Kamis, 14 Mei 2009

Tanya Jawab (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
مِيْرَاثُ الْخُنْثَى
Warisan Bagi Banci (Khuntsa)

Catatan:
Posting ini adalah sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan Bpk/Sdr Tazky.
Pengertian

Orang banci atau disebut khuntsa, adalah orang yang mempunyai alat kelamin ganda (laki-laki dan perempuan), atau tidak mempunyai kedua-duanya sama sekali.

Di dalam Al-Qur’an, dalam ayat-ayat mawaris, tidak disebutkan bahwa khuntsa dikecualikan dalam pembagian warisan. Bahkan, kebanyakan ahli fiqih berpendapat bahwa khuntsa, bayi dalam kandungan, orang hilang, tawanan perang, dan orang-orang yang mati bersamaan dalam suatu musibah atau kecelakaan, mendapat tempat khusus dalam pembahasan ilmu faraidh. Ini berarti bahwa orang-orang ini memiliki hak yang sama dengan ahli waris lain dalam keadaan normal dan tidak dapat diabaikan begitu saja.


Seorang khuntsa ada yang masih dapat diketahui atau diidentifikasi jenis kelaminnya. Khuntsa seperti ini disebut khuntsa ghairu musykil. Jika seorang khuntsa tidak mungkin lagi untuk diidentifikasi jenis kelaminnya, maka orang itu disebut khuntsa musykil. Untuk dapat mengidentifikasi jenis kelamin seorang khuntsa, dapat ditempuh cara berikut:

1. Meneliti alat kelamin yang dipergunakan untuk buang air kecil.
Hadits Nabi SAW:
“Berilah warisan anak khuntsa ini (sebagai laki-laki atau perempuan) mengingat dari alat kelamin yang mula pertama dipergunakannya untuk buang air kecil.” (HR Ibnu Abbas)

2. Meneliti tanda-tanda kedewasaannya
Seorang laki-laki dapat dikenali jenis kelaminnya melalui tumbuhnya janggut dan kumis, perubahan suara, keluarnya sperma lewat dzakar, kecenderungan mendekati perempuan. Sementara perempuan dapat dikenali jenis kelaminnya melalui perubahan payudara, haid, kecenderungan mendekati laki-laki.

Orang yang normal sudah jelas jenis kelaminnya sehingga statusnya dalam pembagian warisan dapat ditentukan dengan segera. Tetapi berbeda halnya dengan khuntsa karena dalam sebagian besar kasus, jenis kelamin seseorang dapat menentukan bagian warisan yang diterimanya. Dari seluruh orang yang berhak sebagai ahli waris, maka ada tujuh macam orang yang ada kemungkinan berstatus sebagai khuntsa. Ketujuh orang itu adalah
1. anak
2. cucu
3. saudara (kandung, sebapak, atau seibu)
4. anak saudara atau keponakan (kandung atau sebapak)
5. paman (kandung atau sebapak)
6. anak paman atau sepupu (kandung atau sebapak)
7. mu’tiq (orang yang pernah membebaskan si mayit)

Selain ketujuh macam orang itu, tidak mungkin berstatus sebagai khuntsa. Sebagai contoh, suami atau isteri tidak mungkin khuntsa karena salah satu syarat timbulnya perkawinan adalah terjadi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sudah jelas jenis kelaminnya. Begitu juga dengan bapak, ibu, kakek, dan nenek; keempat macam orang ini tidak mungkin khuntsa karena mereka sudah jelas memiliki anak dan/atau cucu.

Bagi seorang khuntsa, warisan yang diperolehnya dalam pembagian warisan dapat memiliki lima kemungkinan, yaitu
1. Jika dianggap laki-laki ataupun perempuan, maka bagiannya sama besar.
2. Jika dianggap laki-laki, maka bagiannya lebih besar daripada jika dianggap perempuan.
3. Jika dianggap perempuan, maka bagiannya lebih besar daripada jika dianggap laki-laki.
4. Hanya dapat menerima warisan jika dianggap laki-laki.
5. Hanya dapat menerima warisan jika dianggap perempuan.

Mungkinkah kelima macam kasus di atas terjadi? Contoh-contohnya? Silakan perhatikan contoh-contoh di bawah ini.



Penghitungan bagian warisan untuk khuntsa

Dalam menghitung bagian warisan untuk khuntsa, ada tiga pendapat yang utama:
1. Menurut Imam Hanafi:

Khuntsa diberikan bagian yang terkecil dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan, sedangkan ahli waris lain diberikan bagian yang terbesar dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan.

2. Menurut Imam Syafii:

Semua ahli waris termasuk khuntsa diberikan bagian yang terkecil dan meyakinkan dari dua perkiraan, dan sisanya ditahan (di-tawaquf-kan) sampai persoalan khuntsa menjadi jelas, atau sampai ada perdamaian untuk saling-menghibahkan (tawahub) di antara para ahli waris.

3. Menurut Imam Maliki:

Semua ahli waris termasuk khuntsa diberikan separuh dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan (nilai tengah dari dua perkiraan).


Sementara itu, Imam Hanbali berpendapat seperti Imam Syafii dalam hal khuntsa masih dapat diharapkan menjadi jelas status jenis kelaminnya. Tetapi dalam hal status khuntsa tidak dapat diharapkan menjadi jelas, pendapat beliau mengikuti pendapat Imam Maliki.

Contoh 1:
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak yang banci.
Penyelesaiannya:
· Jika dianggap laki-laki, berarti ahli waris ada 2 orang anak laki-laki. Keduanya dalam hal ini adalah sebagai ‘ashabah bin-nafsi dan mewarisi seluruh harta dengan masing-masing memperoleh 1/2 bagian.
· Jika dianggap perempuan, berarti ahli warisnya seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Dalam hal ini, mereka adalah sebagai ‘ashabah bil-ghair dengan ketentuan bagian anak laki-laki sama dengan dua kali bagian anak perempuan. Jadi anak laki-laki memperoleh 2/3, sedangkan anak perempuan memperoleh 1/3.
Dari kedua macam anggapan ini, pembagiannya adalah sebagai berikut:
1. Menurut madzhab Hanafi:
Bagian anak laki-laki = 2/3
Bagian anak banci = 1/3
2. Menurut madzhab Syafii:
Bagian anak laki-laki = 1/2
Bagian anak banci = 1/3
Sisa = 1/6 (ditahan sampai jelas statusnya)
3. Menurut madzhab Maliki:
Bagian anak laki-laki = ½ x (1/2 + 2/3) = 7/12
Bagian anak banci = ½ x (1/2 + 1/3) = 5/12


