Rabu, 21 Januari 2009

EMPAT BELAS MACAM ALASAN TIDAK DIJALANKANNYA HUKUM FARAIDH DI INDONESIA

Achmad Yani, S.T., M.Kom.
achmad.yani.polmed@gmail.com

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Q.S. Al-Kahfi: 46)
Ayat di atas memberitahukan kepada kita bahwa harta dan anak-anak menghiasi kehidupan manusia di dunia. Tetapi, perhiasan ini hanya dijadikan indah dan kesenangan bagi manusia semasa hidup di dunia. Dan tempat kesenangan yang sebenarnya adalah surga.


“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Q.S. Ali ‘Imran: 14)

Sementara itu, bagi orang-orang yang beriman, justru harta dan anak-anak tidak boleh menjadikan mereka lalai dari mengingat Allah.
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.” (Q.S. Al-Munafiqun: 9)

Harta adalah kebutuhan dan kesenangan manusia. Karena merupakan kebutuhan dan juga kesenangan, maka manusia berusaha dengan gigih untuk mendapatkannya. Harta diperoleh oleh seseorang dengan berbagai macam cara.
1. Ada orang yang memperoleh harta dengan bekerja, misalnya bertani, berdagang, mengajar, dan sebagainya.
2. Ada pula orang yang memperoleh harta karena diberi oleh orang lain sebagai sedekah dengan memperhatikan kondisi orang yang diberi. Orang seperti ini biasanya adalah orang yang fakir, miskin, anak yatim, pengemis, gelandangan, dan sebagainya.
3. Harta dapat juga diperoleh dari hadiah atau hibah, yaitu pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa ada ikatan atau sebab yang mewajibkan.
4. Cara lain perolehan harta adalah dari zakat, baik zakat fitrah maupun zakat harta. Ada delapan macam golongan yang dapat memperoleh harta dengan cara ini, yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, orang yang memerdekakan budak, gharim (orang yang berutang), fi sabilillah (untuk keperluan di jalan Allah), dan ibnu sabil (musafir).
5. Ada lagi cara memperoleh harta, tetapi termasuk cara yang diharamkan (dilarang) oleh syariat, misalnya dengan mencuri, merampok, menipu, melakukan korupsi, menerima suap, melakukan pungutan liar, memakan riba, dan sejenisnya.
6. Terakhir, dan yang paling istimewa, ada juga harta yang diperoleh bukan dengan jalan usaha maupun pemberian orang lain, tetapi terpaksa diterima karena langsung ditetapkan pemberiannya oleh Allah melalui jalan pembagian warisan dari orang yang meninggal dunia. Cara ini didapatkan oleh ahli waris.

Pembagian harta warisan sudah diatur oleh Allah langsung di dalam Al-Qur’an dan dilengkapi serta dijelaskan dengan beberapa hadits Nabi SAW, antara lain tentang ahli waris yang berhak, dan bagian masing-masing ahli waris. Meskipun demikian, dalam masalah pembagian ini terdapat kecenderungan bahwa pelaksanaannya belum atau tidak sesuai dengan tuntutan dan tuntunan Allah dan Rasulullah SAW. Dengan kata lain, pelaksanaan pembagian harta warisan di antara umat Islam masih belum mengikuti hukum waris Islam.

