Kamis, 11 Desember 2008

HUKUM WARIS ISLAM: MENGATUR ATAU MEMAKSA?

Oleh: Achmad Yani, S.T., M.Kom.

(Telah dimuat di Harian Waspada Jum'at, 31 Oktober 2008, Rubrik Mimbar Jum'at)

"Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan." (Q. S. An-Nisa': 7)

Agama Islam pada dasarnya dapat dibagi atas lima komponen. Kelima komponen ini adalah Imaniyah (Tauhid, Aqidah), Ibadah, Muamalah, Muasyarah, dan Akhlaq. Bagi umat Islam, idealnya tentu mengamalkan semua bagian agama ini secara menyeluruh (kaffah) sesuai dengan tuntunan yang berasal dari sumber hukum Islam sendiri, yaitu Al-Qur'an dan Hadits.
Untuk dapat mengamalkan semua bagian agama ini, tentunya harus dimulai dari pengetahuan tentang aturan-aturan (syariat) yang berlaku. Dalam bab imaniyah misalnya, sejak dini kita telah diajarkan oleh orang tua kita tentang Rukun Iman yang berisi enam hal pokok yang harus diimani oleh setiap muslim, yaitu iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Akhir, dan Qadar. Demikian pula, bab ibadah mengenal adanya Rukun Islam yang mencakup lima kewajiban dasar seorang muslim, yaitu Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat, dan Haji. Bagaimana halnya dengan bab muamalah, muasyarah, dan akhlaq?
Pada tulisan ini hanya akan disorot masalah hukum waris Islam yang sering disebut hukum faraidh. Hukum waris dapat dimasukkan dalam bab muamalah. Secara umum, bab muamalah berkaitan dengan pengaturan transaksi atau perpindahan harta benda di antara sesama muslim. Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin, hukum kewarisan Islam didefinisikan sebagai seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah SWT dan Sunnah Nabi SAW tentang hal ihwal peralihan harta atau yang berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.
Pada dasarnya, kalau dianalisis lebih lanjut, maka hukum waris memiliki dasar hukum (dalil) yang kuat, yaitu Al-Qur'an pada Surat An-Nisa': 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 33, 176, Surat Al-Anfal: 75, dan beberapa (tidak banyak) hadits Nabi SAW. Secara tegas, Allah memberikan janji surga bagi yang mengamalkan hukum ini melalui Surat An-Nisa: 13, dan ancaman neraka bagi pelanggarnya melalui Surat An-Nisa': 14. Adapun Surat An-Nisa': 11, 12, dan 176 yang merupakan ayat-ayat waris utama, memberikan rincian ahli waris dan bagian masing-masing dalam angka pecahan, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6.
Dari ayat-ayat tentang waris, dapat dipahami bahwa peralihan harta dari yang meninggal (pewaris) kepada yang hidup (ahli waris) berikut jumlah bagiannya terjadi tidak atas kehendak pewaris maupun ahli waris, tetapi atas kehendak Allah melalui Al-Qur'an. Ini mengandung arti bahwa terjadinya waris-mewarisi dan aturan-aturan yang berkaitan dengannya adalah bersifat memaksa.
Dalam terminologi ilmu hukum, dikenal dua sifat hukum, yaitu hukum yang 'memaksa' dan hukum yang 'mengatur'.
Hukum disebut bersifat 'memaksa' apabila ketentuan hukum yang ada tidak dapat dikesampingkan, yaitu, perintah atau larangan hukum tersebut – tidak bisa tidak – harus ditaati. Seandainya tidak ditaati, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum yang dapat dikenakan sanksi atau hukuman tertentu.
Dalam pengertian hukum yang bersifat 'mengatur', maka hukum yang ada dapat dikesampingkan (tidak dipedomani) seandainya para pihak berkeinginan lain sesuai dengan kesepakatan atau musyawarah di antara mereka. Dalam hal ini, kalau pun tidak dilaksanakan ketentuan hukum yang ada, perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum karena sifatnya yang (sekedar) mengatur itu.
Secara hukum, ternyata tidak ada satu ketentuan pun (nash), baik dalam Al-Qur'an maupun Hadits Nabi SAW, yang menyatakan bahwa membagi harta warisan menurut ketentuan hukum waris Islam itu tidak wajib. Bahkan sebaliknya, Allah telah menyatakan kewajibannya seperti dapat dilihat pada ayat-ayat waris yang telah disebutkan sebelumnya. Ayat-ayat waris ini jelas menunjukkan kekuatan atau kewajibannya. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud, "Bagilah harta warisan di antara para ahli waris menurut Kitabullah (Al-Qur'an)."
