Jumat, 12 Desember 2008

Ilmu Faraidh: Ahli Waris dan Klasifikasinya

Oleh Achmad Yani, S.T., M.Kom.

"Berikanlah faraidh (bagian-bagian yang telah ditentukan) kepada yang berhak, dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat."
(HR Bukhari dan Muslim)


Dalam faraidh Islam, seseorang dapat menjadi ahli waris dari orang lain dikarenakan adanya salah satu dari tiga sebab, yaitu hubungan kekerabatan (hubungan nasab, hubungan darah), hubungan perkawinan, dan hubungan wala'. Hubungan wala' adalah hubungan kewarisan karena seseorang pernah membebaskan orang lain dari perbudakan (kemudian yang dibebaskan itu meninggal) sehingga yang membebaskan itu berhak mewarisi.

Mewarisi dapat terjadi jika dipenuhi tiga rukun. Pertama adalah adanya pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia. Kedua adalah adanya ahli waris, yaitu orang yang berhak untuk menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya salah satu sebab mewarisi seperti disebutkan di atas. Dan ketiga adalah adanya harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.

Sementara itu, syarat terjadinya kewarisan ada tiga. Yang pertama adalah matinya pewaris, baik mati haqiqy (sejati, sebenarnya, secara de facto), mati hukmy (menurut putusan hakim, secara de jure), atau mati taqdiry (menurut dugaan). Syarat kedua adalah hidupnya ahli waris pada saat kematian pewaris. Dan ketiga adalah tidak adanya penghalang dari mewarisi.

Adapun penghalang dari mewarisi adalah karena perbudakan (budak tidak memiliki hak mewarisi dari tuannya), karena pembunuhan (orang yang membunuh pewaris tidak berhak mewarisi hartanya), dan karena perbedaan agama (orang yang berbeda agama tidak bisa saling mewarisi).

Berdasarkan pendapat jumhur (kebanyakan) ulama, dalam menerima harta warisan, para ahli waris memiliki prioritas penerimaan warisan menurut susunan berikut:
1. Ashhabul-Furudh (Nasabiyah dan Sababiyah);
2. ‘Ashabah Nasabiyah;
3. Radd kepada Ashhabul-Furudh;
4. Dzawil-Arham;
5. Radd kepada salah seorang suami-isteri;
6. Ashabah Sababiyah (Maulal-‘ataqah);
7. ‘Ashabah laki-laki dari Maulal-‘ataqah;
8. Orang yang didakukan nasabnya kepada orang lain;
9. Orang yang menerima wasiat melebihi 1/3 harta peninggalan; dan
10. Baitul Maal.

Kesepuluh urutan ahli waris ini tampaknya sarat dengan istilah faraidh dalam bahasa Arab. Untuk itu, masing-masing akan dijelaskan secara rinci. Dan pembagian warisan untuk para ahli waris ini nantinya harus dilaksanakan menurut urutan penyebutan kesepuluh macam golongan ahli waris ini. Pada tulisan ini, pembahasan hanya sampai pada ahli waris ashhabul-furudh dan 'ashabah. Pembahasan untuk kelompok ahli waris lainnya, insyaallah, akan diberikan pada tulisan selanjutnya.

Ashhabul-furudh adalah semua ahli waris yang mendapat bagian (fardh) tertentu seperti tertulis dalam Al-Qur'an, Surat An-Nisa' ayat 11, 12, dan 176, yaitu 1/2 (setengah), 1/4 (seperempat), 1/8 (seperdelapan), 2/3 (dua pertiga), 1/3 (sepertiga), dan 1/6 (seperenam). Karena keterbatasan ruang, terjemahan ketiga ayat ini tidak dimuat di sini. Kepada pembaca, dipersilakan membuka Al-Qur'an. Ditinjau dari jenis kelamin, ahli waris ashhabul-furudh yang perempuan terdiri dari isteri, anak perempuan, cucu perempuan (dari keturunan anak laki-laki), saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, saudara perempuan seibu, ibu, dan nenek (dari pihak ibu maupun dari pihak bapak). Sementara yang laki-laki terdiri dari suami, bapak, kakek (bapak dari bapak), dan saudara laki-laki seibu. Semua ashhabul-furudh yang disebutkan ini adalah ashhabul-furudh nasabiyah (karena hubungan nasab), kecuali suami dan isteri yang termasuk ashabul-furudh sababiyah (karena hubungan perkawinan). Dari rincian ini ternyata kebanyakan ahli waris yang mendapat bagian yang sudah jelas menurut Al-Qur'an adalah perempuan.