Adapun di antara beberapa alasan belum atau tidak dilaksanakannya pembagian harta warisan menurut hukum waris Islam adalah sebagai berikut:
1. Tidak mengetahui ilmunya
Ilmu tentang pembagian harta warisan, yang disebut juga ilmu faraidh, sesuai dengan hadits Rasulullah SAW, merupakan ilmu yang sangat sedikit orang yang mengetahuinya. Bahkan ilmu ini merupakan ilmu yang pertama kali akan diangkat (dicabut) dari bumi ini oleh Allah dengan cara dimatikan-Nya para ulama yang mengerti ilmu ini satu demi satu pada akhir zaman.
2. Masih mengutamakan (mendahulukan) adat-istiadat yang berlaku di masyarakat daripada aturan syariat Islam
Dalam pelaksanaannya, pembagian harta warisan masih kental dengan pengaruh adat-istiadat yang berlaku di daerah masing-masing. Sebagai contoh, untuk kasus di Indonesia, yang terdiri dari ratusan suku dengan budayanya masing-masing, terdapat banyak sekali perbedaan dalam hal warisan. Sebagian ada yang menggunakan garis bapak saja (patrilineal) sehingga hanya membagi warisan kepada pihak laki-laki, sementara sebagian yang lain menggunakan garis ibu saja (matrilineal) sehingga yang mendapat bagian hanya dari pihak perempuan; sebagian hanya memberikan kepada anak tertua, sementara sebagian yang lain hanya memberikan kepada anak termuda; sebagian lagi membagikan warisan secara sama rata.
3.
Takut bagiannya sedikit atau tidak mendapat bagian sama sekali
Kecintaan dan ketamakan pada harta mendorong manusia untuk berusaha mendapatkannya dengan sekuat tenaga meskipun kadangkala membuat mereka melakukan perbuatan yang melanggar aturan syariat. Sebagian ahli waris ada yang, karena telah mengetahui bagiannya dari harta warisan jika dibagi menurut hukum faraidh Islam menjadi sedikit atau tidak mendapat bagian sama sekali, berusaha untuk tidak menjalankan pembagian menurut hukum waris Islam. Sebagai gantinya, mereka melakukan pembagian warisan menurut cara mereka sendiri agar mereka mendapat bagian, atau bagian mereka menjadi lebih banyak.
4. Tidak mau repot
Dalam kenyataannya di masyarakat, kebanyakan orang Islam tidak mau membagi warisan menurut syariat Islam karena mereka tidak mau repot atau susah. Mereka menganggap hukum waris Islam rumit kalau diterapkan sehingga mereka menggunakan cara pembagian yang mudah, mislnya dengan musyawarah keluarga; yang penting, harta warisan dibagikan kepada orang-orang yang menjadi ahli waris.
5. Menganggap ilmu faraidh sebagai ilmu yang sangat sulit dipelajari dan dilaksanakan
Karena belum mempelajari atau tidak mau mempelajari ilmu faraidh, maka kebanyakan orang Islam menganggap ilmu faraidh sulit dipelajari apalagi dilaksanakan. Anggapan seperti ini sudah menjadi kecenderungan di dalam sebagian besar orang Islam yang awam.
6. Merasa hukum waris Islam tidak adil
Sebagian kalangan menganggap bahwa hukum waris Islam tidak layak diterapkan karena merasa hukum ini tidak adil. Salah satu hal yang melandasi anggapan ini adalah masalah gender, misalnya mereka tidak puas karena bagian anak perempuan hanya setengah dari bagian anak laki-laki. Anggapan dan tuduhan ini muncul karena adanya pemahaman yang salah terhadap hukum waris Islam, dan ini banyak dilontarkan oleh kalangan yang benci dengan syariat Islam, baik dari kalangan orientalis maupun orang-orang munafik.
7. Menganggap hukum waris Islam tidak kuat dan tidak mengikat bagi umat Islam
Sama halnya dengan yang merasa hukum waris Islam tidak adil, mereka juga menganggap hukum waris Islam tidak kuat dan tidak mengikat bagi umat Islam. Kelompok yang memiliki anggapan ini umumnya lebih mengutamakan akal (rasio) dalam menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits.
8.
Hukum waris Islam belum dituangkan sebagai hukum positif dalam bentuk Undang-Undang
Belum adanya peraturan dalam bentuk Undang-Undang yang diberlakukan di negara kita, juga menjadi salah satu alasan bagi umat Islam di Indonesia untuk tidak mau menjalankan pembagian warisan menurut hukum waris Islam. Umumnya mereka berpendapat bahwa hukum waris Islam baru bisa dilaksanakan jika sudah menjadi hukum positif, sama seperti Undang-Undang yang lain.
9.
Adanya beberapa perbedaan pendapat ulama dalam masalah pembagian harta warisan
Perbedaan madzhab dalam masalah warisan juga sering dijadikan alasan orang untuk tidak mau menjalankan hukum waris Islam karena mereka menganggap tidak ada kesatuan aturan yang menjadi pedoman. Hal ini sebenarnya hanya merupakan alasan orang-orang yang tidak memiliki pendirian dan selalu ragu-ragu dalam menjalankan syariat Islam.
10.
Menganggap hukum waris Islam hanya fatwa para ulama
Anggapan ini hanya dilontarkan oleh sebagian orang karena ketidaktahuan, dan keengganan mereka untuk belajar ilmu faraidh. Umumnya orang-orang awam berpendapat seperti ini.
11. Menganggap bahwa yang memiliki harta memiliki hak mutlak untuk membagi warisannya kepada para ahli waris ketika masih hidup
Karena merasa bahwa harta yang dimiliki merupakan hak mutlak yang diperoleh dari hasil usaha dan jerih payahnya sendiri, banyak orang yang membagikan hartanya sebagai warisan ketika mereka masih hidup kepada para ahli warisnya dengan cara pembagian sendiri yang mereka anggap sudah adil menurut mereka tanpa memperhatikan hukum waris Islam.
12.
Menganggap bahwa pembagian warisan cukup dibagi dengan cara pemberian wasiat saja
Sebagian orang membagi warisan dengan cara memberi wasiat kepada calon ahli warisnya ketika mereka masih hidup untuk dibagikan setelah mereka wafat. Mereka menganggap itulah pembagian yang benar tanpa mengindahkan aturan-atuan pembagian warisan menurut syariat Islam.
13.
Menganggap bahwa pembagian warisan sudah adil jika dibagi secara sama rata di antara semua ahli waris
Sebagian orang memiliki prinsip sama-rata sama-rasa, dan hal itu juga mereka terapkan dalam pembagian harta warisan. Semua ahli waris diberikan bagian yang sama besar tanpa memandang kedudukan masing-masing di dalam susunan ahli waris. Mereka menganggap itulah keadilan yang sesungguhnya.
14.
Belum adanya lembaga yang berwenang mutlak mengurus dan mengatur pembagian harta warisan di antara umat Islam
Benar bahwa di negara kita belum ada lembaga khusus yang berwenang mutlak mengurus dan mengatur pembagian harta warisan di antara umat Islam. Tetapi hal ini justru dijadikan alasan sebagian orang untuk tidak menjalankan pembagian warisan sesuai dengan hukum waris Islam.

