Oleh Achmad Yani, S.T., M.Kom.
achmad.yani.polmed@gmail.com
http://www.achmad-yani.co.cc/
"Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu."
(Q.S. An-Nahl: 58-59).
SEJARAH membuktikan bahwa perlakuan terhadap wanita – sebelum Islam datang – sangat tidak manusiawi. Umar RA pernah mengatakan, "Demi Allah, pada zaman jahilliyah di mata kami wanita itu bukan apa-apa, sampai akhirnya Allah menurunkan apa yang harus Dia turunkan tentang mereka dan membagikan apa yang harus Dia bagikan untuk mereka."
Pada zaman jahiliyah dahulu, wanita tidak memiliki hak waris karena wanita tidak mampu mengangkat senjata dan membawa tameng. Seorang wanita pada masa itu tidak memiliki hak apa pun terhadap suaminya. Sebaliknya, seorang laki-laki berhak menceraikan isterinya lalu merujuknya kembali, dan menceraikannya lagi, dan merujuknya lagi. Begitu seterusnya tanpa ada batasan, dan itu dapat dilakukan kapan saja laki-laki itu mau. Seorang laki-laki pada waktu itu juga berhak melakukan poligami dalam jumlah berapa saja yang diinginkannya. Kemudian, jika ada seorang laki-laki wafat dengan meninggalkan seorang isteri dan beberapa anak laki-laki yang bukan anak isterinya tadi, maka anak yang paling tua berhak mendapatkan isteri mendiang ayahnya itu (ibu tirinya). Dia menganggap ibu tirinya itu sebagai harta warisan mendiang ayahnya sebagaimana harta-hartanya yang lain. Apabila dia berminat mengambil ibu tirinya itu sebagai isterinya sendiri, maka dia cukup hanya melemparkan sepotong pakaian kepadanya. Maka resmilah mereka berdua sebagai suami isteri. Namun, apabila ternyata dia tidak berminat, dia bisa mengawinkannya kepada siapa saja yang dikehendakinya.
Keadaan ini, setelah Islam datang, dibatalkan oleh Allah dengan firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (An-Nisa: 19)
Bahkan di kala itu ada makanan yang hanya khusus bagi laki-laki dan haram bagi wanita. Perbuatan buruk mereka dapat dibuktikan dalam ayat berikut, "Dan mereka mengatakan, 'Apa yang ada dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami', dan jika yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap ketetapan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui" (Al-An'am: 139).
Dan masih banyak lagi kebiasaan buruk yang berlaku di tengah-tengah masyarakat jahiliyah dahulu kalau mau disebutkan satu per satu. Tulisan ini bukan untuk membahas semuanya itu, tetapi meninjau bagaimana Allah, melalui hukum waris yang ditetapkan-Nya, mengangkat derajat wanita.
Wanita dan pria mempunyai tabiat kemanusiaan yang sama. Dalam hukum Islam, wanita diletakkan dalam kerangka yang sama dengan pria. Apabila pria dapat melakukan muamalah, seperti berjual beli, memberikan kesaksian dan menuntut di pengadilan, demikian pula wanita. Namun bukan berarti Islam memberikan kepada wanita kedudukan yang sama persis dengan kedudukan pria. Islam secara jujur dan bertanggung jawab tetap meletakkan dan mengakui adanya perbedaan-perbedaan yang bijaksana antara pria dan wanita. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain dalam hak warisan, talak dan kesaksian di pengadilan.
Dalam masalah warisan, Allah tidak melakukan diskriminasi kepada wanita dalam menerima bagian. "Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan." (Q.S. An-Nisa`: 7). Ayat ini turun berkenaan dengan Aus bin Tsabit Al-Anshari RA yang wafat meninggalkan seorang isteri bernama Ummu Kajah dan tiga anak perempuan. Selain itu, ada dua sepupu laki-laki si mayit dari pihak ayah, masing-masing Suwaid dan 'Arfajah. Keduanya mengambil harta peninggalan Aus dan tidak memberikan sedikit pun kepada isteri Aus dan anak-anaknya. Ummu Kajah mengadukan hal ini kepada Rasulullah SAW. Lalu beliau memanggil kedua laki-laki tadi. Keduanya berkata, "Wahai Rasulullah, anak Ummu Kajah tidak bisa mengendarai kuda, tidak mampu menanggung beban yang berat, dan tidak kuat memerangi musuh."