Ditinjau dari bagian (fardh) yang akan diperoleh, maka ashhabul-furudh yang menerima bagian setengah ada lima orang, yaitu
1. seorang anak perempuan (jika tidak bersama-sama dengan anak laki-laki),
2. seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki (jika tidak ada cucu perempuan atau cucu laki-laki keturunan anak laki-laki),
3. suami (jika tidak ada anak),
4. seorang saudara perempuan kandung (jika tidak ada saudara laki-laki kandung), dan
5. seorang saudara perempuan sebapak (jika tidak ada saudara laki-laki sebapak).

Bagian seperempat adalah untuk dua macam ahli waris, yaitu
1. suami (jika ada anak) dan
2. isteri (jika tidak ada anak).

Sementara itu, fardh seperdelapan hanya diperuntukkan bagi seorang ahli waris, yaitu isteri jika memiliki anak.

Adapun ahli waris yang mendapat dua pertiga ada empat macam, yaitu
1. dua orang anak perempuan atau lebih (jika tidak ada anak laki-laki),
2. dua orang cucu perempuan atau lebih (jika tidak ada cucu laki-laki atau anak perempuan),
3. dua orang saudara perempuan kandung atau lebih (jika tidak ada saudara laki-laki kandung), dan
4. dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih (jika tidak ada saudara laki-laki sebapak, anak perempuan, cucu perempuan, dan saudara perempuan kandung).

Bagian sepertiga dimiliki oleh dua macam ahli waris, yaitu
1. ibu (jika tidak ada anak, atau tidak ada dua orang saudara atau lebih, baik kandung, sebapak, maupun seibu) dan
2. dua orang atau lebih saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan.

Terakhir, bagian seperenam menjadi hak dari tujuh macam ahli waris, yaitu
1. bapak (jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki),
2. ibu (jika ada anak, atau ada dua saudara atau lebih),
3. kakek (jika ada anak laki-laki, dan tidak ada bapak),
4. nenek (jika tidak ada ibu),
5. saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu (jika seorang diri dan tidak ada anak, bapak, dan kakek),
6. cucu perempuan (jika bersama seorang anak perempuan), dan
7. saudara perempuan sebapak (jika bersama dengan saudara perempuan kandung).

Kelompok ahli waris kedua adalah 'ashabah nasabiyah. 'Ashabah nasabiyah adalah ahli waris yang memiliki hubungan nasab yang tidak mendapat bagian yang tertentu jumlahnya, tetapi mendapatkan sisa ('ushubah) dari ashhabul-furudh atau seluruh harta jika ternyata tidak ada ashhabul-furudh sama sekali. Apabila sudah tidak ada sisa sedikit pun, maka mereka ('ashabah) tidak mendapatkan apa-apa. 'Ashabah nasabiyah dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu ashabah bin-nafsi, ashabah bil-ghair, dan ashabah ma'al-ghair.

'Ashabah bin-nafsi adalah kerabat laki-laki yang dihubungkan dengan pewaris tanpa diselingi oleh orang perempuan. 'Ashabah jenis ini menerima harta warisan menurut prioritas empat jurusan sebagai berikut:
1. jurusan anak (bunuwwah, yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki, dan seterusnya ke bawah), kemudian
2. jurusan bapak (ubuwwah, yaitu bapak, kakek, dan seterusnya ke atas), kemudian
3. jurusan saudara (ukhuwwah, yaitu saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki sebapak, anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung atau keponakan kandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak atau kepnakan sebapak, dan seterusnya ke bawah), dan terakhir
4. jurusan paman ('umumah, yaitu paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki dari paman kandung atau sepupu laki-laki kandung, anak laki-laki dari paman sebapak atau sepupu laki-laki sebapak, dan seterusnya ke bawah).

Adapun 'ashabah bil-ghair, mereka adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain (yaitu laki-laki) untuk menjadikan mereka 'ashabah dan untuk bersama-sama menerima 'ushubah. Ashabah bil-ghair terdiri dari empat orang perempuan ashhabul-furudh yang bagian mereka 1/2 jika seorang diri dan 2/3 jika lebih dari seorang. Mereka itu adalah anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak. Keempat orang ini menjadi 'ashabah jika bersama-sama dengan saudara laki-lakinya masing-masing yang sederajat, yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki, saudara laki-laki kandung, dan saudara laki-laki sebapak. Orang yang menjadikan keempat perempuan ini 'ashabah bil-ghair disebut mu'ashshib. Setiap pasangan ini, misalnya anak laki-laki dengan anak perempuan, mendapatkan sisa harta setelah ashhabul-furudh dengan perbandingan bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.