Contoh 2:
Seorang perempuan wafat dengan meninggalkan harta berupa uang Rp 36 juta. Ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, dua saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara sebapak yang khuntsa.
Penyelesaiannya:
· Jika diperkirakan laki-laki:
Suami : 1/2 x Rp 36 juta = Rp 18 juta
Ibu : 1/6 x Rp 36 juta = Rp 6 juta
Dua sdr lk seibu : 1/3 x Rp 36 juta = Rp 12 juta
Khuntsa (Sdr lk sebapak) : Sisa (tetapi sudah tidak ada sisa lagi)
· Jika diperkirakan perempuan (dalam hal ini terjadi ‘aul dari asal masalah 6 menjadi 9):
Suami : 3/9 x Rp 36 juta = Rp 12 juta
Ibu : 1/9 x Rp 36 juta = Rp 4 juta
Dua sdr lk seibu : 2/9 x Rp 36 juta = Rp 8 juta
Khuntsa (Sdr pr sebapak) : 3/9 x Rp 36 juta = Rp 12 juta
Dari kedua macam perkiraan ini, pembagiannya adalah sebagai berikut:
1. Menurut madzhab Hanafi:
a. Suami : Rp 18 juta
b. Ibu : Rp 6 juta
c. Dua sdr lk seibu : Rp 12 juta
d. Khuntsa (Sdr sebapak) : tidak mendapat apa-apa
2. Menurut madzhab Syafii:
a. Suami : Rp 12 juta
b. Ibu : Rp 4 juta
c. Dua sdr lk seibu : Rp 12 juta
d. Khuntsa (Sdr sebapak) : tidak mendapat apa-apa
e. Sisa : Rp 8 juta (ditahan sampai status khuntsa jelas)
3. Menurut madzhab Maliki:
a. Suami : ½ x (18 + 12) = Rp 15 juta
b. Ibu : ½ x (6 + 4) = Rp 5 juta
c. Dua sdr lk seibu : ½ x (12 + 8) = Rp 10 juta
d. Khuntsa (Sdr sebapak) : ½ x (0 + 12) = Rp 6 juta

Contoh 3:
Seseorang wafat dengan meninggalkan ahli waris seorang ibu, seorang saudara perempuan kandung, 2 orang saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara seibu yang khuntsa.
Penyelesaiannya:
Dalam kasus ini, ahli waris yang khuntsa adalah saudara seibu. Karena bagian warisan saudara seibu, menurut Al-Qur’an, baik laki-laki maupun perempuan adalah sama saja, yaitu 1/6 jika seorang diri, atau 1/3 dibagi sama rata jika lebih dari seorang, maka kasus khuntsa di sini tidak mempengaruhi bagian warisan untuk semua ahli waris. Jadi pembagiannya adalah sebagai berikut:
· Bagian ibu = 1/6
· Bagian saudara perempuan kandung = 1/2
· Bagian 2 saudara pr seibu + 1 saudara seibu khuntsa = 1/3
(1/3 bagian ini dibagi sama rata untuk 3 orang saudara seibu, termasuk yang khuntsa, yaitu masing-masing mendapat 1/9 bagian).

Demikianlah cara pembagian warisan bagi khuntsa menurut tiga madzhab. Semoga ada manfaatnya.

والله اعلــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــم بالصواب

[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]

Rabu, 06 Mei 2009

Tanya Jawab (1)

بسم الله الرحمن الرحيم

Posting kali ini adalah sebagai jawaban atas pertanyaan Bpk/Sdr. Tedi.
Berikut ini petikan pertanyaannya:

"Assalamu'alaikum pak ustadz. Saya minta tolong ada masalah warisan. Mertua perempuan meninggal, ada harta yg diwariskan dr ibunya. almh punya anak 5 org + 1 suami + adik kandung perempuan 1. bgmn cara membaginya?"

Inilah jawabannya:

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Wa'alaikum salam wr. wb.


Bapak/Saudara Tedi, untuk masalah warisan yang Bapak/Saudara tanyakan, karena anak yang 5 orang ini tidak Saudara jelaskan jenis kelaminnya, maka ada tiga kemungkinan kasus dan jawabannya.
  • Kemungkinan pertama (Semua anak adalah laki-laki). Untuk suami dari almarhumah, bagiannya adalah 1/4 karena almarhumah memiliki anak (baik laki-laki maupun perempuan). Dalilnya Surat An-Nisa': 12. Untuk 5 orang anak (semuanya laki-laki), bagian mereka adalah sisanya (dalam hal ini, mereka disebut juga 'ashabah bin-nafsi) yaitu 3/4 bagian, dan ini dibagi rata untuk 5 orang sehingga masing-masing anak memperoleh 3/20 bagian. Dalilnya Surat An-Nisa': 11. Sementara itu, adik kandung perempuan dari almarhumah (di sini ia sebagai saudara perempuan kandung dari almarhumah) tidak mendapat bagian karena terhalang (mahjub) oleh adanya anak laki-laki. Dalilnya Surat An-Nisa': 176.
  • Kemungkinan kedua (Semua anak adalah perempuan). Untuk suami dari almarhumah, bagiannya adalah 1/4 karena almarhumah memiliki anak (baik laki-laki maupun perempuan). Dalilnya Surat An-Nisa': 12. Untuk 5 orang anak perempuan, mereka mendapat 2/3 bagian dan dibagi rata untuk 5 orang sehingga masing-masing anak perempuan memperoleh 2/15 bagian. Dalilnya Surat An-Nisa': 11. Sisanya, yaitu sebesar 1/12 bagian, diberikan kepada adik kandung perempuan dari almarhumah (dalam hal ini, ia adalah sebagai 'ashabah ma'al-ghair, yaitu penerima sisa warisan karena adanya anak perempuan atau cucu perempuan dari si mayit). Dalilnya Surat An-Nisa': 176.
  • Kemungkinan ketiga (Anak yang 5 orang terdiri dari gabungan laki-laki dan perempuan). Untuk suami dari almarhumah, bagiannya masih sama, yaitu 1/4 karena almarhumah memiliki anak (baik laki-laki maupun perempuan). Dalilnya Surat An-Nisa': 12. Untuk anak laki-laki dan perempuan, dalam kasus ini mereka bersama-sama menerima sisa harta (yaitu sebesar 3/4 bagian) setelah diberikan kepada suami, dengan ketentuan bahwa bagian satu orang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dalilnya Surat An-Nisa': 11. Anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal ini adalah sebagai 'ashabah bil-ghair. Misalkan anak yang 5 orang ini terdiri dari 2 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Maka total saham mereka adalah (2 x 2) + 3 = 7. Jadi, 2 anak laki-laki mendapat 4/7 bagian dari sisa harta, yaitu 4/7 x 3/4 = 3/7 bagian dan 3/7 ini dibagi rata untuk 2 orang sehingga masing-masing memperoleh 3/14 bagian. Untuk 3 anak perempuan, mereka mendapat 3/7 bagian dari sisa harta, yaitu 3/7 x 3/4 = 9/28 bagian, dan 9/28 ini dibagi rata untuk 3 orang sehingga masing-masing memperoleh 3/28 bagian. Sementara itu, adik perempuan kandung tidak mendapat bagian karena terhalang (mahjub) oleh anak laki-laki. Dalilnya Surat An-Nisa': 176.
Demikianlah jawaban yang dapat saya berikan. Untuk membandingkan, silakan lihat kembali 2 posting saya sebelumnya yang berjudul Ilmu Faraidh: Ahli Waris dan Klasifikasinya serta Ilmu Faraidh: Metode Asal Masalah dalam Penghitungan Harta Warisan.