Sebenarnya, aturan-aturan berkenaan dengan pembagian warisan menurut syariat Islam secara keseluruhan begitu sederhana dan mudah dipahami. Sayangnya, hukum waris ini terlanjur diasumsikan sebagai sesuatu yang sulit dan hanya dapat dipahami oleh orang-orang tertentu. Mengapa? Memang, sesuai dengan salah satu hadits Nabi SAW, ilmu faraidh telah dinyatakan sebagai ilmu yang pertama kali akan dicabut dari umat ini pada akhir zaman nanti. Hal ini telah terbukti karena begitu langkanya orang yang mau mendalami ilmu ini. Padahal, Rasulullah SAW telah memerintahkan untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh. Hal ini jelas menunjukkan kewajiban belajar dan mengajar ilmu faraidh. Dan ternyata, tidak ditemukan satu nash pun, baik dalam Al-Qur'an maupun Hadits, yang menyatakan ketidakwajiban mempelajari dan mengajarkan ilmu ini.
Jadi, dapat dipahami bahwa melaksanakan hukum waris (dalam arti melaksanakan pembagian warisan menurut syariat Islam) sama wajibnya dengan mempelajari dan mengajarkan hukum waris itu sendiri.
Dari uraian di depan, dikaitkan dengan sifat hukum yang telah dikemukakan, maka hukum waris Islam yang telah diatur oleh Allah SWT merupakan ketentuan hukum yang bersifat memaksa. Karena itu, wajib bagi setiap pribadi muslim untuk mengamalkannya. Dengan adanya dasar hukum yang kuat seperti telah diuraikan, maka anggapan bahwa ketentuan hukum waris Islam hanya sekedar bersifat mengatur tidak dapat diterima karena tidak adanya ketentuan yang menyatakan ketidakwajibannya, baik dalam hal mengamalkannya maupun mempelajarinya dan mengajarkannya. Bahkan, dengan mengacu kepada sumber hukum asalnya, pelanggaran terhadap pelaksanaan hukum waris Islam dikenakan sanksi langsung oleh Allah SWT – meskipun bukan di dunia ini – di akhirat kelak menurut Surat An-Nisa': 14.
Sebagai muslim, tentu tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti tuntunan yang berlaku menurut sumber hukum Islam sendiri. Tidak hanya dalam masalah imaniyah dan ibadah, dalam masalah faraidh pun hendaknya setiap pribadi muslim konsisten dalam mengamalkannya. Konsisten? Ya, karena berbicara soal dasar hukum, hukum yang berlaku tentang ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan sebagainya, sama kuatnya dengan hukum waris. Jika seorang muslim wajib mendirikan shalat pada waktu yang telah ditentukan (shalat lima waktu), misalnya, maka dia juga wajib menjalankan hukum waris Islam yang berlaku pada waktu terjadinya pembagian warisan yang melibatkan dirinya. Hal ini juga sama wajibnya dengan berpuasa pada waktu yang ditentukan (bulan Ramadhan).
Setelah memperbincangkan dan memahami kekuatan hukum waris Islam, selayaknya tidak ada alasan lagi bagi setiap muslim untuk mengambil hukum waris lain selain hukum waris Islam. Ketaatan seorang muslim dalam melaksanakan hukum waris Islam, seperti halnya hukum syariat lainnya, merupakan tolok ukur dari kadar keimanannya kepada Allah Yang Maha Bijaksana. Hendaknya setiap pribadi muslim menyadari bahwa mengambil hukum selain hukum yang berasal dari Allah SWT dapat dikategorikan ke dalam salah satu dari tiga macam sebutan ini: kafir, zhalim, atau fasik (lihat Surat Al-Maidah: 44, 45, 47). Na'udzubillahi min dzalik. Semoga kita tidak tergolong hamba Allah yang mendapat tiga macam sebutan ini.
Dengan adanya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka hukum kewarisan Islam menjadi hukum positif di Indonesia, khususnya bagi umat Islam. Dalam perkembangannya, hukum kewarisan Islam sebagai hukum positif diwujudkan dalam bentuk tertulis berupa Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI disebarluaskan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Meskipun oleh sebagian pihak KHI ini tidak diakui sebagai hukum perundang-undangan (karena memang KHI belum berwujud undang-undang, sehingga statusnya masih di bawah undang-undang), para pelaksana di peradilan agama telah sepakat menjadikannya sebagai pedoman dalam penyelesaian perkara di pengadilan.
Di dalam KHI yang memuat tiga buku, hukum waris Islam dicantumkan dalam Buku Kedua tentang Hukum Kewarisan. Hukum Kewarisan yang diatur dalam Pasal 171 sampai dengan 193 pada umumnya telah sesuai atau sejalan dengan hukum faraidh Islam. Namun demikian, ada beberapa pasal krusial yang perlu diperhatikan, yaitu Pasal 173 tentang halangan mewarisi, Pasal 177 tentang kewarisan bapak, Pasal 183 tentang perdamaian dalam pembagian warisan, dan Pasal 185 tentang ahli waris pengganti.
Di masa mendatang, diharapkan hukum kewarisan Islam diterapkan dengan menyiapkan perangkat hukum dalam bentuk undang-undang yang memiliki kekuatan hukum yang jelas. Selanjutnya di dalam rumusan undang-undang ini hendaknya dihindarkan adanya opsi (pilihan) untuk menggunakan hukum waris di luar hukum waris Islam bagi umat Islam. Dan juga yang penting, pelanggaran terhadap undang-undang ini hendaknya diberikan sanksi yang sesuai. Dengan cara ini, maka upaya mencari kepastian hukum dapat ditegakkan. Insyaallah.

