Achmad Yani, S.T., M.Kom.
achmad_yani_polmed@yahoo.co.id
achmad_yani_polmed@yahoo.co.id
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Q.S. Al-Maidah: 50)
Allah telah menurunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi umat Islam dalam kehidupan mereka. Melalui kitab ini, Allah memberikan tuntunan dan aturan hukum dalam segala aspek kehidupan manusia sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri sebagai makhluk ciptaan-Nya. Secara umum, hukum yang mengatur kehidupan manusia itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu hukum ibadah dan hukum muamalah. Jika hukum ibadah mengatur hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta (Allah), maka hukum muamalah berurusan dengan hubungan antarsesama makhluk Allah, termasuk hubungan sesama manusia.
Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Hukum yang berkaitan dengan hal ini disebut hukum waris atau hukum faraidh. Sebagai bagian dari hukum Islam, ternyata hukum waris Islam memiliki beberapa keistimewaan. Keistimewaan yang terdapat pada hukum ini dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang.
Dari sudut pandang sumber hukum, hukum waris Islam yang disebutkan di dalam Al-Qur'an memiliki keistimewaan tersendiri karena merupakan satu-satunya hukum yang dijelaskan dengan rinci seperti dapat dilihat pada Surat An-Nisa' ayat 11, 12, dan 176 yang merupakan ayat-ayat waris utama. Kalau aturan tentang syariat lain dalam Islam hanya disebutkan secara umum, maka aturan hukum waris dijelaskan langsung oleh Allah secara rinci dalam tiga ayat ini. Sebagai contoh, Allah memberikan perintah tentang shalat, tetapi Dia tidak menjelaskan secara rinci aturan-aturan dalam shalat. Hal ini berlaku untuk aturan puasa, zakat, haji, dan sebagainya.
Hukum waris dalam pandangan Islam adalah sama pentingnya dengan beberapa rukun Islam yang lain. Hal ini bisa diperhatikan dari petikan ayat-ayat waris dalam surat An-Nisa’. Warisan merupakan “Bagian yang telah ditetapkan” (Q.S. An-Nisa’: 7). “Ini adalah ketetapan dari Allah.” (Q.S. An-Nisa’: 11). “Syariat yang benar-benar dari Allah” (Q.S. An-Nisa’: 12). “Itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah” (Q.S. An-Nisa’: 13). “Allah mensyariatkan bagimu” (Q.S. An-Nisa’: 11). “Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu supaya kamu tidak sesat.” (Q.S. An-Nisa’: 176). Hukum waris adalah wajib, bukan sunnah. Warisan tidak diserahkan pada pilihan dan kebebasan seseorang. Warisan merupakan wasiat (syariat) dari Allah. Wasiat, apa pun bentuknya, dan siapa pun yang berwasiat, wajib dilaksanakan. Apalagi ini, yang berwasiat adalah Allah SWT.
Jika dipahami dengan seksama, ketiga ayat waris ini menyebutkan bagian-bagian yang harus diterima masing-masing ahli waris dalam pembagian warisan sesuai dengan hubungan ahli waris dengan orang yang meninggal dunia. Pada ayat 11 dalam Surat An-Nisa', Allah menyebutkan bagian untuk anak (perempuan dan laki-laki) dan orang tua (ibu dan bapak) dari yang meninggal dengan menggunakan angka pecahan 1/2 (setengah), 2/3 (dua pertiga), 1/6 (seperenam), dan 1/3 (sepertiga). Sementara itu, ayat 12 menetapkan bagian warisan untuk suami dan isteri, yang mencakup angka pecahan 1/2 (setengah), 1/4 (seperempat), dan 1/8 (seperdelapan). Dalam ayat yang sama, juga dapat ditemukan angka pecahan 1/3 dan 1/6 sebagai bagian untuk saudara seibu (laki-laki maupun perempuan). Pada akhir surat An-Nisa', yaitu ayat 176, Allah memberikan ketentuan bagian untuk saudara kandung atau sebapak dengan menyebutkan angka pecahan juga, yaitu 1/2 dan 2/3. Dari ketiga ayat ini, diperoleh enam macam angka pecahan: 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Secara matematis, keenam macam angka pecahan ini memiliki sifat keunikan tersendiri karena memiliki hubungan satu sama lain. Tetapi pembahasan tentang hal ini tidak dibahas dalam tulisan ini.