Wallahu a'lamu bishshawab
.

[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]

Kamis, 02 April 2009

Ini dia... Kunci Jawaban Kuis Pendahuluan Ilmu Faraidh

بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, sudah sebulan saya tampilkan posting berupa Kuis Pendahuluan Ilmu Faraidh yang berisi 20 soal pilihan berganda (A,B,C,D). Sesuai dengan janji saya pada posting itu, maka kali ini saya berikan kunci jawaban atas soal-soal kuis tadi, berikut dengan sedikit penjelasan.

1. Penggunaan harta peninggalan mayit mengikuti urutan berikut:
A. Pengurusan Jenazah -> Penunaian Wasiat -> Pembayaran -> Utang -> Pembagian Warisan
B. Pembayaran Utang -> Pengurusan Jenazah -> Penunaian Wasiat -> Pembagian Warisan
C. Penunaian Wasiat -> Pengurusan Jenazah -> Pembayaran Utang -> Pembagian Warisan
D. Pengurusan Jenazah -> Pembayaran Utang -> Penunaian Wasiat -> Pembagian Warisan
Jawaban: D. Pengurusan Jenazah -> Pembayaran Utang -> Penunaian Wasiat -> Pembagian Warisan (lihat posting saya berjudul Tirkah: Ada Apa Dengan Harta Peninggalan?)

2. Seseorang dapat menjadi ahli waris dari orang yang meninggal karena tiga sebab, kecuali
A. hubungan perkawinan (nikah)
B. hubungan nasab (darah, kerabat)
C. hubungan suku
D. hubungan wala' (pembebasan budak)
Jawaban: C. hubungan suku

3. Orang-orang berikut ini berhak menerima warisan, kecuali
A. banci
B. pembunuh si mayit
C. anak dalam kandungan
D. tawanan perang
Jawaban: B. pembunuh si mayit
Pembunuh
si mayit termasuk orang yang dikecualikan (diharamkan) mendapat warisan selain orang yang berbeda agama dan budak.

4. Orang-orang berikut ini mempunyai bagian yang tertentu (jelas) dari harta warisan, kecuali
A. saudara pr dari ibu (bibi)
B. saudara pr seibu
C. anak pr
D. saudara pr kandung
Jawaban: A. saudara pr dari ibu (bibi)
Bibi tidak termasuk orang yang memiliki bagian yang tertentu dari harta warisan (ashhabul-furudh), tetapi ia termasuk golongan dzawil-arham yang akan mendapat warisan jika tidak ada lagi ashhabul-furudh dan ashabah.

5. Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan terjadi dalam kasus berikut ini, kecuali
A. anak lk bersama anak pr
B. sdr lk kandung bersama sdr pr kandung
C. sdr lk sebapak bersama sdr pr sebapak
D. sdr lk seibu bersama sdr pr seibu
Jawaban: D. sdr lk seibu bersama sdr pr seibu (dalil: Q.S. An-Nisa`: 12)

6. Saudara laki-laki kandung terhalang menerima warisan jika ada orang berikut ini, kecuali
A. anak laki-laki
B. bapak
C. cucu laki-laki
D. anak perempuan
Jawaban: D. anak perempuan
Anak perempuan tidak dapat menghijab (menghalangi) saudara laki-laki kandung dalam menerima warisan.

7. Orang berikut ini berhak mendapat warisan karena hubungan darah (nasab), kecuali
A. anak laki-laki
B. suami
C. sdr pr seibu
D. nenek
Jawaban: B. suami
Suami berhak mendapat warisan bukan karena hubungan darah (nasab), tetapi karena hubungan nikah (perkawinan).

8. Bagian yang diterima isteri jika si mayit memiliki anak adalah
A. 1/2
B. 1/3
C. 1/6
D. 1/8
Jawaban: D. 1/8
(Dalil: Q.S. An-Nisa`: 11)

9. Orang berikut ini terhalang mendapatkan warisan, kecuali
A. berbeda agama
B. belum dewasa
C. membunuh si mayit
D. budak
Jawaban: B. belum dewasa
Anak yang belum dewasa, meskipun masih dalam kandungan (dengan syarat-syarat tertentu menurut pendapat ulama-ulama) tetap mempunyai hak waris, bahkan tidak ada ahli waris lain yang menjadi penghalangnya.