(Penulis adalah dosen pada Politeknik Negeri Medan, dan pembuat software Sistem Pakar Faraidh Islam Versi 1.0).

Ingin mengikuti terus? Silakan lihat tulisan-tulisan saya yang lain:
1. Hukum Waris Islam: Mengatur Atau Memaksa?
2. Ilmu Faraidh: Sejarah, Dasar Hukum dan Kepentingannya
3. Ilmu Faraidh: Ahli Waris dan Klasifikasinya
4. Ilmu Faraidh: Metode Asal Masalah dalam Penghitungan Warisan
5. Keistimewaan Hukum Waris Islam: Sebuah Bukti Kemahabijaksanaan Allah
6. Empat Belas Macam Alasan Tidak Dijalankannya Hukum Faraidh Di Indonesia
7. Hukum Waris Islam Mengangkat Derajat Wanita
8. Kuis Pendahuluan Ilmu Faraidh
9. Nasihat Seputar Harta Peninggalan

7 komentar:

  1. assalammuallaikum wr wb

    saya irwan, tinggal dibanjarmasin kalimantan selatan. bolehkah saya bertanya (minta pencerahan) seputar warisan? terima kasih sebelumnya.

    wassalammuallikum wr wb

    BalasHapus
  2. Silakan tanya.

    BalasHapus
  3. Assalamu'alaikum...
    Mas, ini ada software hitung waris gratis.
    http://kaisansoft.com/produk-layanan/software-hitung-waris-at-tashil/
    Semoga bermanfaat. Barokallohufiikum...