Sumber hukum lain untuk hukum waris Islam adalah hadits Nabi SAW. Hal-hal yang diatur dalam hadits antara lain ketentuan bagian untuk para ahli waris seperti nenek, kakek, cucu, paman, bibi, dan orang yang pernah membebaskan budak. Di samping itu, sumber hukum waris diambil dari ijma' dan ijtihad para sahabat Nabi SAW, para imam madzhab, dan mujtahid kenamaan. Sebagian besar ketentuan tentang pembagian warisan yang berasal dari Al-Qur'an, hadits, maupun ijma' dan ijtihad tidak menimbulkan perbedaan pendapat yang berarti. Perbedaan hanya terdapat di sebagian kecil masalah yang memang belum dijelaskan dalam Al-Qur'an maupun hadits pada saat masalah itu pertama sekali ditemukan, misalnya masalah kewarisan antara kakek bersama dengan saudara.
Keistimewaan hukum waris Islam juga dapat ditinjau dari sudut pandang sejarah. Kenyataan sejarah membuktikan bahwa kehadiran agama Islam yang membawa serta di dalamnya aturan tentang hukum waris, memberikan perubahan dalam bentuk perbaikan terhadap hukum waris yang berlaku sebelumnya. Perbaikan ini ternyata membawa kemaslahatan (kebaikan) bagi semua pihak, di antaranya menghilangkan kezhaliman yang timbul dalam hal warisan. Sebagai contoh, pada masa jahiliyah (masa kebodohan pra-Islam pada masyarakat Arab), yang berhak atas harta warisan hanya anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan anak paman. Keempat macam ahli waris ini pun masih harus ditambah syarat: harus sudah dewasa. Jadi, perempuan dan anak-anak tidak berhak mendapat warisan meskipun mereka adalah keluarga dekat dari yang meninggal. Aturan ini kemudian dibatalkan oleh Allah melalui Al-Qur'an. Selanjutnya, Allah menetapkan orang-orang yang dapat menjadi ahli waris seperti telah disebutkan di depan.
Tentang keadilan, hukum waris Islam tidak perlu diragukan lagi. Hukum waris Islam tidak menerapkan diskriminasi dalam pembagian warisan. Warisan adalah untuk seluruh ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan, baik mereka yang mampu maupun yang tidak mampu, yang taat kepada Allah maupun yang gemar bermaksiat kepada-Nya. Warisan diberikan kepada seluruh ahli waris, baik ashhabul-furudh (golongan ahli waris yang memperoleh bagian tertentu) maupun ‘ashabah (golongan ahli waris yang memperoleh bagian sisa setelah ashhabul-furudh). Laki-laki dan perempuan – bahkan banci – masing-masing berhak atas warisan yang besarnya sesuai dengan kedudukan mereka dalam susunan ahli waris. Bayi dalam kandungan pun memiliki hak yang sama dengan orang dewasa dalam hal warisan. Juga, anak sulung dan anak bungsu tidak boleh dibedakan dalam hal kewarisan. Bahkan, jika ditelaah lebih lanjut, ternyata Allah mengangkat derajat wanita -- yang sebelum ayat-ayat waris diturunkan telah dilecehkan -- melalui hukum waris. Isteri, anak perempuan, cucu perempuan, ibu, nenek, dan saudara perempuan, sudah ditetapkan bagian tertentu seperti disebutkan dalam ayat-ayat waris utama di depan. Hal ini merupakan keistimewaan tersendiri hukum waris Islam yang tidak dimiliki hukum waris lain buatan manusia. Sisi lain dari keadilan yang dimiliki hukum waris Islam adalah bahwa setiap ahli waris memiliki bagian secara proporsional menurut hubungan mereka dengan yang meninggal, bukan semata mendapat bagian secara sama-rata di antara seluruh ahli waris tanpa syarat.