Sementara itu, 'ashabah ma'al-ghair adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain (juga perempuan) untuk menjadikannya 'ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak berserikat dalam menerima 'ushubah (sisa). Mu'ashshib (orang yang menjadikan 'ashabah) tetap menerima bagian menurut fardh-nya sendiri. 'Ashabah ma'al-ghair hanya terdiri dari dua orang perempuan dari ahli waris ashhabul-furudh, yaitu saudara perempuan kandung dan saudara perempuan sebapak. Kedua orang ini menjadi 'ashabah ma'al-ghair jika bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan, tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki, dan tidak ada saudara laki-lakinya, sebab kalau ada saudara laki-lakinya, mereka menjadi 'ashabah bil-ghair.

Faraidh Islam mengenal adanya hijab. Hijab adalah keadaan terhalangnya seorang ahli waris untuk mendapatkan bagian dikarenakan adanya ahli waris lain, sehingga ia kehilangan bagian sama sekali (disebut hijab hirman), atau bagiannya menjadi berkurang (disebut hijab nuqshan). Orang yang keberadaannya menyebabkan terhalangnya orang lain mendapatkan bagian disebut hajib, sedangkan orang yang terhalang tersebut dinamakan mahjub.

Adapun ahli waris yang tidak pernah mahjub berjumlah enam orang, yaitu anak laki-laki, bapak, suami, anak perempuan, ibu, dan isteri. Artinya, keenam orang ini tidak pernah terhalang oleh orang lain dalam menerima warisan. Ahli waris selain keenam orang ini ada dua kemungkinan, dalam satu keadaan dapat menerima bagian, tetapi dalam keadaan lain bisa menjadi mahjub.
Ahli waris laki-laki yang dapat menjadi mahjub adalah sebagai berikut:
1. kakek terhalang oleh bapak; saudara laki-laki kandung terhalang oleh bapak, anak laki-laki, dan cucu laki-laki;
2. saudara laki-laki sebapak terhalang oleh saudara laki-laki kandung, penghalang saudara laki-laki kandung, dan saudara perempuan kandung yang menjadi 'ashabah ma'al-ghair;
3. saudara laki-laki seibu terhalang oleh bapak, kakek, dan anak;
4. cucu laki-laki terhalang oleh anak laki-laki;
5. keponakan laki-laki kandung terhalang oleh saudara laki-laki sebapak dan semua penghalang saudara laki-laki sebapak;
6. keponakan laki-laki sebapak terhalang oleh keponakan laki-laki kandung dan semua penghalang keponakan laki-laki kandung;
7. paman kandung terhalang oleh keponakan laki-laki sebapak dan semua penghalang keponakan laki-laki sebapak;
8. paman sebapak terhalang oleh paman kandung dan semua penghalang paman kandung;
9. sepupu laki-laki kandung terhalang oleh paman sebapak dan semua penghalang paman sebapak;
10. sepupu laki-laki sebapak terhalang oleh sepupu laki-laki kandung dan semua penghalang sepupu laki-laki kandung.

Sementara itu, ahli waris perempuan yang dapat menjadi mahjub adalah sebagai berikut:
1. nenek terhalang oleh ibu;
2. cucu perempuan terhalang oleh anak laki-laki, dan dua orang atau lebih anak perempuan;
3. saudara perempuan kandung terhalang oleh bapak, anak laki-laki, dan cucu laki-laki;
4. saudara perempuan sebapak terhalang oleh saudara laki-laki kandung, saudara perempuan kandung yang menjadi 'ashabah ma'al-ghair, dua saudara perempuan kandung atau lebih, dan semua penghalang saudara perempuan kandung;
5. saudara perempuan seibu terhalang oleh bapak, kakek, dan anak.

Dalam praktek pembagian warisan, ahli waris yang dijumpai umumnya hanya terdiri dari golongan ashhabul-furudh dan 'ashabah. Karena itu, pembahasan tulisan kali ini dicukupkan hanya sampai ahli waris dari dua golongan ini. Selanjutnya, untuk memberikan gambaran penyelesaian masalah, diberikan beberapa contoh kasus pembagian warisan yang hanya melibatkan ahli waris dari kedua golongan ini.

Contoh pertama, seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan isteri, empat anak perempuan, tiga anak laki-laki, dan seorang saudara perempuan kandung. Maka
(a) isteri mendapat 1/8 (karena ada anak),
(b) saudara perempuan kandung terhalang oleh anak laki-laki,
(c) anak laki-laki dan perempuan berbagi sisa (yaitu 7/8 setelah diambil isteri) dengan perbandingan 2:1. Jadi, tiga anak laki-laki mendapat (3 x 2)/((3 x 2) + 4) x 7/8, yaitu 6/10 x 7/8 = 42/80, dan ini dibagi tiga sama rata. Sementara empat anak perempuan memperoleh 4/10 x 7/8 = 28/80, dan ini dibagi empat sama rata.