    BalasHapus
  4. Assalamualaikum.wr.wb.
    Pak...saya mau tanya...beberapa bulan yang lalu saudara laki-laki saya meninggal dunia, semasa hidupnya dia sudah memiliki penghasilan sendiri.Dia memiliki dua istri namun belum dikaruniai anak. Dari pihak istri dan keluarga saya sepakat untuk membagi harta warisan peninggalan saudara saya. Yang menjadi pertanyaan saya adalah bagaimana pembagian warisan menurut hukum Islam.
    Sebagai gambaran berikut saya uraikan keluarga-keluarga yang ditinggalkan :
    - 4 anak lelaki dari saudara lelaki seibu sebapak
    - 1 ibu
    - 3 anak lelaki dari saudara lelaki bapak seibu sebapak
    - 2 saudara perempuan seibu sebapak dari nenek lelaki
    - 1 saudara lelaki bapak sebapak
    - 1 saudara perempuan seibu
    - 2 nenek dari pihak bapak/ibu
    - 3 saudara lelaki seibu
    - 2 saudara perempuan bapak sebapak
    - 2 isteri
    - 1 saudara perempuan ibu seibu sebapak
    - 1 bapak

    Yang jadi pertanyaan saya adalah :
    1. Siapa saja yang berhak menjadi ahli waris?
    2. Siapa saja terhijab, dan menghijab ?
    3. Siapakah diantara mereka yang menjadi ashabah?
    4. Bagaimanakah pembagian harta peninggalan pada ahli waris
    dan bagaimana perolehan mereka masing-masing?

    Prediksi kami bahwa harta peninggalan saudara saya totalnya sekitar Rp. 397.000.000,-


    Demikianlah pertanyaan saya, mohon kiranya Bapak dapat memberikan jawaban/solusi atas pertanyaan/permasalahan saya tersebut.

    Atas perhatian Bapak saya ucapkan terima kasih.

    Wassalamualaikum wr. wb.

    BalasHapus
  5. Wa'alaikum salam wr. wb.

    Maaf ya, baru dibalas sekarang.
    Kepada Bapak/Ibu ... (siapa ya?) jawaban yang dapat saya berikan adalah sebagai berikut:

    1. Yang menjadi ahli waris adalah
    - 4 anak lelaki dari saudara lelaki seibu sebapak
    - 1 ibu
    - 3 anak lelaki dari saudara lelaki bapak seibu sebapak
    - 1 saudara lelaki bapak sebapak
    - 1 saudara perempuan seibu
    - 2 nenek dari pihak bapak/ibu
    - 3 saudara lelaki seibu
    - 2 isteri
    - 1 bapak
    Selain mereka berarti bukan termasuk ahli waris, yaitu
    - 2 saudara perempuan seibu sebapak dari nenek lelaki
    - 2 saudara perempuan bapak sebapak
    - 1 saudara perempuan ibu seibu sebapak

    2. Dari yang berhak menjadi ahli waris di atas, yang terhijab adalah
    - 4 anak lelaki dari saudara lelaki seibu sebapak ==> terhijab oleh bapak
    - 3 anak lelaki dari saudara lelaki bapak seibu sebapak ==> terhijab oleh bapak
    - 1 saudara lelaki bapak sebapak ==> terhijab oleh bapak
    - 1 saudara perempuan seibu ==> terhijab oleh bapak
    - 1 nenek dari pihak bapak ==> terhijab oleh ibu dan bapak
    - 1 nenek dari pihak ibu ==> terhijab oleh ibu
    - 3 saudara lelaki seibu ==> terhijab oleh bapak

    3. Yang menjadi ashabah adalah Bapak

    4. Pembagian hartanya adalah sebagai berikut:
    Dari jawaban no. 2 di atas, maka ahli waris yang mendapatkan bagian hanya tiga macam:
    - 2 isteri : mendapat 1/4 bagian = (1/4)x Rp 397.000.000,- = Rp 99.250.000,-. Jadi masing2 isteri mendapat Rp 49.625.000,-
    - 1 ibu : mendapat 1/3 dari Sisa = (1/3) x (3/4) bagian = 1/4 bagian = (1/4)x Rp 397.000.000,- = Rp 99.250.000,-
    - 1 bapak : mendapat 2/3 dari Sisa = (2/3)x(3/4) bagian = 2/4 bagian = (2/4)x Rp 397.000.000,- = Rp 198.500.000,-

    Demikianlah jawaban yang dapat saya berikan.
    Wallahu a'lamu bishshawab.
    Wassalam,


    Achmad Yani

    BalasHapus
  6. Assalamualikum Ustadz..