Dalam hukum waris Islam, seseorang menjadi ahli waris dari yang meninggal hanya karena adanya hubungan yang jelas: hubungan nasab (hubungan darah, kerabat), hubungan nikah (suami atau isteri), dan hubungan wala' (pembebasan budak). Di luar ini tidak dimungkinkan menjadi ahli waris, misalnya anak angkat, anak tiri, mertua, menantu, ipar, orang yang mengadakan ikatan sumpah-setia. Sebaliknya, seseorang yang memiliki syarat sebagai ahli waris menjadi batal menerima warisan (diharamkan menerima warisan) karena tiga hal: berbeda agama, melakukan pembunuhan, dan berstatus sebagai budak.
Selanjutnya, hukum waris Islam tidak mengistimewakan pemberian warisan kepada satu orang atau satu kelompok ahli waris saja. Sebagai contoh, dalam kasus ada beberapa anak sebagai ahli waris, tidak ada dasarnya dalam hukum waris Islam memberikan warisan hanya kepada anak sulung atau bungsu, atau hanya kepada anak laki-laki, atau hanya kepada anak yang rajin bekerja, atau hanya kepada anak yang mengikuti jejak langkah orang tua. Akan tetapi, anak-anak itu harus diberikan bagian yang sama karena mereka sama statusnya. Ini mengandung makna bahwa hukum waris Islam tidak membeda-bedakan ahli waris yang memiliki kedudukan (status) yang sama dalam daftar ahli waris dan tidak mendasarkan pembagian warisan menurut perasaan manusia, tetapi hukum ini mutlak merupakan ketetapan dari Allah yang tidak dapat diganggu-gugat. Dengan demikian, kemaslahatan yang timbul dari hukum Allah ini sepenuhnya merupakan wujud dari kehendak Allah atas manusia.
Berkaitan dengan wasiat harta, Islam membatasi wasiat dalam hal orang yang dituju dan dalam hal besarnya wasiat. Seseorang yang masih hidup tidak diizinkan untuk memberikan wasiat kepada ahli waris yang mendapat bagian warisan, tetapi dibolehkan untuk berwasiat kepada orang di luar ahli waris yang menerima bagian warisan. Banyaknya harta yang diizinkan untuk diwasiatkan pun dibatasi hanya sampai sepertiga bagian dari seluruh harta, karena wasiat melebihi jumlah sepertiga akan menzhalimi (merugikan) para ahli waris yang berhak atas harta warisan itu sehingga harus atas izin seluruh ahli waris. “Sepertiga itu sudah banyak,” demikian sabda Nabi SAW. Hal ini berbeda dengan hukum waris buatan manusia yang memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pemberi wasiat dalam berwasiat harta.
Keistimewaan lain dari hukum waris Islam adalah adanya asas ijbari, yang mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari yang meninggal atau permintaan dari ahli warisnya. Dengan kata lain, ahli waris terpaksa menerima kenyataan perpindahan harta kepada dirinya sesuai dengan yang telah ditentukan Allah. Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut Hukum Perdata (BW) yang menetapkan bahwa peralihan harta tergantung pada kemauan yang meninggal serta kemauan dan kerelaan ahli waris yang akan menerima, tidak berlaku dengan sendirinya. Dengan ketentuan pemindahan harta secara paksa oleh Allah SWT, maka tidak ada ahli waris yang berhak membagi harta waris menurut kemauan masing-masing. Hal ini tentu jelas akan menghindarkan adanya penguasaan harta oleh seorang atau sekelompok ahli waris atas ahli waris yang lain.