Rasulullah SAW menjawab, "Pergilah dulu sehingga saya mendapatkan keputusan dari Allah mengenai mereka (isteri dan anak-anak Aus)." Kemudian Allah menurunkan ayat di atas (An-Nisa: 7) sebagai jawaban terhadap kedua laki-laki itu, dan menyalahkan pendapat dan sikap mereka. Seharusnya ahli waris yang masih kecil lebih berhak terhadap warisan daripada orang dewasa karena mereka belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan mencari penghidupan. Mereka yang merampas hak anak-anak kecil (yatim) telah membalikkan hukum, tidak mempedulikan hikmah dan tersesat karena mengikuti hawa nafsu.
Setelah menerima ayat tersebut, Nabi SAW mengirim surat kepada Suwaid dan 'Arfajah yang isinya memerintahkan agar mereka tidak membagi dulu harta warisan Aus karena Allah telah menentukan hak-hak anak-anak perempuan Aus untuk memperoleh bagian warisan. Namun, belum dijelaskan berapa besarnya hingga Allah menurunkan ayat-ayat yang merinci bagian masing-masing ahli waris dalam Surat An-Nisa`: 11, 12, dan 176. Kemudian Rasulullah SAW berkata kepada kedua laki-laki itu di dalam surat beliau, "Hendaknya kalian berdua memberikan kepada Ummu Kajah 1/8 dari harta warisan suaminya, untuk anak perempuannya sebesar 2/3 bagian, dan untuk kalian sisa harta itu."
Dalam riwayat Jabir RA dijelaskan bahwa sebab turunnya ayat di atas adalah karena isteri Sa'ad bin Rabi' RA mengadukan suatu perkara kepada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah, ini adalah kedua anak perempuan Sa'ad bin Rabi' RA. Sa'ad ikut dengan Engkau dalam perang Uhud dan syahid di sana. Paman mereka berdua tela mengambil harta peninggalan Sa'ad dan tidak meninggalkan sedikit pun untuk mereka. Padahal, mereka berdua hanya dapat menikah dengan harta itu." Rasulullah SAW bersabda, "Allah akan memutuskan perkara ini." Kemudian turunlah ayat mengenai warisan. Lalu Rasulullah SAW berkata kepada saudara Sa'ad yang telah menguasai harta warisan Sa'ad, "Berikanlah kepada kedua anak perempuan Sa'ad sebanyak 2/3 bagian, ibu mereka (isteri Sa'ad) sebesar 1/8 bagian, sedangkan Engkau mendapat sisanya."
Kedua kisah ini menjadi sebagian dari bukti bahwa Allah telah menghapuskan adat jahiliyah yang telah menyisihkan wanita dalam menerima bagian warisan. Bahkan Allah telah memberikan bagian kepada wanita yang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan si mayit – baik hubungan nasab maupun hubungan nikah – dengan bagian-bagian yang sudah tertentu. Dalam istilah hukum waris Islam, mereka ini termasuk golongan ashhabul-furudh (ahli waris yang memiliki bagian yang sudah tertentu/pasti/jelas). Mereka – para wanita – yang dimaksud ini adalah anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, nenek dari pihak ibu, nenek dari pihak bapak, saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, saudara perempuan seibu, dan isteri.