10. Bagian-bagian untuk para ahli waris yang ditetapkan dalam Al-Qur'an adalah
A. 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, 1/6
B. 1/2, 1/3, 1/4, 1/5, 1/6, 1/8
C. 1/2, 1/4, 1/5
D. 1/4, 1/2, 3/4
Jawaban: A. 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, 1/6
Dalilnya adalah Q.S. An-Nisa`: 11, 12, dan 176

11. Pengertian untuk istilah ashhabul-furudh yang benar adalah
A. ahli waris yang memiliki bagian yang sudah tertentu
B. ahli waris yang menerima sisa warisan
C. ahli waris yang tidak termasuk A dan B
D. ahli waris yang terhalang menerima warisan akibat adanya ahli waris yang lain
Jawaban: A. ahli waris yang memiliki bagian yang sudah tertentu

12. Orang yang pernah membebaskan si mayit ketika si mayit itu menjadi budak disebut
A. radd
B. 'aul
C. fardh
D. mu'tiq
Jawaban: D. mu'tiq

13. Orang yang tidak pernah terhalang mendapat warisan adalah
A. anak lk, anak pr, bapak, ibu, suami, isteri
B. anak lk, cucu lk, bapak, kakek, saudara lk, paman
C. anak pr, cucu pr, ibu, nenek, saudara pr
D. anak lk, anak pr, cucu lk, cucu pr
Jawaban: A. anak lk, anak pr, bapak, ibu, suami, isteri

14. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki tidak mendapat warisan karena hal-hal berikut, kecuali
A. ada anak lk
B. ada dua atau lebih anak pr
C. ada bapak
D. ada anak lk dan anak pr
Jawaban: C. ada bapak
Bapak tidak menjadi penghalang bagi cucu perempuan keturunan anak laki-laki dalam menerima warisan.

15. Ahli waris yang tidak bisa mendapat warisan karena adanya anak perempuan adalah
A. isteri
B. ibu
C. sdr pr kandung
D. saudara seibu
Jawaban: D. saudara seibu

16. Orang-orang berikut ini dapat menghalangi paman kandung dari menerima warisan, kecuali
A. anak lk, cucu lk, bapak, kakek
B. saudara lk kandung, saudara lk sebapak
C. keponakan lk kandung, keponakan lk sebapak
D. anak pr, cucu pr, ibu, nenek
Jawaban: D. anak pr, cucu pr, ibu, nenek

17. Jika ahli waris terdiri dari isteri, ibu, saudara pr kandung, dan saudara pr seibu, apakah saudara pr seibu mendapat bagian?
A. Ya
B. Tidak
C. Ya, jika lebih dari seorang
D. Ya, jika bersama saudara lk seibu
Jawaban: A. Ya.
Isteri, ibu, dan saudara pr kandung tidak dapat menghalangi saudara pr seibu dalam menerima warisan karena saudara pr seibu termasuk ashhabul-furudh (ahli waris dengan bagian yang sudah tertentu).

18. Dalam kondisi tertentu, orang-orang berikut ini dapat menjadi 'ashabah (penerima sisa warisan), kecuali
A. kakek
B. paman kandung
C. saudara pr seibu
D. saudara pr kandung
Jawaban: C. saudara pr seibu
Saudara pr seibu tidak termasuk ashabah, tetapi ashhabul-furudh.

19. Jika ahli waris terdiri dari bapak, ibu, anak pr, dan saudara lk kandung, maka bagian masing-masing adalah
A. 1/6, 1/6, 1/2, Sisa
B. Sisa, 1/6, 1/2, 1/6
C. 1/6, Sisa, 1/2, 1/6
D. 1/6, 1/6, 1/2, 0
Jawaban: A. 1/6, 1/6, 1/2, Sisa

20. Pernyataan berikut ini benar berkaitan dengan wasiat, kecuali
A. Wasiat diperbolehkan kepada semua ahli waris tanpa syarat
B. Wasiat dibatasi sampai 1/3 bagian harta
C. Wasiat harus dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal dunia.
D. Wasiat kepada orang nonmuslim tidak diperbolehkan.
Jawaban: A. Wasiat diperbolehkan kepada semua ahli waris tanpa syarat
Kebanyakan ahli faraidh menyatakan bahwa wasiat tidak diperbolehkan untuk ahli waris yang menerima bagian.


Ingin mengikuti terus? Silakan lihat tulisan-tulisan saya sebelumnya:
1. Hukum Waris Islam: Mengatur Atau Memaksa?
2. Ilmu Faraidh: Sejarah, Dasar Hukum dan Kepentingannya
3. Ilmu Faraidh: Ahli Waris dan Klasifikasinya
4. Ilmu Faraidh: Metode Asal Masalah dalam Penghitungan Warisan
5. Keistimewaan Hukum Waris Islam: Sebuah Bukti Kemahabijaksanaan Allah
6. Empat Belas Macam Alasan Tidak Dijalankannya Hukum Faraidh Di Indonesia
7. Hukum Waris Islam Mengangkat Derajat Wanita
8. Kuis Pendahuluan Ilmu Faraidh
9. Nasihat Seputar Harta Peninggalan
10. Tirkah: Ada Apa Dengan Harta Peninggalan?
[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]

Sabtu, 28 Maret 2009

Tirkah: Ada Apa Dengan Harta Peninggalan?

Pada tulisan sebelumnya telah disebutkan bahwa waris-mewarisi terjadi jika terpenuhi tiga rukun, yaitu adanya muwarrits (orang yang meninggal dunia), adanya warits (orang yang mewarisi harta peninggalan muwarrits, dan selanjutnya disebut ahli waris), dan adaya mauruts (harta peninggalan dari muwarrits). Pada tulisan kali ini akan disorot rukun ketiga, yaitu tentang mauruts. Istilah lain yang lebih populer untuk mauruts adalah tirkah atau tarikah.

Secara umum, harta peninggalan (tirkah) berarti semua yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syariat untuk diwarisi oleh pada ahli warisnya. Dengan pengertian ini, maka peninggalan mencakup hal-hal berikut ini:
1. Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya benda tak-bergerak (rumah, tanah, kebun), benda bergerak, (kendaraan), piutang muwarrits yang menjadi tanggungan orang lain, diyah wajibah (denda wajib) yang dibayarkan kepadanya oleh si pembunuh yang melakukan pembunuhan karena tidak sengaja, uang pengganti qishash karena tindakan pembunuhan yang diampuni atau karena yang membunuh adalah ayahnya sendiri, dan sebagainya.
2. Hak-hak kebendaan, misalnya hak monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan lalu-lintas, sumber air minum, irigasi, dan lain-lain.
3. Hak-hak yang bukan kebendaan, misalnya hak khiyar, hak syuf'ah, hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan, dan sebagainya.
4. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, misalnya benda-benda yang sedang digadaikan oleh si muwarrits, barang-barang yang dibeli oleh si muwarrits ketika ia masih hidup yang harganya sudah dibayar tetapi barangny belum diterima, dan sebagainya.