Dalam sejarah kehidupan manusia, sudah banyak sekali perselisihan yang berujung pada pertumpahan darah yang diakibatkan oleh perebutan harta warisan. Karena itu, tidak ada jalan lain bagi orang mukmin -- orang yang beriman kepada Allah dan dengan semua hukum-Nya --– kecuali mengikuti hukum yang telah jelas disiapkan oleh Allah untuk manusia, karena hukum ciptaan Allah bagi manusia itu sudah pasti sesuai dengan fitrah manusia sebagai ciptaan Allah.
Dengan memperhatikan berbagai keistimewaan yang telah dikemukakan di depan, nyatalah bahwa dari sudut pandang mana pun, hukum waris Islam sebagai ketentuan langsung dari Allah SWT tetap yang unggul. Hal ini dapat dipahami karena Allah SWT Yang Maha Pencipta, yang menciptakan manusia, sekaligus Maha Mengetahui atas tabiat dasar nafsu manusia yang memerlukan harta dan cenderung mengumpulkan dan menguasai harta. Jika peralihan harta dari yang meninggal kepada ahli waris ditetapkan oleh manusia melalui hukum buatan mereka sendiri, maka nafsu manusia -- tidak dapat dihindarkan -- akan mempengaruhi dan mewarnai aturan hukum yang mereka buat itu. Di sinilah hikmah penetapan hukum waris langsung oleh Allah SWT. Inilah sebuah bukti kemahabijaksanaan Allah SWT. Wallahu a’lamu bishshawab.
Allah telah menurunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi umat Islam dalam kehidupan mereka. Melalui kitab ini, Allah memberikan tuntunan dan aturan hukum dalam segala aspek kehidupan manusia sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri sebagai makhluk ciptaan-Nya. Secara umum, hukum yang mengatur kehidupan manusia itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu hukum ibadah dan hukum muamalah. Jika hukum ibadah mengatur hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta (Allah), maka hukum muamalah berurusan dengan hubungan antarsesama makhluk Allah, termasuk hubungan sesama manusia.
Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Hukum yang berkaitan dengan hal ini disebut hukum waris atau hukum faraidh. Sebagai bagian dari hukum Islam, ternyata hukum waris Islam memiliki beberapa keistimewaan. Keistimewaan yang terdapat pada hukum ini dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang.
Dari sudut pandang sumber hukum, hukum waris Islam yang disebutkan di dalam Al-Qur'an memiliki keistimewaan tersendiri karena merupakan satu-satunya hukum yang dijelaskan dengan rinci seperti dapat dilihat pada Surat An-Nisa' ayat 11, 12, dan 176 yang merupakan ayat-ayat waris utama. Kalau aturan tentang syariat lain dalam Islam hanya disebutkan secara umum, maka aturan hukum waris dijelaskan langsung oleh Allah secara rinci dalam tiga ayat ini. Sebagai contoh, Allah memberikan perintah tentang shalat, tetapi Dia tidak menjelaskan secara rinci aturan-aturan dalam shalat. Hal ini berlaku untuk aturan puasa, zakat, haji, dan sebagainya.
Hukum waris dalam pandangan Islam adalah sama pentingnya dengan beberapa rukun Islam yang lain. Hal ini bisa diperhatikan dari petikan ayat-ayat waris dalam surat An-Nisa’. Warisan merupakan “Bagian yang telah ditetapkan” (Q.S. An-Nisa’: 7). “Ini adalah ketetapan dari Allah.” (Q.S. An-Nisa’: 11). “Syariat yang benar-benar dari Allah” (Q.S. An-Nisa’: 12). “Itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah” (Q.S. An-Nisa’: 13). “Allah mensyariatkan bagimu” (Q.S. An-Nisa’: 11). “Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu supaya kamu tidak sesat.” (Q.S. An-Nisa’: 176). Hukum waris adalah wajib, bukan sunnah. Warisan tidak diserahkan pada pilihan dan kebebasan seseorang. Warisan merupakan wasiat (syariat) dari Allah. Wasiat, apa pun bentuknya, dan siapa pun yang berwasiat, wajib dilaksanakan. Apalagi ini, yang berwasiat adalah Allah SWT.