Surat An-Nisa ayat 11, 12, dan 176 menjelaskan pembagian warisan kepada ahli waris yang sebagian besar wanita dengan rinci. Selaku anak perempuan, ia akan mendapatkan 1/2 jika sendiri, atau 2/3 jika lebih dari seorang. Hal yang sama berlaku untuk cucu perempuan jika tidak ada anak perempuan. Selaku ibu, ia bisa mendapatkan 1/6 jika si mayit memiliki anak atau saudara dua orang atau lebih, atau 1/3 dalam kondisi selain itu; kecuali dalam hal ahli waris hanya bapak, ibu, dan salah seorang suami atau isteri, maka ibu mendapat 1/3 dari sisa setelah diberikan kepada suami atau isteri. Selaku nenek, bagiannya adalah 1/6 jika tidak ada ibu. Selaku saudara perempuan kandung, ia akan mendapatkan 1/2 jika sendiri, atau 2/3 jika lebih dari seorang. Hal yang sama berlaku untuk saudara perempuan sebapak jika tidak ada saudara perempuan kandung. Selaku saudara perempuan seibu, bagiannya dalah 1/6 jika sendiri, atau 1/3 jika lebih dari seorang, tanpa memandang apakah mereka laki-laki atau perempuan. Dan selaku isteri, bagiannya 1/8 jika si mayit memiliki anak, atau 1/4 jika tidak mempunyai anak.
Jika anak perempuan dari si mayit bersama-sama dengan saudara laki-lakinya (yaitu anak laki-laki), maka mereka memperoleh sisa harta dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Hal yang sama juga berlaku untuk cucu perempuan, saudara perempuan kandung dan saudara perempuan sebapak. Dalam hukum waris Islam, status mereka dalam hal ini adalah sebagai 'ashabah bil-ghair (mendapat sisa bersama-sama dengan saudara laki-lakinya dengan perbandingan 1:2).
Jika anak perempuan menjadi ahli waris bersama dengan cucu perempuan tanpa ada anak laki-laki, maka anak perempuan mendapat 1/2, sementara cucu perempuan mendapat 1/6 sebagai pelengkap 2/3. Hal yang sama berlaku untuk saudara perempuan kandung yang mewarisi bersama saudara perempuan sebapak tanpa ada saudara laki-laki kandung.
Jika saudara perempuan kandung mewarisi bersama anak perempuan atau cucu perempuan, maka ia mendapat sisa harta. Hal yang sama berlaku juga untuk saudara perempuan sebapak. Status saudara perempuan kandung (atau saudara perempuan sebapak) dalam hal ini disebut sebagai 'ashabah ma'al-ghair (mendapat sisa karena ada orang lain, yaitu anak perempuan atau cucu perempuan).
Dari sebagian ketentuan tentang pembagian warisan kepada ahli waris wanita ini, ternyata ketentuan bagian warisan wanita setengah dari bagian warisan laki-laki hanya terjadi dalam empat kasus, tidak lebih, yaitu anak perempuan bersama anak laki-laki, cucu perempuan bersama cucu laki-laki, saudara perempuan kandung bersama saudara laki-laki kandung, dan saudara perempuan sebapak bersama saudara laki-laki sebapak. Selain empat keadaan ini, bagian wanita bisa jadi sama dengan bagian laki-laki, bahkan bisa jadi lebih besar. Sebagai contoh, saudara perempuan seibu sama bagiannya dengan saudara laki-laki seibu, berapapun jumlah mereka.
(Penulis adalah dosen pada Politeknik Negeri Medan, dan pembuat software Sistem Pakar Faraidh Islam Versi 1.0).
Ingin mengikuti terus? Silakan lihat tulisan-tulisan saya yang lain:
1. Hukum Waris Islam: Mengatur Atau Memaksa?
2. Ilmu Faraidh: Sejarah, Dasar Hukum dan Kepentingannya
3. Ilmu Faraidh: Ahli Waris dan Klasifikasinya
4. Ilmu Faraidh: Metode Asal Masalah dalam Penghitungan Warisan
5. Keistimewaan Hukum Waris Islam: Sebuah Bukti Kemahabijaksanaan Allah
6. Empat Belas Macam Alasan Tidak Dijalankannya Hukum Faraidh Di Indonesia
7. Hukum Waris Islam Mengangkat Derajat Wanita
8. Kuis Pendahuluan Ilmu Faraidh
9. Nasihat Seputar Harta Peninggalan
[Penasaran? ==> Baca selengkapnya...]