya, dengan memberikan 1/3 sisa harta kepada ibu, maka perbandingan bagian bapak dengan ibu adalah 2:1, yang sesuai pula dengan kaidah mawaris bahwa perbandingan bagian laki-laki dengan perempuan adalah 2:1 manakala keduanya sederajat.

Di antara dua pendapat ini, yang paling shahih dan kuat adalah pendapat pertama yang akhirnya dijadikan keputusan oleh Umar bin Khattab RA. Pendapat inilah yang diikuti oleh jumhur (sebagian besar) ulama. Sebenarnya, bagian yang diterima ibu dalam kedua kasus ini adalah 1/6 bagian (kasus I) dan 1/4 bagian (kasus II) dari seluruh harta warisan, bukan 1/3. Adapun istilah sepertiga (1/3) tetap dipertahankan (meskipun sebenarnya adalah sepertiga dari sisa) untuk menunjukkan adab (penghormatan) terhadap kitab suci Al-Qur’an yang menyebutkan demikian. Karena telah menjadi ijma’ terhadap pendapat jumhur ulama, maka tidak ada gunanya diperselisihkan lagi. Pendapat jumhur ini pula yang akhirnya diadopsi ke dalam Qanun Al-Mawarits (Kitab Undang-Undang Hukum Waris) Nomor 77 Tahun 1943 di Mesir pada Pasal 14, dan juga ke dalam Buku Kedua dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia pada Pasal 178 ayat (2).

2. Masalah Musyarrakah
Menurut kaidah ilmu faraidh, warisan pertama sekali dibagikan kepada ahli waris golongan ashhabul-furudh (yang bagiannya sudah tertentu/tetap/jelas/pasti), kemudian sisanya (kalau masih ada) dibagikan kepada ahli waris golongan ‘ashabah (penerima sisa). Akan tetapi, terdapat kasus atau masalah yang penyelesaiannya menyimpang dari kaidah ini. Dan masalah ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan sahabat, tabi’in, dan para imam mujtahid. Masalah ini disebut masalah musyarrakah.

Secara umum, masalah musyarrakah terjadi jika seorang perempuan wafat dengan meninggalkan ahli waris dengan susunan sebagai berikut:
(a) Suami
(b) Ibu atau nenek
(c) Dua orang atau lebih saudara seibu (laki-laki saja, atau perempuan saja, atau gabungan laki-laki dan perempuan)
(d) Saudara laki-laki kandung (seorang diri, atau bersama saudara laki-laki kandung yang lain, atau bersama saudara perempuan kandung)

Sesuai dengan kaidah yang disebutkan di depan, maka ahli waris (a), (b), dan (c) merupakan ahli waris golongan ashhabul-furudh yang bagian mereka masing-masing sudah jelas, yaitu 1/2, 1/6, dan 1/3. Kalau warisan dibagikan kepada tiga macam ahli waris ini, maka tidak akan ada lagi sisa. Sementara itu, ahli waris (d) dalam hal ini adalah sebagai ‘ashabah (penerima sisa), tetapi tidak mendapat apa-apa lagi karena sisanya sudah dihabiskan oleh (a), (b), dan (c). Dari sini timbul “keanehan” karena saudara kandung, yang nyata-nyata memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat/kuat dibanding saudara seibu saja, ternyata tidak mendapat bagian sedikit pun.

Masalah ini dinamakan musyarrakah (atau musytarakah) yang artinya digabungkan (disekutukan), dan disebut juga masalah musyarrikah yang artinya menggabungkan (menyekutukan) karena saudara kandung bersekutu (atau menyekutukan diri) dengan saudara seibu dalam menerima warisan. Dan karena penyelesaiannya pertama sekali diputuskan oleh Umar bin Khattab RA, maka masalah ini kadang-kadang disebut juga masalah ‘Umariyyah, di samping juga dinamakan masalah himariyyah, hajariyyah, dan yammiyyah.

Penamaan masalah musyarrakah seperti itu adalah karena menurut riwayat, masalah ini pertama sekali diajukan seseorang kepada Khalifah Umar bin Khattab RA. Pada mulanya, beliau memutuskan bahwa saudara kandung, yaitu ahli waris (d), tidak mendapat bagian sama sekali. Tetapi kemudian keputusan beliau diprotes oleh orang-orang yang merasa dirugikan (yaitu saudara kandung) dengan mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, andaikata bapak kami itu seekor keledai (himar) atau sebuah batu (hajar) yang dilemparkan ke laut (yamm), bukankah kami ini berasal dari ibu yang satu (sama) dengan saudara-saudara seibu?” Atas protes tersebut, maka Umar RA mengubah keputusannya dengan cara menggabungkan mereka (saudara seibu dan saudara kandung) sebagai satu kelompok ahli waris yang memperoleh 1/3 bagian, dan bagian ini dibagi rata di antara mereka semua tanpa memperhatikan jenis kelamin dengan menganggap mereka semuanya sebagai saudara-saudara seibu. Perlu diingat kembali bahwa bagian untuk saudara seibu (laki-laki atau perempuan dalam hal ini dianggap sama) menurut Al-Qur’an adalah 1/6 jika seorang diri, dan berbagi dalam 1/3 bagian jika lebih dari seorang. (Lihat Q.S. An-Nisa’ ayat 12).

Pendapat Umar bin Khattab RA yang terakhir ini diikuti oleh Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ishaq bin Rahawaih dengan alasan bahwa bagian saudara-saudara kandung itu identik dengan bagian saudara-saudara seibu karena adanya persamaan jurusan dan kekerabatan. Oleh karena mereka semuanya adalah anak-anak ibu dan kerabat bapak, maka tidaklah layak sekiranya sebagian dari mereka dapat menggugurkan (hak waris) sebagian yang lain tanpa mempunyai kelebihan daripada yang lain. Kitab Undang-Undang Hukum Waris Nomor 77 Tahun 1943 di Mesir memilih pendapat ini, dan mencantumkannya dalam Pasal 10.

Sementara itu, segolongan sahabat seperti Ali bin Abi Thalib RA, Ibnu Mas’ud RA, Ibnu Abbas RA, dan Ubay bin Ka’ab RA berpendirian seperti pendapat (keputusan) Umar bin Khattab RA yang pertama sebelum diubah. Pendapat ini kemudian diikuti oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan Ibnu Qudamah.

Dari kedua masalah yang telah dibahas di depan, jelaslah peran seorang khalifah dalam menyelesaikan perselisihan pembagian harta warisan. Kedua masalah ini sudah demikian terkenal dalam ilmu faraidh, dan keduanya telah diputuskan penyelesaiannya oleh Umar bin Khattab RA, dan dijadikan pegangan oleh jumhur ulama sampai sekarang.

Demikianlah sepintas uraian tentang kepiawaian Umar bin Khattab RA dalam menyelesaikan permasalahan kewarisan. Kontribusi beliau ini sangat berharga bagi hukum waris Islam yang diterapkan oleh sebagian besar ulama masa lalu dan masa kini.

Wallahu a’lamu bishshawab.


Wassalam,


Achmad Yani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan beri komentar Anda