Jika dipahami dengan seksama, ketiga ayat waris ini menyebutkan bagian-bagian yang harus diterima masing-masing ahli waris dalam pembagian warisan sesuai dengan hubungan ahli waris dengan orang yang meninggal dunia. Pada ayat 11 dalam Surat An-Nisa', Allah menyebutkan bagian untuk anak (perempuan dan laki-laki) dan orang tua (ibu dan bapak) dari yang meninggal dengan menggunakan angka pecahan 1/2 (setengah), 2/3 (dua pertiga), 1/6 (seperenam), dan 1/3 (sepertiga). Sementara itu, ayat 12 menetapkan bagian warisan untuk suami dan isteri, yang mencakup angka pecahan 1/2 (setengah), 1/4 (seperempat), dan 1/8 (seperdelapan). Dalam ayat yang sama, juga dapat ditemukan angka pecahan 1/3 dan 1/6 sebagai bagian untuk saudara seibu (laki-laki maupun perempuan). Pada akhir surat An-Nisa', yaitu ayat 176, Allah memberikan ketentuan bagian untuk saudara kandung atau sebapak dengan menyebutkan angka pecahan juga, yaitu 1/2 dan 2/3. Dari ketiga ayat ini, diperoleh enam macam angka pecahan: 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Secara matematis, keenam macam angka pecahan ini memiliki sifat keunikan tersendiri karena memiliki hubungan satu sama lain. Tetapi pembahasan tentang hal ini tidak dibahas dalam tulisan ini.
Sumber hukum lain untuk hukum waris Islam adalah hadits Nabi SAW. Hal-hal yang diatur dalam hadits antara lain ketentuan bagian untuk para ahli waris seperti nenek, kakek, cucu, paman, bibi, dan orang yang pernah membebaskan budak. Di samping itu, sumber hukum waris diambil dari ijma' dan ijtihad para sahabat Nabi SAW, para imam madzhab, dan mujtahid kenamaan. Sebagian besar ketentuan tentang pembagian warisan yang berasal dari Al-Qur'an, hadits, maupun ijma' dan ijtihad tidak menimbulkan perbedaan pendapat yang berarti. Perbedaan hanya terdapat di sebagian kecil masalah yang memang belum dijelaskan dalam Al-Qur'an maupun hadits pada saat masalah itu pertama sekali ditemukan, misalnya masalah kewarisan antara kakek bersama dengan saudara.
Keistimewaan hukum waris Islam juga dapat ditinjau dari sudut pandang sejarah. Kenyataan sejarah membuktikan bahwa kehadiran agama Islam yang membawa serta di dalamnya aturan tentang hukum waris, memberikan perubahan dalam bentuk perbaikan terhadap hukum waris yang berlaku sebelumnya. Perbaikan ini ternyata membawa kemaslahatan (kebaikan) bagi semua pihak, di antaranya menghilangkan kezhaliman yang timbul dalam hal warisan. Sebagai contoh, pada masa jahiliyah (masa kebodohan pra-Islam pada masyarakat Arab), yang berhak atas harta warisan hanya anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan anak paman. Keempat macam ahli waris ini pun masih harus ditambah syarat: harus sudah dewasa. Jadi, perempuan dan anak-anak tidak berhak mendapat warisan meskipun mereka adalah keluarga dekat dari yang meninggal. Aturan ini kemudian dibatalkan oleh Allah melalui Al-Qur'an. Selanjutnya, Allah menetapkan orang-orang yang dapat menjadi ahli waris seperti telah disebutkan di depan.