Secara khusus, pengertian tirkah berbeda-beda menurut para ahli fiqih. Di kalangan ahli fiqih bermadzhab Hanafi, terdapat tiga pendapat:
a) Pendapat pertama menyatakan bahwa tirkah adalah harta benda yang ditinggalkan oleh si muwarrits yang tidak mempunyai hubungan hak dengan orang lain. Jadi tirkah hanya mencakup pengertian nomor 1 dan 2 di atas. Tirkah ini nantinya harus digunakan untuk memenuhi biaya pengurusan jenazah si muwarrits sejak meninggalnya sampai dikuburkan, pelunasan utang, penunaian wasiat, dan hak ahli waris.
b) Menurut pendapat kedua, tirkah adalah sisa harta setelah diambil biaya pengurusan jenazah dan pelunasan utang. Jadi tirkah di sini adalah harta peninggalan yang harus dibayarkan untuk melaksanakan wasiat dan yang harus diberikan kepada para ahli waris.
c) Pendapat yang ketiga mengartikan tirkah secara mutlak, yaitu setiap harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit. Dengan demikian, tirkah mencakup benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, biaya pengurusan jenazah, pelunasan utang, pelaksanaan wasiat, dan pembagian warisan kepada para ahli waris

Ibnu Hazm sependapat dengan madzhab Hanafi yang menyatakan bahwa harta peninggalan yang dapat diwariskan adalah yang berupa harta benda melulu, sedangkan yang berupa hak-hak tidak dapat diwariskan, kecuali jika hak-hak itu mengikuti kepada bendanya, misalnya hak mendirikan bangunan atau menanam tumbuh-tumbuhan di atas tanah.

Menurut madzhab Maliki, Syafii, dan Hanbali, tirkah mencakup semua yang ditinggalkan si mayit, baik berupa harta benda maupun hak-hak. Dan hak-hak ini bisa hak-hak kebendaan maupun bukan kebendaan. Hanya Imam Malik yang memasukkan hak-hak yang tidak dapat dibagi, misalnya hak menjadi wali nikah, ke dalam keumuman arti hak-hak.

Demikianlah pendapat beberapa ulama tentang pengertian tirkah (hata peninggalan). Dari harta peninggalan si mayit, menurut pendapat jumhur (kebanyakan) ulama, terdapat hak-hak yang harus ditunaikan sebelum harta itu dibagi-bagi kepada para ahli waris. Hak-hak atas harta peninggalan ini harus ditunaikan dengan mengikuti urutan sebagai berikut:
1. pengurusan jenazah si mayit sejak meninggalnya sampai dikuburkan (tajhiz),
2. pelunasan utang si mayit,
3. penunaian (pelaksanaan) wasiat si mayit, dan
4. hak ahli waris.

Ini berarti bahwa pembagian harta warisan kepada para ahli waris dilaksanakan setelah diselesaikannya ketiga maacam hak, yaitu pengurusan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat.

Semua biaya untuk pengurusan jenazah didahulukan daripada pelunasan utang, pelaksanaan wasiat, dan pemberian kepada ahli waris karena pengurusan jenazah sejak meninggal sampai dikuburkan merupakan kebutuhan vital baginya sebagai ganti nafaqah dharuriyah ketika ia masih hidup. Hal ini dapat dibuktikan dari hadits berikut ini:

"Dari Ibnu Abbas RA diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang tengah menjalankan ihram dibanting oleh untanya (hingga meninggal). Kami ketika itu bersama-sama dengan Rasulullah SAW. Lalu Nabi SAW memerintahkan, ‘Mandikan dengan air dan daun bidara, jangan beri minyak wangi, dan jangan tutup kepalanya karena sesungguhnya dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan mengucapkan talbiyah.’” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan An-Nasa’i)

Dalam hadits ini, Rasulullah SAW tidak meneliti dan menanyakan apakah si mayit memiliki utang atau tidak, tetapi beliau langsung memerintahkan agar mayit tersebut dimandikan dan dikafani. Beliau tidak memerinci setiap peristiwa jika peristiwa itu menduduki keumuman apa yang diucapkan. Dengan demikian jelas bahwa biaya pengurusan jenazah si mayit harus diahulukan daripada pelunasan utang si mayit.

Adapun pelunasan utang didahulukan daripada pelaksanaan wasiat berdasarkan hadits berikut:

"Dari Ali bin Abi Thalib RA diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Utang (dilunasi) sebelum (melaksanakan) wasiat, dan tidak ada wasiat bagi ahli waris.’” (HR Ad-Daru Quthni)

Selanjutnya, wasiat didahulukan daripada pembagian harta kepada para ahli waris karena seandainya pembagian warisan yang didahulukan (dan tidak dibatasi jumlahnya), maka besar kemungkinan tidak ada lagi sisa harta yang harus diberikan kepada para ahli waris.



Ingin mengikuti terus? Silakan lihat tulisan-tulisan saya sebelumnya:
1. Hukum Waris Islam: Mengatur Atau Memaksa?
2. Ilmu Faraidh: Sejarah, Dasar Hukum dan Kepentingannya
3. Ilmu Faraidh: Ahli Waris dan Klasifikasinya
4. Ilmu Faraidh: Metode Asal Masalah dalam Penghitungan Warisan
5. Keistimewaan Hukum Waris Islam: Sebuah Bukti Kemahabijaksanaan Allah
6. Empat Belas Macam Alasan Tidak Dijalankannya Hukum Faraidh Di Indonesia
7. Hukum Waris Islam Mengangkat Derajat Wanita
8. Kuis Pendahuluan Ilmu Faraidh
9. Nasihat Seputar Harta Peninggalan [Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]

Selasa, 03 Maret 2009

Nasihat Seputar Harta Peninggalan

Oleh: Achmad Yani, S.T., M.Kom.
achmad.yani.polmed@gmail.com
achmad_yani_polmed@yahoo.co.id

بسم الله الرحمن الرحيم

Semua harta, pada dasarnya adalah milik Allah. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:

"Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi. Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Q.S. Luqman: 26)

Allah memberikan harta dan hak atas harta itu kepada manusia sebagai titipan dan ujian. Jika manusia menggunakan harta itu di jalan Allah, yaitu sesuai dengan aturan yang telah digariskan Allah, maka Allah akan memberikan balasan kebaikan yang berlipat ganda.

عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله أي الصدقة أعظم أجرا؟ قال أن تصدق وأنت صحيح شحيح تخشى الفقر وتأمل الغنى ولا تمهل حتى إذا بلغت الحلقوم قلت لفلان كذا ولفلان كذا وقد كان لفلان

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata, "Seseorang bertanya kepada Nabi SAW, 'Ya Rasulullah, sedekah apakah yang terbesar pahalanya?' Beliau bersabda, 'Sedekah yang kamu berikan ketika kondisimu sehat, sedang takut miskin, dan sedang berangan-angan menjadi kaya. Dan jangan kamu memperlambatnya, sehingga maut sudah di tenggorokan, lalu kamu berkata, 'Untuk si Fulan sekian, untuk si Fulan sekian…', padahal hartanya itu telah menjadi miliki si Fulan [yaitu harta tersebut sudah termasuk hak ahli waris]." (H.R. Bukhari – Muslim)

Dalam hadits lain disebutkan sabda Nabi SAW bahwa permisalan orang yang bersedekah ketika akan meninggal dunia adalah seperti seseorang yang sudah cukup makan, lalu sisanya ia berikan kepada orang lain.

Nabi SAW menyatakan dengan berbagai permisalan bahwa waktu bersedekah yang benar adalah ketika dalam keadaan sehat, sebab pada saat itulah waktu yang benar-benar bermujahadah (berjuang) melawan hawa nafsu. Tetapi semua ini bukan bermaksud bahwa orang yang bersedekah ketika akan meninggal dunia itu sia-sia; pahala sedekahnya tetap ia dapatkan, dan akan menjadi simpanannya di akhirat walaupun ia tidak mendapatkan pahala sebanyak yang ia dapatkan ketika bersedekah pada waktu senang dan ada keperluan. Allah berfirman, "Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa."(Q.S. Al-Baqarah: 180)

Perintah Allah ini turun pada zaman permulaan Islam. Pada zaman itu, wasiat untuk kedua orang tua adalah fardhu. Dan ketika hukum waris diturunkan, maka hak kedua orang tua dan sanak saudara telah ditentukan sendiri, sehingga kewajiban wasiat atas mereka telah dihapuskan. Namun sanak saudara yang belum tercantum dalam syariat, mereka masih memiliki hak wasiat, hanya saja sebelumnya adalah fardhu, tetapi sekarang bukan fardhu lagi. Ibnu Abbas RA berkata bahwa dengan ayat waris, maka hukum wasiat untuk sanak saudara yang menjadi ahli waris telah dimansukh (dihapuskan), tetapi sanak saudara yang belum menjadi ahli waris, hukum wasiat bagi mereka belum dimansukh. Qatadah rah.a. berkata bahwa wasiat adalah bagi mereka yang bukan ahli waris, baik mereka sanak saudara ataupun bukan.

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman, "Wahai anak Adam, kamu telah kikir dalam hidupmu, ketika kamu mati kamu mubadzir. Janganlah menyatukan dua keburukan: (a) bakhil dalam hidup, dan (b) bakhil dalam kematian. Lihatlah siapakah di antara sanak saudaramu yang tidak menjadi ahli warismu, dan berwasiatlah untuk mereka."

Sebuah hadits menyebutkan bahwa setelah manusia mati, ia akan mendapat pahala dari tujuh perkara: (1) ilmu yang telah diajarkan untuk orang lain, (2) sungai yang telah dialirkan, (3) sumur yang telah digali, (4) pohon yang telah ditanam, (5) masjid yang telah dibangun, (6) Al-Qur'an yang telah diwariskan, dan (7) anak sholeh yang ditinggal dan ia selalu berdoa untuk keampunannya."

Diriwayatkan dalam sebuah hadits, ketika Nabi SAW bertanya kepada para sahabat, "Siapakah di antara kamu yang lebih menyukai harta waisnya daripada harta miliknya sendiri?" Maka para sahabat menjawab, "Tidak seorang pun di antara kami yang lebih menyukai harta warisnya daripada harta miliknya sendiri." Maka Nabi SAW bersabda, "Harta seseorang itu hanyalah apa yang telah dia kirim terlebih dahulu (ke akhirat), dan apa yang ia tinggalkan itu bukanlah hartanya, tetapi harta milik ahli waris."

Hadits ini memiliki beberapa maksud. Di antaranya adalah untuk menggairahkan bersedekah ketika sehat dan ketika ada keperluan, juga untuk mencegah seseorang dari mewasiatkan seluruh atau sebagian besar hartanya saat datang sakaratul maut. Di samping itu, hadits ini juga mengandung pengertian bahwa mewasiatkan harta yang akhirnya menyengsarakan ahli waris adalah wajib mendapat celaan dan ancaman.

Demikianlah sebagian di antara nasihat tentang harta (peninggalan). Dari beberapa ayat dan hadits di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa harta sebagai titipan dari Allah, hendaklah kita gunakan sesuai dengan keinginan Allah, baik harta yang telah kita habiskan semasa hidup, maupun harta yang kelak akan kita wariskan kepada para ahli waris. Di samping itu, penting juga untuk bersedekah dan berwasiat dengan cara yang benar sebelum ajal menjemput kita. Semoga bermanfaat untuk kita semua. Wallahu a'lamu bishshawab.

Ingin mengikuti terus? Silakan lihat tulisan-tulisan saya sebelumnya:
1. Hukum Waris Islam: Mengatur Atau Memaksa?
2. Ilmu Faraidh: Sejarah, Dasar Hukum dan Kepentingannya
3. Ilmu Faraidh: Ahli Waris dan Klasifikasinya
4. Ilmu Faraidh: Metode Asal Masalah dalam Penghitungan Warisan
5. Keistimewaan Hukum Waris Islam: Sebuah Bukti Kemahabijaksanaan Allah
6. Empat Belas Macam Alasan Tidak Dijalankannya Hukum Faraidh Di Indonesia
7. Hukum Waris Islam Mengangkat Derajat Wanita
8. Kuis Pendahuluan Ilmu Faraidh
9. Nasihat Seputar Harta Peninggalan
[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]

Senin, 02 Maret 2009

Kuis Pendahuluan Ilmu Faraidh

Berikut ini adalah soal-soal kuis tentang ilmu faraidh sebanyak 20 soal dengan pilihan berganda. Setiap soal diberikan empat pilihan jawaban (A, B, C, D). Silakan pilih satu jawaban yang tepat. Selamat mengikuti, semoga dapat menambah wawasan kita dalam ilmu faraidh dan menyegarkan pemahaman dalam ilmu ini. Kunci jawaban kuis ini, insyaallah, akan diberikan pada awal bulan April 2009.

Click here to view the quiz scoreboard!Click here to Take this Quiz in a bigger window
Click here to Make A Quiz of Your Own!