    Salam kenal dg sy Ovi. Sy mau brtanya, apa tindakan sy salah ya...masalahnya bgn,Kami ada 4 bersaudara 1 laki dan 3 perempuan.Thn 2003 ayah meninggal.tp sblm ayah meninggal blm smpt dibagikan warisan...dan bbrp bln stlh itu sy sempat singgung wlpn tidak scr langsung kpd ibu dan sodara, yang terjadi malah mereka semua marah besar dan mengatakan tidak etis kr ayah br saja meninggal dan menuduh sy serakah mau bgt jg ibu dan berkata bhw selama ibu masih hidup semua harta masih milik ibu.tp kenyataannya ustadz sy liat sampai dg tahu 2011 ini blm ada sedikitpun tergerak utk membagikan warisan malah saya cenderung melihat ada penguasaan harta dari abang dan kakak saya. sdg sy yg slm ini tdk satu rumah dg mrk blm ada sedikitpun bagian.Memang harta yg ditinggalkan oleh alm ayah cukup besar ustadz, rumah ada 3, 2 sudah ditempati oleh abang+ibu, kakak. CV konstruksi sdh dikelola olh suami kakak sy tp slm ini tdk sdktpun ada kontribusi ke keluarga bahkan dipegang sdr untungnya.bgt jg mobil dipegang oleh abang ipar, 2 bus, satu sdh dijual dan disimpan oleh ibu,1 bus lagi malah sdh diatas namakan oleh abang sy. Bgt jg ibu bilang bhw rumah induk ini utk abang. sy cm bs kaget dan sedih ustadz,knp sy tidak ada sdktpun bagian warisan wlpn sy tidak tinggal dkt dg mereka. Saya sdh pasrah ustadz kl pada akhirnya tidak mendapat warisan.Bagaimana solusi selanjutnya ustadz?perlu diketahui bhw pengetahuan agama di keluarga kami mmg minim, tp alhamdulillah sy mendapatkan suami yg paham betul ttg agama shgg sy byk belajar drnya.

    Terima kasih, Wassalam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wa'alaikum salam wr wb.

      Terus terang, saya sangat prihatin dengan keadaan Anda. Benar bahwa sesuai dengan hukum Islam, Anda termasuk salah satu di antara ahli waris dari almarhum ayah Anda yang telah wafat. Berdasarkan hukum waris Islam, maka pembagian warisan dari ayah Anda adalah sebagai berikut:

      Isteri (yaitu ibu Anda) --> mendapat 1/8 bagian.
      1 Anak lk --> mendapat 2/5 bagian dari sisa = 2/5 x 7/8 bagian = 14/40 bagian.
      3 Anak pr --> mendapat 3/5 bagian dari sisa = 3/5 x 7/8 bagian = 21/40 bagian. Jadi masing-masing anak perempuan mendapat 7/40 bagian.

      Dalam hukum waris Islam, tidak ada alasan bahwa anak yang tidak serumah tidak mendapat bagian. Karena itu, mungkin melalui suami Anda yang paham tentang agama, ada baiknya memberikan penjelasan tentang pembagian warisan ini dalam musyawarah keluarga. Atau melalui siapa saja yang dianggap dihormati dan disegani dalam masalah agama sehingga dapat menjelaskan dan memberikan pengertian kepada keluarga besar Anda tentang hal ini.

      Demikianlah jawaban yang dapat saya berikan.
      Wassalam,

      Achmad Yani

      Hapus

Silakan beri komentar Anda