Tentang keadilan, hukum waris Islam tidak perlu diragukan lagi. Hukum waris Islam tidak menerapkan diskriminasi dalam pembagian warisan. Warisan adalah untuk seluruh ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan, baik mereka yang mampu maupun yang tidak mampu, yang taat kepada Allah maupun yang gemar bermaksiat kepada-Nya. Warisan diberikan kepada seluruh ahli waris, baik ashhabul-furudh (golongan ahli waris yang memperoleh bagian tertentu) maupun ‘ashabah (golongan ahli waris yang memperoleh bagian sisa setelah ashhabul-furudh). Laki-laki dan perempuan – bahkan banci – masing-masing berhak atas warisan yang besarnya sesuai dengan kedudukan mereka dalam susunan ahli waris. Bayi dalam kandungan pun memiliki hak yang sama dengan orang dewasa dalam hal warisan. Juga, anak sulung dan anak bungsu tidak boleh dibedakan dalam hal kewarisan. Bahkan, jika ditelaah lebih lanjut, ternyata Allah mengangkat derajat wanita -- yang sebelum ayat-ayat waris diturunkan telah dilecehkan -- melalui hukum waris. Isteri, anak perempuan, cucu perempuan, ibu, nenek, dan saudara perempuan, sudah ditetapkan bagian tertentu seperti disebutkan dalam ayat-ayat waris utama di depan. Hal ini merupakan keistimewaan tersendiri hukum waris Islam yang tidak dimiliki hukum waris lain buatan manusia. Sisi lain dari keadilan yang dimiliki hukum waris Islam adalah bahwa setiap ahli waris memiliki bagian secara proporsional menurut hubungan mereka dengan yang meninggal, bukan semata mendapat bagian secara sama-rata di antara seluruh ahli waris tanpa syarat.
Dalam hukum waris Islam, seseorang menjadi ahli waris dari yang meninggal hanya karena adanya hubungan yang jelas: hubungan nasab (hubungan darah, kerabat), hubungan nikah (suami atau isteri), dan hubungan wala' (pembebasan budak). Di luar ini tidak dimungkinkan menjadi ahli waris, misalnya anak angkat, anak tiri, mertua, menantu, ipar, orang yang mengadakan ikatan sumpah-setia. Sebaliknya, seseorang yang memiliki syarat sebagai ahli waris menjadi batal menerima warisan (diharamkan menerima warisan) karena tiga hal: berbeda agama, melakukan pembunuhan, dan berstatus sebagai budak.
Selanjutnya, hukum waris Islam tidak mengistimewakan pemberian warisan kepada satu orang atau satu kelompok ahli waris saja. Sebagai contoh, dalam kasus ada beberapa anak sebagai ahli waris, tidak ada dasarnya dalam hukum waris Islam memberikan warisan hanya kepada anak sulung atau bungsu, atau hanya kepada anak laki-laki, atau hanya kepada anak yang rajin bekerja, atau hanya kepada anak yang mengikuti jejak langkah orang tua. Akan tetapi, anak-anak itu harus diberikan bagian yang sama karena mereka sama statusnya. Ini mengandung makna bahwa hukum waris Islam tidak membeda-bedakan ahli waris yang memiliki kedudukan (status) yang sama dalam daftar ahli waris dan tidak mendasarkan pembagian warisan menurut perasaan manusia, tetapi hukum ini mutlak merupakan ketetapan dari Allah yang tidak dapat diganggu-gugat. Dengan demikian, kemaslahatan yang timbul dari hukum Allah ini sepenuhnya merupakan wujud dari kehendak Allah atas manusia.