Demikianlah di antara sekian alasan yang melatarbelakangi belum adanya kesadaran umat Islam, terutama di Indonesia, untuk melaksanakan pembagian warisan menurut hukum waris Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Padahal, hukum waris Islam sudah merupakan ketentuan langsung dari Allah Yang Maha Bijaksana, Mahaadil, Maha Mengetahui, dan Maha Penyayang, dan sudah disusun oleh para ulama menjadi satu cabang ilmu sendiri, yaitu ilmu faraidh. Semoga kita tidak termasuk di antara orang-orang yang tidak mau menjalankan aturan pembagian warisan menurut Al-Qur’an dan Hadits dikarenakan alasan-alasan yang dikemukakan di depan. Semoga Allah memberikan taufiq dan ‘inayah untuk dapat mempelajari, mengamalkan, mengajarkan, dan melestarikan ilmu faraidh. Insyaallah.



Ingin mengikuti terus? Silakan lihat tulisan-tulisan saya yang lain:
1. Hukum Waris Islam: Mengatur Atau Memaksa?
2. Ilmu Faraidh: Sejarah, Dasar Hukum dan Kepentingannya
3. Ilmu Faraidh: Ahli Waris dan Klasifikasinya
4. Ilmu Faraidh: Metode Asal Masalah dalam Penghitungan Warisan
5. Keistimewaan Hukum Waris Islam: Sebuah Bukti Kemahabijaksanaan Allah
6. Empat Belas Macam Alasan Tidak Dijalankannya Hukum Faraidh Di Indonesia
7. Hukum Waris Islam Mengangkat Derajat Wanita
8. Kuis Pendahuluan Ilmu Faraidh
9. Nasihat Seputar Harta Peninggalan

Wassalam,
[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]

Rabu, 14 Januari 2009

KEISTIMEWAAN HUKUM WARIS ISLAM: SEBUAH BUKTI KEMAHABIJAKSANAAN ALLAH

Achmad Yani, S.T., M.Kom.
achmad_yani_polmed@yahoo.co.id




“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Q.S. Al-Maidah: 50)

Allah telah menurunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi umat Islam dalam kehidupan mereka. Melalui kitab ini, Allah memberikan tuntunan dan aturan hukum dalam segala aspek kehidupan manusia sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri sebagai makhluk ciptaan-Nya. Secara umum, hukum yang mengatur kehidupan manusia itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu hukum ibadah dan hukum muamalah. Jika hukum ibadah mengatur hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta (Allah), maka hukum muamalah berurusan dengan hubungan antarsesama makhluk Allah, termasuk hubungan sesama manusia.

Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Hukum yang berkaitan dengan hal ini disebut hukum waris atau hukum faraidh. Sebagai bagian dari hukum Islam, ternyata hukum waris Islam memiliki beberapa keistimewaan. Keistimewaan yang terdapat pada hukum ini dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang.

Dari sudut pandang sumber hukum, hukum waris Islam yang disebutkan di dalam Al-Qur'an memiliki keistimewaan tersendiri karena merupakan satu-satunya hukum yang dijelaskan dengan rinci seperti dapat dilihat pada Surat An-Nisa' ayat 11, 12, dan 176 yang merupakan ayat-ayat waris utama. Kalau aturan tentang syariat lain dalam Islam hanya disebutkan secara umum, maka aturan hukum waris dijelaskan langsung oleh Allah secara rinci dalam tiga ayat ini. Sebagai contoh, Allah memberikan perintah tentang shalat, tetapi Dia tidak menjelaskan secara rinci aturan-aturan dalam shalat. Hal ini berlaku untuk aturan puasa, zakat, haji, dan sebagainya.

Hukum waris dalam pandangan Islam adalah sama pentingnya dengan beberapa rukun Islam yang lain. Hal ini bisa diperhatikan dari petikan ayat-ayat waris dalam surat An-Nisa’. Warisan merupakan “Bagian yang telah ditetapkan” (Q.S. An-Nisa’: 7). Ini adalah ketetapan dari Allah.” (Q.S. An-Nisa’: 11). “Syariat yang benar-benar dari Allah” (Q.S. An-Nisa’: 12). “Itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah” (Q.S. An-Nisa’: 13). “Allah mensyariatkan bagimu” (Q.S. An-Nisa’: 11). “Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu supaya kamu tidak sesat.” (Q.S. An-Nisa’: 176). Hukum waris adalah wajib, bukan sunnah. Warisan tidak diserahkan pada pilihan dan kebebasan seseorang. Warisan merupakan wasiat (syariat) dari Allah. Wasiat, apa pun bentuknya, dan siapa pun yang berwasiat, wajib dilaksanakan. Apalagi ini, yang berwasiat adalah Allah SWT.

Jika dipahami dengan seksama, ketiga ayat waris ini menyebutkan bagian-bagian yang harus diterima masing-masing ahli waris dalam pembagian warisan sesuai dengan hubungan ahli waris dengan orang yang meninggal dunia. Pada ayat 11 dalam Surat An-Nisa', Allah menyebutkan bagian untuk anak (perempuan dan laki-laki) dan orang tua (ibu dan bapak) dari yang meninggal dengan menggunakan angka pecahan 1/2 (setengah), 2/3 (dua pertiga), 1/6 (seperenam), dan 1/3 (sepertiga). Sementara itu, ayat 12 menetapkan bagian warisan untuk suami dan isteri, yang mencakup angka pecahan 1/2 (setengah), 1/4 (seperempat), dan 1/8 (seperdelapan). Dalam ayat yang sama, juga dapat ditemukan angka pecahan 1/3 dan 1/6 sebagai bagian untuk saudara seibu (laki-laki maupun perempuan). Pada akhir surat An-Nisa', yaitu ayat 176, Allah memberikan ketentuan bagian untuk saudara kandung atau sebapak dengan menyebutkan angka pecahan juga, yaitu 1/2 dan 2/3. Dari ketiga ayat ini, diperoleh enam macam angka pecahan: 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Secara matematis, keenam macam angka pecahan ini memiliki sifat keunikan tersendiri karena memiliki hubungan satu sama lain. Tetapi pembahasan tentang hal ini tidak dibahas dalam tulisan ini.

Sumber hukum lain untuk hukum waris Islam adalah hadits Nabi SAW. Hal-hal yang diatur dalam hadits antara lain ketentuan bagian untuk para ahli waris seperti nenek, kakek, cucu, paman, bibi, dan orang yang pernah membebaskan budak. Di samping itu, sumber hukum waris diambil dari ijma' dan ijtihad para sahabat Nabi SAW, para imam madzhab, dan mujtahid kenamaan. Sebagian besar ketentuan tentang pembagian warisan yang berasal dari Al-Qur'an, hadits, maupun ijma' dan ijtihad tidak menimbulkan perbedaan pendapat yang berarti. Perbedaan hanya terdapat di sebagian kecil masalah yang memang belum dijelaskan dalam Al-Qur'an maupun hadits pada saat masalah itu pertama sekali ditemukan, misalnya masalah kewarisan antara kakek bersama dengan saudara.