Contoh kedua, seorang perempuan wafat dengan meninggalkan suami, ibu, seorang anak perempuan, dan seorang saudara laki-laki kandung. Maka
(a) suami mendapat 1/4 (karena ada anak),
(b) ibu mendapat 1/6 (karena ada anak),
(c) anak perempuan mendapat 1/2 (karena seorang diri), dan
(d) sisanya, yaitu 1/12, menjadi bagian saudara laki-laki sebagai 'ashabah.

Di sini hanya diberikan dua contoh kasus. Untuk pembahasan lebih rinci dan contoh yang lebih banyak, pembaca disarankan mencari buku-buku tentang mawaris. Berdasarkan penelusuran pustaka, dari sekitar belasan judul buku mawaris (sekarang sudah ada tambahan buku yang lain lagi...) yang dimiliki penulis, buku Ilmu Waris karya Fatchur Rahman merupakan referensi yang paling lengkap.

Dari pembahasan, dapat diambil beberapa kesimpulan.
(1) Enam macam bagian kepada ahli waris ashhabul-furudh telah ditetapkan Allah SWT secara jelas dalam Al-Qur'an dalam tiga ayat. Sementara ahli waris yang tidak disebutkan bagiannya secara langsung dalam ketiga ayat itu, mendapat bagian sebagai 'ashabah.
(2) Dengan mengetahui bagian (fardh) setiap ahli waris golongan ashhabul-furudh, kewarisan 'ashabah, dan prinsip hijab yang ada dalam faraidh Islam, maka penyelesaian masalah pembagian harta warisan akan menjadi mudah, cukup dengan menggunakan hitungan pecahan sederhana.

(Penulis adalah dosen pada Politeknik Negeri Medan, dan pembuat software Sistem Pakar Faraidh Islam versi 1.0).

Ingin mengikuti terus? Silakan lihat tulisan-tulisan saya yang lain:
1. Hukum Waris Islam: Mengatur Atau Memaksa?
2. Ilmu Faraidh: Sejarah, Dasar Hukum dan Kepentingannya
3. Ilmu Faraidh: Ahli Waris dan Klasifikasinya
4. Ilmu Faraidh: Metode Asal Masalah dalam Penghitungan Warisan
5. Keistimewaan Hukum Waris Islam: Sebuah Bukti Kemahabijaksanaan Allah
6. Empat Belas Macam Alasan Tidak Dijalankannya Hukum Faraidh Di Indonesia
7. Hukum Waris Islam Mengangkat Derajat Wanita
8. Kuis Pendahuluan Ilmu Faraidh
9. Nasihat Seputar Harta Peninggalan

7 komentar:

  1. Wah cukup lengkap juga bahasannya. Semoga pak Yani bisa mengulas terus mengenai hukum waris Islam ini. Saya yakin banyak yang membutuhkan
    say coba lihat almat e-mail pak Yani di Profile, ternyata ngak ada. Menurut saya perlu ada alamat email juga sehingga orang yang butuh untuk konsultasi bisa menghubungi pak yani lewat email.
    Dari Mursalin Asbi
    email : mursalin.asbi@yahoo.com
    http://mursalin-asbi.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Terima Kaasih sebelumnya karena sudi mengunjungi blog saya, dan berbagi melalui blog. Kebetulan membaca postingan yang telah anda publish sebelumnya anda sudah membuat software tentang perhitungan waris, kalau boleh tahu apakha software tersebut boleh dibagi, dan bisa saya manfaatkan untuk menjelaskan kepada mahasiswa bahwa dengan teknologi kita akan semakin mudah melakukan perhitungannya.
    Kalau boleh, tolong kirimkan ke alamat email saya ayu.riana@yahoo.com, site http://riana.tblog.com

    BalasHapus
  3. SITUS SEPERTI INI MEMANG SANGAT PENTING UNTUK ZAMAN SEKARANG INI YANG MAYORITAS MUSLIMIN SUDAH BANYAK YANG TIDAK LAGI MENGINDAHKAN PEMBAGIAN HARTA WARIS SECARA PROSEDUR(ILMU FARAID}

    BalasHapus
  4. Assalamualaikum, jika ingin berkonsultasi masalah waris apakah bisa melalui japri? kemana?
    Mohon informasinya ke : rasyid_sh@yahoo.com

    BalasHapus
  5. Silakan berkonsultasi lewat KOMENTAR di setiap posting dalam blog saya, atau lewat ShoutBox, atau lewat E-MAIL saya:

    achmad_yani_polmed@yahoo.co.id

    BalasHapus
  6. Terima kasih banyak, mhn ijin utk menstransfer ilmux utk santri kami di PP.Miftahul Ulum Glagahwero Kalisat Jember Jatim.

    BalasHapus
  7. syukran atas infonya,, artikel ini memudahkan ana dalam mengerjakan tugas tentang waris ini,, :D

    BalasHapus

Silakan beri komentar Anda