Berkaitan dengan wasiat harta, Islam membatasi wasiat dalam hal orang yang dituju dan dalam hal besarnya wasiat. Seseorang yang masih hidup tidak diizinkan untuk memberikan wasiat kepada ahli waris yang mendapat bagian warisan, tetapi dibolehkan untuk berwasiat kepada orang di luar ahli waris yang menerima bagian warisan. Banyaknya harta yang diizinkan untuk diwasiatkan pun dibatasi hanya sampai sepertiga bagian dari seluruh harta, karena wasiat melebihi jumlah sepertiga akan menzhalimi (merugikan) para ahli waris yang berhak atas harta warisan itu sehingga harus atas izin seluruh ahli waris. “Sepertiga itu sudah banyak,” demikian sabda Nabi SAW. Hal ini berbeda dengan hukum waris buatan manusia yang memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pemberi wasiat dalam berwasiat harta.
Keistimewaan lain dari hukum waris Islam adalah adanya asas ijbari, yang mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari yang meninggal atau permintaan dari ahli warisnya. Dengan kata lain, ahli waris terpaksa menerima kenyataan perpindahan harta kepada dirinya sesuai dengan yang telah ditentukan Allah. Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut Hukum Perdata (BW) yang menetapkan bahwa peralihan harta tergantung pada kemauan yang meninggal serta kemauan dan kerelaan ahli waris yang akan menerima, tidak berlaku dengan sendirinya. Dengan ketentuan pemindahan harta secara paksa oleh Allah SWT, maka tidak ada ahli waris yang berhak membagi harta waris menurut kemauan masing-masing. Hal ini tentu jelas akan menghindarkan adanya penguasaan harta oleh seorang atau sekelompok ahli waris atas ahli waris yang lain.
Dalam sejarah kehidupan manusia, sudah banyak sekali perselisihan yang berujung pada pertumpahan darah yang diakibatkan oleh perebutan harta warisan. Karena itu, tidak ada jalan lain bagi orang mukmin -- orang yang beriman kepada Allah dan dengan semua hukum-Nya --– kecuali mengikuti hukum yang telah jelas disiapkan oleh Allah untuk manusia, karena hukum ciptaan Allah bagi manusia itu sudah pasti sesuai dengan fitrah manusia sebagai ciptaan Allah.
Dengan memperhatikan berbagai keistimewaan yang telah dikemukakan di depan, nyatalah bahwa dari sudut pandang mana pun, hukum waris Islam sebagai ketentuan langsung dari Allah SWT tetap yang unggul. Hal ini dapat dipahami karena Allah SWT Yang Maha Pencipta, yang menciptakan manusia, sekaligus Maha Mengetahui atas tabiat dasar nafsu manusia yang memerlukan harta dan cenderung mengumpulkan dan menguasai harta. Jika peralihan harta dari yang meninggal kepada ahli waris ditetapkan oleh manusia melalui hukum buatan mereka sendiri, maka nafsu manusia -- tidak dapat dihindarkan -- akan mempengaruhi dan mewarnai aturan hukum yang mereka buat itu. Di sinilah hikmah penetapan hukum waris langsung oleh Allah SWT. Inilah sebuah bukti kemahabijaksanaan Allah SWT. Wallahu a’lamu bishshawab.
Ingin mengikuti terus? Silakan lihat tulisan-tulisan saya yang lain:
1. Hukum Waris Islam: Mengatur Atau Memaksa?
2. Ilmu Faraidh: Sejarah, Dasar Hukum dan Kepentingannya
3. Ilmu Faraidh: Ahli Waris dan Klasifikasinya
4. Ilmu Faraidh: Metode Asal Masalah dalam Penghitungan Warisan
5. Keistimewaan Hukum Waris Islam: Sebuah Bukti Kemahabijaksanaan Allah
6. Empat Belas Macam Alasan Tidak Dijalankannya Hukum Faraidh Di Indonesia
7. Hukum Waris Islam Mengangkat Derajat Wanita
8. Kuis Pendahuluan Ilmu Faraidh
9. Nasihat Seputar Harta Peninggalan
Wassalam,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan beri komentar Anda