Ingin mengikuti terus? Silakan lihat tulisan-tulisan saya yang lain:
1. Hukum Waris Islam: Mengatur Atau Memaksa?
2. Ilmu Faraidh: Sejarah, Dasar Hukum dan Kepentingannya
3. Ilmu Faraidh: Ahli Waris dan Klasifikasinya
4. Ilmu Faraidh: Metode Asal Masalah dalam Penghitungan Warisan
5. Keistimewaan Hukum Waris Islam: Sebuah Bukti Kemahabijaksanaan Allah
6. Empat Belas Macam Alasan Tidak Dijalankannya Hukum Faraidh Di Indonesia
7. Hukum Waris Islam Mengangkat Derajat Wanita
8. Kuis Pendahuluan Ilmu Faraidh
9. Nasihat Seputar Harta Peninggalan [Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]

Rabu, 25 Februari 2009

HUKUM WARIS ISLAM MENGANGKAT DERAJAT WANITA

Oleh Achmad Yani, S.T., M.Kom.

achmad.yani.polmed@gmail.com
http://www.achmad-yani.co.cc/

"Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu."
(Q.S. An-Nahl: 58-59).


SEJARAH membuktikan bahwa perlakuan terhadap wanita – sebelum Islam datang – sangat tidak manusiawi. Umar RA pernah mengatakan, "Demi Allah, pada zaman jahilliyah di mata kami wanita itu bukan apa-apa, sampai akhirnya Allah menurunkan apa yang harus Dia turunkan tentang mereka dan membagikan apa yang harus Dia bagikan untuk mereka."

Pada zaman jahiliyah dahulu, wanita tidak memiliki hak waris karena wanita tidak mampu mengangkat senjata dan membawa tameng. Seorang wanita pada masa itu tidak memiliki hak apa pun terhadap suaminya. Sebaliknya, seorang laki-laki berhak menceraikan isterinya lalu merujuknya kembali, dan menceraikannya lagi, dan merujuknya lagi. Begitu seterusnya tanpa ada batasan, dan itu dapat dilakukan kapan saja laki-laki itu mau. Seorang laki-laki pada waktu itu juga berhak melakukan poligami dalam jumlah berapa saja yang diinginkannya. Kemudian, jika ada seorang laki-laki wafat dengan meninggalkan seorang isteri dan beberapa anak laki-laki yang bukan anak isterinya tadi, maka anak yang paling tua berhak mendapatkan isteri mendiang ayahnya itu (ibu tirinya). Dia menganggap ibu tirinya itu sebagai harta warisan mendiang ayahnya sebagaimana harta-hartanya yang lain. Apabila dia berminat mengambil ibu tirinya itu sebagai isterinya sendiri, maka dia cukup hanya melemparkan sepotong pakaian kepadanya. Maka resmilah mereka berdua sebagai suami isteri. Namun, apabila ternyata dia tidak berminat, dia bisa mengawinkannya kepada siapa saja yang dikehendakinya.

Keadaan ini, setelah Islam datang, dibatalkan oleh Allah dengan firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (An-Nisa: 19)

Bahkan di kala itu ada makanan yang hanya khusus bagi laki-laki dan haram bagi wanita. Perbuatan buruk mereka dapat dibuktikan dalam ayat berikut, "Dan mereka mengatakan, 'Apa yang ada dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami', dan jika yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap ketetapan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui" (Al-An'am: 139).

Dan masih banyak lagi kebiasaan buruk yang berlaku di tengah-tengah masyarakat jahiliyah dahulu kalau mau disebutkan satu per satu. Tulisan ini bukan untuk membahas semuanya itu, tetapi meninjau bagaimana Allah, melalui hukum waris yang ditetapkan-Nya, mengangkat derajat wanita.

Wanita dan pria mempunyai tabiat kemanusiaan yang sama. Dalam hukum Islam, wanita diletakkan dalam kerangka yang sama dengan pria. Apabila pria dapat melakukan muamalah, seperti berjual beli, memberikan kesaksian dan menuntut di pengadilan, demikian pula wanita. Namun bukan berarti Islam memberikan kepada wanita kedudukan yang sama persis dengan kedudukan pria. Islam secara jujur dan bertanggung jawab tetap meletakkan dan mengakui adanya perbedaan-perbedaan yang bijaksana antara pria dan wanita. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain dalam hak warisan, talak dan kesaksian di pengadilan.

Dalam masalah warisan, Allah tidak melakukan diskriminasi kepada wanita dalam menerima bagian. "Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan." (Q.S. An-Nisa`: 7). Ayat ini turun berkenaan dengan Aus bin Tsabit Al-Anshari RA yang wafat meninggalkan seorang isteri bernama Ummu Kajah dan tiga anak perempuan. Selain itu, ada dua sepupu laki-laki si mayit dari pihak ayah, masing-masing Suwaid dan 'Arfajah. Keduanya mengambil harta peninggalan Aus dan tidak memberikan sedikit pun kepada isteri Aus dan anak-anaknya. Ummu Kajah mengadukan hal ini kepada Rasulullah SAW. Lalu beliau memanggil kedua laki-laki tadi. Keduanya berkata, "Wahai Rasulullah, anak Ummu Kajah tidak bisa mengendarai kuda, tidak mampu menanggung beban yang berat, dan tidak kuat memerangi musuh."
Rasulullah SAW menjawab, "Pergilah dulu sehingga saya mendapatkan keputusan dari Allah mengenai mereka (isteri dan anak-anak Aus)." Kemudian Allah menurunkan ayat di atas (An-Nisa: 7) sebagai jawaban terhadap kedua laki-laki itu, dan menyalahkan pendapat dan sikap mereka. Seharusnya ahli waris yang masih kecil lebih berhak terhadap warisan daripada orang dewasa karena mereka belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan mencari penghidupan. Mereka yang merampas hak anak-anak kecil (yatim) telah membalikkan hukum, tidak mempedulikan hikmah dan tersesat karena mengikuti hawa nafsu.

Setelah menerima ayat tersebut, Nabi SAW mengirim surat kepada Suwaid dan 'Arfajah yang isinya memerintahkan agar mereka tidak membagi dulu harta warisan Aus karena Allah telah menentukan hak-hak anak-anak perempuan Aus untuk memperoleh bagian warisan. Namun, belum dijelaskan berapa besarnya hingga Allah menurunkan ayat-ayat yang merinci bagian masing-masing ahli waris dalam Surat An-Nisa`: 11, 12, dan 176. Kemudian Rasulullah SAW berkata kepada kedua laki-laki itu di dalam surat beliau, "Hendaknya kalian berdua memberikan kepada Ummu Kajah 1/8 dari harta warisan suaminya, untuk anak perempuannya sebesar 2/3 bagian, dan untuk kalian sisa harta itu."