Keistimewaan hukum waris Islam juga dapat ditinjau dari sudut pandang sejarah. Kenyataan sejarah membuktikan bahwa kehadiran agama Islam yang membawa serta di dalamnya aturan tentang hukum waris, memberikan perubahan dalam bentuk perbaikan terhadap hukum waris yang berlaku sebelumnya. Perbaikan ini ternyata membawa kemaslahatan (kebaikan) bagi semua pihak, di antaranya menghilangkan kezhaliman yang timbul dalam hal warisan. Sebagai contoh, pada masa jahiliyah (masa kebodohan pra-Islam pada masyarakat Arab), yang berhak atas harta warisan hanya anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan anak paman. Keempat macam ahli waris ini pun masih harus ditambah syarat: harus sudah dewasa. Jadi, perempuan dan anak-anak tidak berhak mendapat warisan meskipun mereka adalah keluarga dekat dari yang meninggal. Aturan ini kemudian dibatalkan oleh Allah melalui Al-Qur'an. Selanjutnya, Allah menetapkan orang-orang yang dapat menjadi ahli waris seperti telah disebutkan di depan.

Tentang keadilan, hukum waris Islam tidak perlu diragukan lagi. Hukum waris Islam tidak menerapkan diskriminasi dalam pembagian warisan. Warisan adalah untuk seluruh ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan, baik mereka yang mampu maupun yang tidak mampu, yang taat kepada Allah maupun yang gemar bermaksiat kepada-Nya. Warisan diberikan kepada seluruh ahli waris, baik ashhabul-furudh (golongan ahli waris yang memperoleh bagian tertentu) maupun ashabah (golongan ahli waris yang memperoleh bagian sisa setelah ashhabul-furudh). Laki-laki dan perempuan – bahkan banci – masing-masing berhak atas warisan yang besarnya sesuai dengan kedudukan mereka dalam susunan ahli waris. Bayi dalam kandungan pun memiliki hak yang sama dengan orang dewasa dalam hal warisan. Juga, anak sulung dan anak bungsu tidak boleh dibedakan dalam hal kewarisan. Bahkan, jika ditelaah lebih lanjut, ternyata Allah mengangkat derajat wanita -- yang sebelum ayat-ayat waris diturunkan telah dilecehkan -- melalui hukum waris. Isteri, anak perempuan, cucu perempuan, ibu, nenek, dan saudara perempuan, sudah ditetapkan bagian tertentu seperti disebutkan dalam ayat-ayat waris utama di depan. Hal ini merupakan keistimewaan tersendiri hukum waris Islam yang tidak dimiliki hukum waris lain buatan manusia. Sisi lain dari keadilan yang dimiliki hukum waris Islam adalah bahwa setiap ahli waris memiliki bagian secara proporsional menurut hubungan mereka dengan yang meninggal, bukan semata mendapat bagian secara sama-rata di antara seluruh ahli waris tanpa syarat.

Dalam hukum waris Islam, seseorang menjadi ahli waris dari yang meninggal hanya karena adanya hubungan yang jelas: hubungan nasab (hubungan darah, kerabat), hubungan nikah (suami atau isteri), dan hubungan wala' (pembebasan budak). Di luar ini tidak dimungkinkan menjadi ahli waris, misalnya anak angkat, anak tiri, mertua, menantu, ipar, orang yang mengadakan ikatan sumpah-setia. Sebaliknya, seseorang yang memiliki syarat sebagai ahli waris menjadi batal menerima warisan (diharamkan menerima warisan) karena tiga hal: berbeda agama, melakukan pembunuhan, dan berstatus sebagai budak.

Selanjutnya, hukum waris Islam tidak mengistimewakan pemberian warisan kepada satu orang atau satu kelompok ahli waris saja. Sebagai contoh, dalam kasus ada beberapa anak sebagai ahli waris, tidak ada dasarnya dalam hukum waris Islam memberikan warisan hanya kepada anak sulung atau bungsu, atau hanya kepada anak laki-laki, atau hanya kepada anak yang rajin bekerja, atau hanya kepada anak yang mengikuti jejak langkah orang tua. Akan tetapi, anak-anak itu harus diberikan bagian yang sama karena mereka sama statusnya. Ini mengandung makna bahwa hukum waris Islam tidak membeda-bedakan ahli waris yang memiliki kedudukan (status) yang sama dalam daftar ahli waris dan tidak mendasarkan pembagian warisan menurut perasaan manusia, tetapi hukum ini mutlak merupakan ketetapan dari Allah yang tidak dapat diganggu-gugat. Dengan demikian, kemaslahatan yang timbul dari hukum Allah ini sepenuhnya merupakan wujud dari kehendak Allah atas manusia.

Berkaitan dengan wasiat harta, Islam membatasi wasiat dalam hal orang yang dituju dan dalam hal besarnya wasiat. Seseorang yang masih hidup tidak diizinkan untuk memberikan wasiat kepada ahli waris yang mendapat bagian warisan, tetapi dibolehkan untuk berwasiat kepada orang di luar ahli waris yang menerima bagian warisan. Banyaknya harta yang diizinkan untuk diwasiatkan pun dibatasi hanya sampai sepertiga bagian dari seluruh harta, karena wasiat melebihi jumlah sepertiga akan menzhalimi (merugikan) para ahli waris yang berhak atas harta warisan itu sehingga harus atas izin seluruh ahli waris. “Sepertiga itu sudah banyak,” demikian sabda Nabi SAW. Hal ini berbeda dengan hukum waris buatan manusia yang memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pemberi wasiat dalam berwasiat harta.

Keistimewaan lain dari hukum waris Islam adalah adanya asas ijbari, yang mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari yang meninggal atau permintaan dari ahli warisnya. Dengan kata lain, ahli waris terpaksa menerima kenyataan perpindahan harta kepada dirinya sesuai dengan yang telah ditentukan Allah. Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut Hukum Perdata (BW) yang menetapkan bahwa peralihan harta tergantung pada kemauan yang meninggal serta kemauan dan kerelaan ahli waris yang akan menerima, tidak berlaku dengan sendirinya. Dengan ketentuan pemindahan harta secara paksa oleh Allah SWT, maka tidak ada ahli waris yang berhak membagi harta waris menurut kemauan masing-masing. Hal ini tentu jelas akan menghindarkan adanya penguasaan harta oleh seorang atau sekelompok ahli waris atas ahli waris yang lain.

Dalam sejarah kehidupan manusia, sudah banyak sekali perselisihan yang berujung pada pertumpahan darah yang diakibatkan oleh perebutan harta warisan. Karena itu, tidak ada jalan lain bagi orang mukmin -- orang yang beriman kepada Allah dan dengan semua hukum-Nya --– kecuali mengikuti hukum yang telah jelas disiapkan oleh Allah untuk manusia, karena hukum ciptaan Allah bagi manusia itu sudah pasti sesuai dengan fitrah manusia sebagai ciptaan Allah.

Dengan memperhatikan berbagai keistimewaan yang telah dikemukakan di depan, nyatalah bahwa dari sudut pandang mana pun, hukum waris Islam sebagai ketentuan langsung dari Allah SWT tetap yang unggul. Hal ini dapat dipahami karena Allah SWT Yang Maha Pencipta, yang menciptakan manusia, sekaligus Maha Mengetahui atas tabiat dasar nafsu manusia yang memerlukan harta dan cenderung mengumpulkan dan menguasai harta. Jika peralihan harta dari yang meninggal kepada ahli waris ditetapkan oleh manusia melalui hukum buatan mereka sendiri, maka nafsu manusia -- tidak dapat dihindarkan -- akan mempengaruhi dan mewarnai aturan hukum yang mereka buat itu. Di sinilah hikmah penetapan hukum waris langsung oleh Allah SWT. Inilah sebuah bukti kemahabijaksanaan Allah SWT. Wallahu a’lamu bishshawab.


Ingin mengikuti terus? Silakan lihat tulisan-tulisan saya yang lain:
1. Hukum Waris Islam: Mengatur Atau Memaksa?
2. Ilmu Faraidh: Sejarah, Dasar Hukum dan Kepentingannya
3. Ilmu Faraidh: Ahli Waris dan Klasifikasinya
4. Ilmu Faraidh: Metode Asal Masalah dalam Penghitungan Warisan
5. Keistimewaan Hukum Waris Islam: Sebuah Bukti Kemahabijaksanaan Allah
6. Empat Belas Macam Alasan Tidak Dijalankannya Hukum Faraidh Di Indonesia
7. Hukum Waris Islam Mengangkat Derajat Wanita
8. Kuis Pendahuluan Ilmu Faraidh
9. Nasihat Seputar Harta Peninggalan

Wassalam,
[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]