Dalam riwayat Jabir RA dijelaskan bahwa sebab turunnya ayat di atas adalah karena isteri Sa'ad bin Rabi' RA mengadukan suatu perkara kepada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah, ini adalah kedua anak perempuan Sa'ad bin Rabi' RA. Sa'ad ikut dengan Engkau dalam perang Uhud dan syahid di sana. Paman mereka berdua tela mengambil harta peninggalan Sa'ad dan tidak meninggalkan sedikit pun untuk mereka. Padahal, mereka berdua hanya dapat menikah dengan harta itu." Rasulullah SAW bersabda, "Allah akan memutuskan perkara ini." Kemudian turunlah ayat mengenai warisan. Lalu Rasulullah SAW berkata kepada saudara Sa'ad yang telah menguasai harta warisan Sa'ad, "Berikanlah kepada kedua anak perempuan Sa'ad sebanyak 2/3 bagian, ibu mereka (isteri Sa'ad) sebesar 1/8 bagian, sedangkan Engkau mendapat sisanya."

Kedua kisah ini menjadi sebagian dari bukti bahwa Allah telah menghapuskan adat jahiliyah yang telah menyisihkan wanita dalam menerima bagian warisan. Bahkan Allah telah memberikan bagian kepada wanita yang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan si mayit – baik hubungan nasab maupun hubungan nikah – dengan bagian-bagian yang sudah tertentu. Dalam istilah hukum waris Islam, mereka ini termasuk golongan ashhabul-furudh (ahli waris yang memiliki bagian yang sudah tertentu/pasti/jelas). Mereka – para wanita – yang dimaksud ini adalah anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, nenek dari pihak ibu, nenek dari pihak bapak, saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, saudara perempuan seibu, dan isteri.

Surat An-Nisa ayat 11, 12, dan 176 menjelaskan pembagian warisan kepada ahli waris yang sebagian besar wanita dengan rinci. Selaku anak perempuan, ia akan mendapatkan 1/2 jika sendiri, atau 2/3 jika lebih dari seorang. Hal yang sama berlaku untuk cucu perempuan jika tidak ada anak perempuan. Selaku ibu, ia bisa mendapatkan 1/6 jika si mayit memiliki anak atau saudara dua orang atau lebih, atau 1/3 dalam kondisi selain itu; kecuali dalam hal ahli waris hanya bapak, ibu, dan salah seorang suami atau isteri, maka ibu mendapat 1/3 dari sisa setelah diberikan kepada suami atau isteri. Selaku nenek, bagiannya adalah 1/6 jika tidak ada ibu. Selaku saudara perempuan kandung, ia akan mendapatkan 1/2 jika sendiri, atau 2/3 jika lebih dari seorang. Hal yang sama berlaku untuk saudara perempuan sebapak jika tidak ada saudara perempuan kandung. Selaku saudara perempuan seibu, bagiannya dalah 1/6 jika sendiri, atau 1/3 jika lebih dari seorang, tanpa memandang apakah mereka laki-laki atau perempuan. Dan selaku isteri, bagiannya 1/8 jika si mayit memiliki anak, atau 1/4 jika tidak mempunyai anak.

Jika anak perempuan dari si mayit bersama-sama dengan saudara laki-lakinya (yaitu anak laki-laki), maka mereka memperoleh sisa harta dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Hal yang sama juga berlaku untuk cucu perempuan, saudara perempuan kandung dan saudara perempuan sebapak. Dalam hukum waris Islam, status mereka dalam hal ini adalah sebagai 'ashabah bil-ghair (mendapat sisa bersama-sama dengan saudara laki-lakinya dengan perbandingan 1:2).

Jika anak perempuan menjadi ahli waris bersama dengan cucu perempuan tanpa ada anak laki-laki, maka anak perempuan mendapat 1/2, sementara cucu perempuan mendapat 1/6 sebagai pelengkap 2/3. Hal yang sama berlaku untuk saudara perempuan kandung yang mewarisi bersama saudara perempuan sebapak tanpa ada saudara laki-laki kandung.

Jika saudara perempuan kandung mewarisi bersama anak perempuan atau cucu perempuan, maka ia mendapat sisa harta. Hal yang sama berlaku juga untuk saudara perempuan sebapak. Status saudara perempuan kandung (atau saudara perempuan sebapak) dalam hal ini disebut sebagai 'ashabah ma'al-ghair (mendapat sisa karena ada orang lain, yaitu anak perempuan atau cucu perempuan).

Dari sebagian ketentuan tentang pembagian warisan kepada ahli waris wanita ini, ternyata ketentuan bagian warisan wanita setengah dari bagian warisan laki-laki hanya terjadi dalam empat kasus, tidak lebih, yaitu anak perempuan bersama anak laki-laki, cucu perempuan bersama cucu laki-laki, saudara perempuan kandung bersama saudara laki-laki kandung, dan saudara perempuan sebapak bersama saudara laki-laki sebapak. Selain empat keadaan ini, bagian wanita bisa jadi sama dengan bagian laki-laki, bahkan bisa jadi lebih besar. Sebagai contoh, saudara perempuan seibu sama bagiannya dengan saudara laki-laki seibu, berapapun jumlah mereka.

(Penulis adalah dosen pada Politeknik Negeri Medan, dan pembuat software Sistem Pakar Faraidh Islam Versi 1.0).

Ingin mengikuti terus? Silakan lihat tulisan-tulisan saya yang lain:
1. Hukum Waris Islam: Mengatur Atau Memaksa?
2. Ilmu Faraidh: Sejarah, Dasar Hukum dan Kepentingannya
3. Ilmu Faraidh: Ahli Waris dan Klasifikasinya
4. Ilmu Faraidh: Metode Asal Masalah dalam Penghitungan Warisan
5. Keistimewaan Hukum Waris Islam: Sebuah Bukti Kemahabijaksanaan Allah
6. Empat Belas Macam Alasan Tidak Dijalankannya Hukum Faraidh Di Indonesia
7. Hukum Waris Islam Mengangkat Derajat Wanita
8. Kuis Pendahuluan Ilmu Faraidh
9. Nasihat Seputar Harta Peninggalan
[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]